Farel menarik napas terlebih dahulu guna mempersiapkan diri sebelum mengetuk pintu rumahku.
Tok … tok … tok!
Ceklek!
"Oh hai Farel," sapaku saat membuka pintu.
"Hai Kei," balasnya.
"Ayo masuk!" ajakku yang kemudian diikuti Farel.
Farel duduk di sofa ruang tamu, ia tengak tengok kesana kemari untuk mencari ibuku.
"Aku siapin minum dulu ya," ucapku pergi mengambil minum.
Aku merasa lega karena telah cuci muka dan menutupi mata sembabku akibat menangis menggunakan make up, beruntung aku memilikinya. Jika aku membuka pintu dalam keadaan mata sembab, pasti Farel menghujaniku berbagai macam pertanyaan.
Aku mengambil minum air mineral beserta beberapa cemilan yang ada di lemari makan.
"Kei, ibu kamu kemana?" tanya Farel begitu melihatku berjalan ke arahnya.
Aku duduk di seberang Farel seraya meletakan minim dan cemilan. "Ibu lagi ke swalayan dulu."
Farel mengguk sambil menyeruput minumnya.
Ada keheningan beberapa saat sebelum Farel berkata, "Kei, kamu baik-baik aja?"
"Baik kok …" jawabku bingung dengan pertanyaan Farel.
"Terus gimana malam tahun baruannya? Seru? Katamu ini kali pertama menghabiskan waktu bersama teman-teman," ujar Farel memperhatikan ekspresiku dengan seksama.
Aku sempat memperlihatkan ekspresi sendu dan Farel menyadari itu, namun ia lebih memilih diam menunggu ucapanku.
"Seru banget tau! Kita bakar daging lho dan aku yang masak! Pasti kamu ngga percaya hahaha … udah gitu kita main kembang api. Pokoknya seru banget deh sampe ngga kerasa udah jam 2 dini hari," jelasku berusaha menutupi kesedihanku.
"Beneran seru? Kalau seru kenapa kamu nangis?" ucap Farel yang membuatku tersadar, ternyata aku menitihkan air mata.
Aku menyekanya, "ah ini cuma kelilipan kok," bohongku yang tentu saja Farel tidak percaya.
"Kei … jujur sama gue, beneran ngga apa-apa?" tanga Farel memastikan.
Kami saling menatap, aku tidak kuat lagi menahan air mata.
Tes … tes … tes!
Akhirnya aku menangis.
Farel tidak kuasa melihatku. Ia menghampiriku dan duduk disamping, menepuk pundakku bermaksud untuk menenangkan diriku.
Pada hari itu aku merasa sedikit lega karena telah menangis sepuasnya.
***
Sejak kejadian itu, aku hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Sesekali Farel berkunjung bersama Rika. Tidak hanya itu, Arwan juga suka meneleponku bahkan datang ke rumah hanya untuk memberiku makanan, ia menolak untuk bertemu kedua orang tuaku karena belum waktu yang tepat. Jujur, aku tidak mengerti maksud dari perkataan Arwan. Berkat mereka aku tidak merasa kesepian.
Lalu, waktu berlalu begitu saja. Saat ini, aku telah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Di semester genap ini aku harus berusaha agar hasil dari ujian kenaikan kelas lebih memuaskan.
"Kei, keluar nak … Farel udah ada di depan," teriak ibu.
"Iya Bu, tunggu sebentar," balasku.
Aku memakai tas sekolah, lalu pergi menghampiri Farel yang ternyata sudah duduk nyaman di sofa ruang tamu.
"Kayanya semangat banget nih yang mau berangkat ke Sekolah," komentarku saat melihat Farel.
"Oh ya dong harus! Kan, bentar lagi kelas 3 hahaha …" balasnya santai.
"Ya udah, aku sarapan dulu ya. Kalau mau ikut sarapan ke dapur aja," ucapku.
"Pas banget aku belum sarapan hahaha …" Farel langsung mengikutiku ke dapur.
Kedua orang tuaku tidak mempersalahkannya, mereka sudah terbiasa.
Kami memakan nasi goreng buatan ayah. Ayah memang juaranya kalau udah masak nasi goreng.
Setelah kami sarapan, ibu memberikan kotak bekal padaku dan susu cokelat untukku juga Farel. Farel jadi makin senang dapat susu cokelat.
Kami berpamitan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Farel memberikan helmnya, meski dekat tetap utamakan keselamatan.
