Sampai saat ini, aku tidak pernah membayangkan jika seseorang yang aku anggap sahabat mengkhianatiku. Aku kembali dituduh tidak mengerjakan tugas Bahasa Indonesia bersama Mia, kabar bahwa akulah penyebab tangan Mia terluka pun sudah menyebar beserta kabar bahwa aku adalah penghalang hubungan antara Nadine dan Arwan. Aku merasa ini sama buruknya dengan mimpi buruk yang selama ini aku alami.
Awal berita tidak mengenakan itu, terjadi pada 3 hari yang lalu pada saat Arwan menghampiriku. Setelah aku kembali ke kelas tatapan murid menjadi lebih tajam dan ucapan mereka semakin pedas.
"Oohh itu yang tadi sama Arwan, biasa aja," ucap seorang anak perempuan dengan tatapan merendahkan tak lupa lirikannya yang tajam.
"Diliat dari apanya sih? Udah Farel terus sekarang Arwan, dih ngga tahu malu!"
"Shella lagi pake nemenin dia segala, belum aja tuh gebetannya direbut."
"Gimana mau rebut, gebetan aja ngga punya hahaha …."
"Bener juga, anak so pinter gitu mah mana punya."
Aku melirik Shella yang nampak tak peduli dengan percakapan mereka.
"Maafin aku ya … gara-gara aku, kamu jadi ikutan diomongin," ucapku tidak enak.
"Mereka yang salah, kenapa kamu yang minta maaf? Biarin ajalah, nanti tinggal aku diemin kalau minta jelasin materi," Shella mengambil buku untuk mempersiapkan jam pelajaran selanjutnya.
Aku tersenyum tipis seraya menatap Shella, lalu aku kembali melihat ke depan. "Haahh …" Entah sudah keberapa kali aku menghela napas.
10 menit kemudian, jam pelajaran telah dimulai dan guru yang bersangkutan tidak dapat hadir karena anaknya sedang sakit begitu pula jam terakhir karena sang guru sedang mengambil cuti hamil, guru yang menggantinya pun dalam situasi tidak bisa mengajar. Akhirnya selama 3 jam, kami belajar mandiri.
Aku dan Shella bekerja sama untuk mengisi soal, begitu pun beberapa anak yang lain. Ada juga yang hanya berbincang-bincang, lalu menyalin jawaban, ada yang tak peduli dan ada juga yang tidur. Di tengah-tengah aku mengerjakan tugas, Azza menghampiriku.
"Kei, aku ngga nyangka kamu jahat banget!" ucapnya begitu saja.
Sontak aku langsung menegakan kepalaku meminta penjelasan maksud dari ucapannya. "Maksud kamu?"
"Dih pura-pura … kamu, kan yang udah nyelakain tangan Mia?" katanya menjadi pusat perhatian. Sedetik kemudian, suasana menjadi hening, tidak ada satu pun yang melanjutkan aktivitasnya bahkan yang tidur saja sampai bangun dan menyimak.
"Aku—"
"Ngga usah alasan deh! Kalau kamu segitu ngga sukanya Mia jadian sama Farel bilang dong, ngga usah sosoan ngedukung kalau pada akhirnya nyakitin. Udah pho, nyakitin pula," potong Azza membuat semua orang terkejut.
"Jadi mending, kamu jauh-jauh deh dan bilang sana minta ganti kelompok," lanjut Azza pergi begitu saja.
Aku tertunduk lesu. Aku sangat ingin mengelak, namun aku saja tidak tahu bagaimana Mia terluka, bisa saja karena kecerobohanku. Mia mengelus-ngelus punggungku, alhasil aku menitihkan air mata.
Nadine bersorak dalam hati. "Gimana Kei? Sakit bukan? Itulah yang aku rasakan, selamat mencoba ya," batin Nadine menyeringai.
Tidak hanya Nadine, Mia pun bersorak dalam hati. Ia tidak menyangka akan melebihi ekspetasinya. "Ngga sia-sia melukai tangan sendiri," pikirnya.
***
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, banyak murid yang sudah berhamburan keluar kelas, ada yang masih dikelas adapula yang masih merapikan.
"Kei, mau pulang bareng?" tawar Shella.
Aku menggeleng. "Ngga usah Shel, aku mau pulang bareng Farel," bohongku.
"Ohh ya udah. Kalau gitu, hati-hati ya …" ucapnya tak lama pergi keluar kelas.
Aku sama sekali tidak menunggu Farel, dengan langkah berat aku berjalan meninggalkan kelas ditemani berbagai macam cemoohan yang dilontarkan kepadaku.
Aku melewati kelas 11 IPS 3 yang sudah kosong. Ada rasa hampa ketika melewati kelas tersebut.
