Chereads / Pieces of Memories / Chapter 7 - Ch 7. Sebuah Kata

Chapter 7 - Ch 7. Sebuah Kata

"Kei ..." panggil Mia dari jauh.

Aku berbalik seraya tersenyum senang. Lalu, Mia segera berlari memelukku

"Kei kemarin aku seneng banget. Makasih ya Kei udah dukung aku," ucap Mia menggebu-gebu.

"Syukurlah ... aku senang mendengarnya," balasku.

"Wah wah ... ada apa nih?" tanya Nadine.

"Kemaren sukses banget Nadine!" jawab Mia dengan mata berbinar-binar.

"Hahaha iya kelitan banget kamu seneng. Terus kapan kamu lepas pelukkanmu itu? Kasian Kei," ucap Nadine.

"Eh? Maaf Kei." ucap Mia begitu melepaskan pelukkannya.

"Ngga apa-apa kok, yu ke kelas," balasku.

"Bagus Mia! Emang pilihan yang tepat manfaatin lo," ucap Nadine dalam hati.

Baru saja aku melangkahkan kaki, Farel menarik tanganku yang membuatku berbalik.

"Kenapa ngga manggil aja sih? Sakit tau!" Protesku.

"Pasti kalau tau aku bawa apa, marahnya ilang," ucapnya percaya diri.

"Emang apa?"

"Nih," menunjukan sebuah komik one-shot.

Mataku berbinar melihatnya.

"Buat aku?" Tanyaku memastikan.

Farel mengangguk.

Aku mengambilnya, "makasih Farel, kamu emang yang terbaik," ucapku seraya mengacungkan kedua jari jempolku.

Farel tersenyum.

Mia menatap Kei penuh dengan rasa cemburu. Ia ingin diperlakukan seperti Kei.

"Apa aku harus menyingkirkan Kei terlebih dahulu?" pikir Mia.

Disisi lain Nadine memandang mereka dengan penuh kebencian.

***

"Baik anak-anak, silahkan buat kelompok yang terdiri dari 4 orang. Kelompoknya kalian yang menentukan," titah Bu Guru.

"Baik bu," jawab murid sekelas.

"Kamu sama aku!"

"Sini sini."

"Kurang satu orang lagi nih."

"Curang kelompoknya yang pinter doang."

"Anak pemalas bersatu, hahaha ...."

"Sama siapa aja aku mah."

Begitulah suasana saat pembetukkan kelompok.

Pembetukkan kelompok selesai. Sudah terbentuk 7 kelompok yang terdiri dari 4 orang dari 28 murid. 7 kelompok akan membahas:

A. Faktor Sebaran Flora dan Fauna

B. Flora Indonesia

C. Fauna Indonesia

D. Flora Dunia

F. Manfaat Keanekaragaman Hayati

G. Pelestarian Flora dan Fauna

"Karena kelompok sudah ditentuka. Silahkan maju perwakilan setiap kelompok, untuk mengambil materi yang akan dibahas pada Bab Flora dan Fauna," perintah Bu Guru.

"Mia maju gih, kamu kan ketua kelompoknya," ucapku.

"Ko aku? Apa kalian ngga bosen?" balasnya.

"Ngga ko, udah sana," ucap Nadine.

"Aku sih ngga keberatan siapapun itu, asal mau bertanggung jawab," sahut Mia.

"Tuhkan, udah paling cocok Mia. Sana gih," ucapku.

Mia mengangguk.

"Nah, silahkan diskusikan dengan kelompok kalian. Presentasi akan dilakukan minggu depan," ucap Bu Guru.

Semua kelompok sibuk berdiskusi.

"Aku buat power pointnya saja," ucap Nadine.

"Kalau gitu, aku cari bahannya," sahut Mia.

"Aku juga," sambarku.

"Kalau gitu kita bertiga cari saja materinya, Nadine tolong bantu kami ya sebelum kamu membuat power pointnya," ucap Shella.

"Tenang saja," balas Nadine.

Mereka berempat pun sibuk mencari materi Pelestarian Flora dan Fauna.

"Aku bikin grup ya, biar kita gampang diskusi," tawar Nadine.

"Ok," ucapku dan Mia.

Shella sedang asik mencari materi.

Ting tong teng!

Bel sekolah berbunyi.

"Baik anak-anak, kita akhiri pelajaran kali ini. Ibu harap kalian membuat presentasi dengan baik," ucap Bu Guru sebelum pergi.

"Woy balikin lagi kursinya!"

"Ini siapa sih yang duduk disini?"

"Ko jadi banyak sampah?"

"Tanggung jawab dong! Main ditinggalin aja."

"Siapa yang pake pulpen aku?"

Begitulah keributan yang terjadi, memang tiada hari tanpa ribut.

***

Sepulang sekolah kami memutuskan untuk mengerjakan pr di rumah Nadine.

Ingin sekali aku menolak, namun tidak bisa. Mau tidak mau aku harus melawan rasa takutku menaiki mobil.

Baru saja Kei membuka pintu mobil, adegan kecelakaan itu terlintas. Kei keringat dingin.

Nadine tersenyum miring, Mia tidak mempedulikannya.