Tidak butuh waktu lama, kami sampai di parkiran sekolah. Aku berjalan bersama Farel yang awalnya baik-baik saja, namun ketika aku memasuki wilayah kelas 2, banyak mata memperhatikan kami.
"Ngga usah dipeduliin," bisik Farel yang menyadari juga.
Karena kami menjadi pusat perhatian, aku meminta Farel untuk tidak mengantarkanku sampai kelas. Aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Dengan berat hati Farel menuruti permintaanku, namun sebagai gantinya segera hubungi dia jika terjadi sesuatu.
"Tenang saja," ucapku kembali meyakinkan.
Ketika aku hampir sampai kelas, aku mendengar beberapa murid membicarakanku.
"Eh liat tuh cewek ngga tau diri."
"Mentang-mentang sahabatan dimonopoli gitu aja."
"Muka alim kelakuan dih amit-amit!"
"Ngga nyangka banget."
Aku memikirkan ucapan mereka. Aku semakin tidak mengerti maksud dari ucapan mereka. Begitu aku sampai kelas semua mata tertuju padaku. Aku merasa aneh tiba-tiba diperhatikan seperti ini.
"Eh dia dateng tuh!"
"Ternyata Kei anaknya gitu ya."
"Dari awal udah ngga suka sama dia."
Aku berjalan ke bangkuku sembari mendengarkan orang-orang membicarakanku.
Aku melirik ke Mia dan Nadine yang dikelilingi sebagian anak kelas. Aku melihat Mia menangis, hal itu membuatku khawatir. Tanpa berpikir panjang aku menghampirinya.
"Mia kamu kenapa?" tanyaku khawatir.
"Dih masih punya muka dia," sahut Azza.
"Udah Azza aku ngga apa-apa kok," ucap Mia kepada Azza seolah pertanyaanku hanya angin lalu.
"Mi—" Belum saja, aku melanjutkan ucapanku Azza sudah memotongnya.
"Kei sana deh, ngga udah ganggu Mia lagi!" tegasnya.
"Lho emang kenapa? Aku, kan temen Mia," ujarku.
"Temen? Yakin temen? Temen kok nyakitin sih … kalau emang kamu suka sama Farel ya bilang! Ngga usah pake ngelak segala apalagi ngancurin hubungan Mia sama Farel!" omel Azza.
"Jadi Mia sama Farel putus?" batinku.
"Kok diem sih? Udah sana, ngga udah sok peduli!" usir Azza.
Perlahan-lahan aku melangkah mundur sembari mencerna penjelasan Azza.
Bagaimana aku dituduh penyebab hubungan mereka hancur? Aku saja baru tau barusan kalau Mia sama Farel putus.
Terlalu terlarut dalam pikiran, aku tidak menyadari Shella memanggilku.
"Kei! Keisha," panggilnya yang akhirnya didengarku.
"Eh iya, kenapa?" balasku.
"Ngga usah dipikirin, biarin aja," ucapnya.
"Kamu ngga percaya?" tanyaku bingung.
Shella mengangguk, "rasanya aneh aja, seorang Kei menjadi pho (perusak hubungan orang)," jelasnya.
"Tapi bisa aja aku," ujarku pasrah.
"Hhmmm … kalau kamu mikir gitu sih, aku harus melihatnya langsung atau mendengarnya langsung dari kamu. Aku ngga mau mengambil kesimpulan hanya dari satu sisi saja," terangnya.
Aku tersenyum, rasanya menenangkan jika ada orang yang tidak percaya gosip begitu saja. "Terima kasih," lirihku.
Shella pernah tidak mempercayai sahabatnya ketika SMP. Sahabatnya digosipkan mengambil jawaban ujian akhir sekolah. Seorang murid yang mengaku melihatnya menyebarkan gosip tidak berdasar. Lalu diusutlah gosip tersebut oleh pihak sekolah dan datangnya saksi baru membuat sahabatnya diminta untuk pindah sekolah dan Shella baru mengetahuinya seminggu kemudian saat pembagian raport kalau sahabatnyalah yang justru melihat orang yang mengaku menjadi saksi mengambil jawabannya.
Sejak saat itu, Shella memutuskan untuk tidak percaya gosip begitu saja dan dari awal pun Shella merasa Mia dan Nadine tidak tulis berteman denganku. Bagi Shella, aku mengingatkan ia pada sahabatnya dulu.
***