Chereads / Pieces of Memories / Chapter 41 - Ch 41. Kenangan Pahit

Chapter 41 - Ch 41. Kenangan Pahit

Setelah Mia mendapatkan pertolongan pertama dengan menggunakan air dingin, baik air di ember atau dari botol, dengan mengalirkannya air secara terus menerus sampai luka bakar terlihat mereda.

Kedua orang tua Mia memutuskan untuk membawanya ke Dokter. Demi memastikan tangan anaknya sembuh. Sepanjang perjalanan aku tertunduk lesu. Pikiranku kosong, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Kedua orang tua Mia berusaha tenang dan Mia sedang berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa. Sedangkan Nadine mengusap-ngusap punggung Mia mencoba menenangkannya.

Sesampainya di rumah sakit dengan cepat, papa Mia meminta agar anaknya segera diobati.

Aku duduk terlesu di kursi yang berada di lorong rumah sakit dengan diselimuti rasa bersalah. Nadine berdiri di sebelah pintu ruangan Mia diobati. Kedua orang tua Mia menemani Mia.

Setelah menunggu cukup lama, Mia keluar dengan tangan kiri dibalut perban. Aku bertatapan muka dengan Mia.

"Ma, sebentar ya …" pamit Mia menghampiriku.

"Mia maafin aku …" cicitku ketika kami sudah berhadapan.

"Meski aku ngga tau kenapa kamu lakukan ini kepadaku, aku tetap memaafkan kamu. Tapi maaf aku ngga janji hubungan kita akan kembali seperti dulu karena sakit sekali rasanya ketika mendapatkan luka dari teman terdekat," ucapnya membuat rasa bersalahku semakin besar.

"Maaf Mia …" ucapku lagi.

Mia tersenyum dan berbalik kembali pada kedua orang tuanya. Nadine pun sama, menemani Mia meninggalkanku sendiri.

***

Aku mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam rumah Mia untuk mengambil barang-barangku. Saat ini pukul 3 dini hari. Aku berdiri cukup lama hanya untuk membuka pagar rumah Mia. Sekali lagi aku mempersiapkan diri.

"Permisi …" ucapku mengetuk pintu.

Klek!

Mama Mia membuka pintu dengan tas yang dipegangnya.

"Ini barang kamu … udah ya nanti lagi mainnya," ujar mama Mia acuh tak acuh.

"I-iya tante …" ucapku sedikit terbata-bata.

Begitu aku ambil tas, mama Mia langsung menutup pintu kembali. Aku termenung melihat tasku bahkan aku tidak percaya semua barangku sudah tersimpan dalam tas meski tidak rapi. Ini sudah terlihat bahwa orang tua Mia sudah siap mengusirku.

"Aaahhh … apakah aku masih bisa berteman dengan mereka?" pikirku berjalan ke luar pagar.

Sebelum aku melangkah lebih jauh, aku memikirkan bagaimana caranya pulang. Tidak mungkin aku nelpon kedua orang tuaku. Aku tidak ingin mereka khawatir dan aku enggan menelepon Farel karena takut merepotkannya.

Ring … ring … ring!

Arwan is calling..

Aku sempat ragu untuk mengangkat panggilan tersebut atau tidak. Sampai Arwan menelepon untuk yang ketiga kalinya.

Aku menarik napas terlebih dahulu ketika hendak mengangkat telepon. "Halo Arwan …."

"Hai Kei, kamu lagi dimana?" tanya Arwan yang sebenarnya berada tak jauh dariku.

"Di rumah temenku, ini lagi pada istirahat habis malam tahun baruan … kamu gimana nih malam tahun baruannya? Di rumah ajakah? Atau jalan-jalan?" bohongku yang balik tanya.

"Aku udah rumah aja hahaha … bisa keluar sekarang ngga?" ucap Arwan hati-hati.

"Hmm bisa aja sih, mau ketemu?"

"Iya, kamu kirim aja alamat temen kamu nanti aku jemput."

"Ok, aku kirim ya."

Pip

Arwan melihatku dari tempatnya dengan mata sendu seolah ikut merasakan kesedihan yang sedang aku alami.

Ting!

Ponsel Arwan berbunyi menandakan pesan masuk dariku. Arwan membalasnya dulu sebelum menunggu beberapa menit untuk menghampiriku.

Sekitar 10 menit Arwan sampai dengan motornya. Lebih cepat dari yang aku duga.

"Lho udah nyampe?" Heranku.