"Kei sedang apa disitu? Ayo masuk, nanti keburu sore," ucap Nadine.

"Kei ayo! Aku ngga bisa pulang malem nih," sahut Mia.

"I-iya, tunggu sebentar ya," balasku gugup.

"Kamu pasti bisa, Kei pasti bisa," gumamku meyakinkan.

"Jangan bilang kamu takut?" ucap Shella baru sadar. Shella bergegas keluar, menahan Kei untuk masuk.

"Jangan dipaksain, ngga baik juga buat kamu," Tahan Shella.

"Naik ojek online ngga apa-apa, kan?" ucapnya kemudian.

"Ngga masalah sih, tapi masalahnya ... Kei ngga bawa uang lebih. Uangku juga, uang Mia juga," jelas Nadine.

"Padahal bisa pake uang Nadine dulu, toh mau ke rumahnya dia," gumam Shella.

Nyatanya Nadine mendengar gumaman tersebut, "cih, dasar so baik," pikir Nadine.

"Pake ojek online aja ngga apa-apa, pake uang aku dulu," tawar Shella.

"Ngga usah, aku ngga mau repotin kamu. Lagian aku juga mau melawan rasa takutku," tolakku.

"Sama aku aja," sahut Farel dengan motornya.

Aku bengong.

"Ngga usah bengong, ayo naik! Nih ambil," Farel melemparkan helm.

Spontan aku mengambilnya.

"Syukurlah ada Farel, sana sama Farel. Farel hati-hati ya," ucap Shella.

"Kamu ngga udah khawatir," balas Farel.

Perlahan aku menghampiri Farel. Tanpa basa-basi, Farel mengambil helm dan memakaikannya.

"Sialan Kei!" umpat Mia dalam hati.

"Farel memang penganggu!" Gerutu Nadine dalam hati.

"Ngapain bengong gitu? Cepet naik, nanti ketinggalan," ucap Farel seraya menunjukkan mobil Nadine sudah berjalan cukup jauh.

Dengan terburu-buru, aku menaiki motor Farel.

Farel segera menjalankan motornya.

***

Butuh waktu 30 menit untuk sampai ke rumah Nadine.

"Ayo masuk ... kalian duduk dulu aja, aku mau ganti baju dulu," ucap Nadine.

"Farel kemana Kei?" tanya Mia penasaran.

"Farel pulang dulu, nanti dia balik lagi buat jemput aku," jawabku.

"Enak ya kamu, udah temenan sama dia dari lama. Berasa kamu tuh prioritasnya dia," ucap Mia.

"Tenang saja, aku yakin Farel akan menjadikanmu prioritas juga. Semangat Mia!" balasku.

"Semoga saja," ucap Mia.

"Kalian ngapain disitu? Ayo masuk!" ajak Nadine yang udah bergantian pakaian.

Shella hanya memperhatikan mereka. Tak lama setelah itu kerja kelompok dimulai.

"Selagi Nadine membuat power point, aku buat bahan yang akan kita presentasikan dan membagikan bagian kita," tawar Mia.

"Sini aku bantu," tawarku.

"Ngga usah, aku sama Shella aja," tolak Mia.

"Aku juga mau bantu," ucapku.

"Kalau gitu, aku boleh minta tolong ngga?" sahut Nadine.

"Apa?" tanyaku.

"Tolong ambilin charger laptop di kamar hehehe ... aku lupa bawa," pinta Nadine.

"Hahaha ... bisa-bisa kamu lupa," sambar Mia.

Shelle tidak begitu mempedulikannya.

"Baiklah, kamar kamu dimana?" tanyaku.

"Bisa-bisanya nanya, padahal dulu sering banget keluar masuk kamar," gumam Nadine.

"Apa Nadine?" tanyaku lagi.

"Ah tidak, kamu tinggal lurus dan belok kanan," jawab Nadine.

"Ok."

Aku mengikuti ucapan Nadine.

"Pasti ini kamarnya," gumamku ketika melihat papan nama bertuliskan Nadine di depan pintu.

Krek!

"Permisi ..." ucapku masuk dengan hati-hati.

Aku menengok kesana kemari, mencari charger laptop, "ternyata disana," aku mengambil charger yang berada di atas meja belajar.

Tak sengaja aku melihat sebuah foto, "ah tunggu ... bukannya ini aku dan Farel?" heranku.

"Ah ..." rintihku.

Bayangan anak lelaki itu kembali.

"Kei tau tidak kenapa aku suka puisi?" tanya anak lelaki itu.

"Kenapa?"

"Karena puisi itu indah. Puisi dapat menjadi luapan perasaan seorang, ketika perasaan itu dituangkan aku merasa bahwa puisi itu hidup."

Aku masih mendengarkan ucapan lelaki itu.

"Puisi juga tidak akan mati. Tak sedikit penyair puisi yang telah tiada, namun karyanya akan selalu ada. Maka dari itu, aku ingin memiliki puisi sendiri. Puisi yang menggantikanku tuk hidup, jikalau aku telah tiada."

Aku tersentuh dengan ucapan anak lelaki itu. Bagaimana bisa anak yang baru berusia 14 tahun dapat berkata demikian?

***