"Sebenarnya apa sih yang aku harapkan?" gerutuku dalam hati.
Diwaktu yang sama, tempat berbeda terdapat Arwan dan Nadine sedang membicarakan sesuatu.
"Kok kamu bisa disini?" tanya Nadine tanpa basa-basi.
"Entahlah …" jawab Arwan malas.
Nadine menatap Arwan tajam. "Aku ingetin ya, jangan pernah ikut campur dalam urusanku dan Kei!" tegasnya dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Arwan nampak menyeringai. "Seharusnya kamu yang ngga usah ikut campur. Biarlah Kei melanjutkan hidupnya."
Nadine tidak percaya dengan apa yang didengarnya, ia pun tertawa sarkas. "Kamu udah gila ya? Mana mungkin aku rela biarin Kei gitu aja setelah apa yang udah dia perbuatan!"
"Kamu udah lupa? Itu kesalahan kita semua, kalau saja kita ngga memutuskannya, kejadian itu tidak akan terjadi!" herdik Arwan.
"Tetep saja dia yang memulai!" pekik Nadine.
"Sadar Nadine, itu semua ngga bener! Mending sudahi ini semua, sebelum kamu menyesal!" kata Arwan mencoba menyadarkan Nadine.
"Ngga sok bener deh! Orang yang dibutakan cinta ngerti apa?" elak Nadine.
Arwan tercengang mendengar semua ucapan Nadine yang terdengar gila. Arwan memutuskan meninggalkan Nadine, sebelum dirinya ikutan tidak waras.
Nadine melayangkan tatapan tajam pada Arwan. "Liat aja nanti, aku bakal buktiin siapa yang salah!"
Arwan pergi ke supermarket untuk membeli minuman dingin guna mendinginkan kepala meski tidak sepenuhnya. Setelah mengambil dan membayar minumannya, Arwan melihat aku sedang berjalan. Siapapun yang melihatnya, pasti tahu bahwa aku sangat tidak bersemangat.
Arwan tahu apa yang telah terjadi padaku karena semua anak kelasku selalu membicarakan sampai kelas lain pun tahu. Ia ingin menghampiriku, namun diurungkan kembali. Arwan merasa, aku butuh waktu sendiri. Aku sangat berterima kasih padanya kala itu, sudah membiarkan aku sendiri. Jika tidak, aku pasti akan cukup tergantung padanya.
***
Keesokannya aku sengaja berangkat sekolah lebih pagi agar tidak berangkat bersama Farel. Saat ini, aku memutuskan untuk menjauhinya dan Arwan terlebih dahulu.
"Ternyata berangkat lebih pagi itu enak ya," gumamku menikmati udara pagi yang menyegarkan. Selain itu, sekolah pun masih sepi. Aku bisa berjalan tenang tanpa mengkhawatirkan ada yang mencemoohku.
Sangat disayangkan, kenikmatan itu hanya berlangsung sebentar. Baru saja aku duduk selama 15 menit, Azza datang bersama Mia. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa datang bersama.
"Tumben banget udah dateng, biasanya 15 menit sebelum masuk baru dateng," ledek Azza.
"Ssttt Azza … ini masih pagi, ayo duduk," timbal Mia. Mau tak mau Azza menuruti perkataan Mia.
Aku memutuskan untuk mendengarkan musik menggunakan headset. "Aahhh … ini lebih baik," batinku lega.
Tidak berlangsung lama, Mia datang ke tempatku berbarengan dengan Shella yang menyimpan tas serta duduk di sebelahku. Shella melirik Mia nampak curiga. "Mau apa lagi dia?" pikir Shella.
Mia mencabut headsetku begitu saja. "Kei!" panggilnya.
"Ya?" balasku mendongakkan kepala.
"Nih tugas bahasa Indonesia," Mia memberikan proposal yang sudah jadi.
"Kamu udah nyelesaiin ini?" ucapku kaget karena aku baru saja membuat bagianku tadi malam.
"Iya, udah ya …" ucapnya berlalu.
"Sudah kuduga, Mia yang ngerjain tugas," seru seorang anak kelas.
"Enak banget ya ... cuma numpang nama aja!"
Aku menahan air mataku agar tidak jatuh. Tidak aku sangka Mia sekejam ini, jelas-jelas aku sudah membagikan tugas kami dan 2 hari sebelum dikumpulkannya tugas, kami mencoba menggabungnya.
"Mengingat kembali saja sudah sulit bagiku, ditambah masalah yang terus datang bahkan yang tak aku lakukan sekalipun," batinku.
Puk!
Permen bertulisan 'semangat' mendarat di mejaku. Aku menengok ke arah datangnya permen dan mendapati Revan, teman sekelompokku dulu.
***