"Iya nih, pas aku nelpon kamu sebenernya aku udah di jalan, jadi ngga butuh waktu lama untuk sampai disini," ucap Arwan yang sepenuhnya berbohong.

"Yuk jalan," ajak Arwan sambil memberi helm.

"Ayo!" balasku semangat disusul menaiki motor.

Arwan tidak menyesal mengikutiku karena saat Arwan baru saja tiba di seberang rumahku, ia melihatku menaiki motor maka Arwan memutuskan untuk mengikutiku.

Arwan menunggu disebelah rumah Mia. Untung saja itu rumah kosong, memang sedikit menyeramkan sudah membututi orang berdiam diri di depan rumah kosong. Namun, Arwan hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Arwan sudah tahu jika Nadine menyimpan dendam terhadapku, ia tahu betul Nadine masih belum menerima kejadian itu.

Sedangkan aku menyerahkan semuanya pada Arwan. Aku tidak akan mengeluh jika Arwan membawaku ke tempat yang jauh. Aku hanya ingin menyegarkan pikiranku.

Sepanjang perjalanan kami tidak banyak berbicara. Arwan sibuk menyetir sedangkan aku sibuk memikirkan bagaimana berteman kembali dengan Mia dan Nadine.

***

Sesampainya di rumah Mia diminta beristirahat oleh kedua orang tuanya ditemani Nadine.

Saat pintu di tutup Mia tertawa. "Hahaha … puas banget aku, kamu liat ngga mukanya Kei? Hahaha …."

"Liatlah, yakali ngga! Ya … meski ingatannya ngga balik, tapi rencana kita buat dia menderita sukses! Aku yakin dia ngga akan berani deketin kita lagi," seru Nadine.

"Harus gitu dong! Ngga tau malu banget kalau masih ngedeketin. Ngga sia-sia ya buat tangan sendiri luka," ucap Mia sembari tiduran.

"Pasti dia udah diusir sama mama kamu," ujar Nadine sambil mengintip keluar jendela. Jika kita melihat dari luar rumah Mia, kamar Mia terdapat di depan. Kita dapat melihat jendela kamar Mia saat memasuki pekarangan rumah.

Nadine tersenyum senang ketika aku terlihat tertunduk lesu. Nadine terus memperhatikanku sampai Arwan datang. Nadine tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

"Bagaimana Arwan ada disini? Bukannya dia di Jepang?" pikir Nadine bertanya-tanya.

Nadine harus bersyukur karena Mia tidak melihatnya. Ia tidak mau jika masa lalu sampai terbongkar, cukup membuat diriku mengingat rasa sakit yang Nadine rasakan.

***

Sebuah ruangan yang didominasi warna abu-abu ini merupakan kamar Farel. Ia sedang duduk di kasurnya bersender pada tembok, entah kenapa hari ini ia merasa gelisah. Perasaannya sama sekali tidak tenang.

Farel mau tidur pun tidak akan bisa. Pada akhirnya ia menghampiri kamar Rika.

Farel mengetuk pintu terlebih dahulu.

Tok … tok … tok!

"De, udah tidur belum?" ucap Farel pelan.

"Belum, masuk aja," balas Rika dari dalam.

Farel membuka pintu kamar dan mendapati Rika sedang menonton serial drama kesukaannya.

"De, perasaan Abang ngga enak," kata Farel sembari duduk di bawah bersender pada tempat tidur.

"Tumben banget curhat ke Ade," sahut Rika.

"Habis perkataan kamu yang waktu itu bener dan udah Abang lakuin. Habis itu abang merasa lega, tapi sekarang malah ngga enak gini," Farel mencurahkannya.

"Hmmm … pas mutusinnya reaksi dia gimana?" tanya Rika menghentikan aktivitasnya.

"Kecewa dan bersikeras ngga mau putus bahkan menitihkan air mata di tempat umum, terus abang tinggalin pas bilang maaf ke dia," jelas Farel.

Rika angguk-angguk. "Abang pernah kepikiran ngga sih kalau mantan Abang akan bales dendam karena biasanya cewek yang ngga terima putus tuh suka bales dendam. Entah itu membuktikan dirinya lebih baik, entah itu ke Abang atau ke orang yang ia kira sebagai penyebab Abang mutusin dia."

Farel memikirkan kembali ucapan Rika. Jika itu Mia bisa saja dia akan balas dendam. Saat itulah Farel mengingatku.

"Kei …" Farel membelalakan matanya seraya keluar kamar Rika.

"Bang makasih-makasih dulu kek bukan main tinggal," gerutu Rika seraya melanjutkan kembali aktivitasnya.

***