"Keisha ..."
Panggilan anak lelaki itu menjadi penutup dalam mimpi burukku.
"Dia mau ngomong apa ya?" pikirku begitu bangun.
Aku mengedarkan pandanganku, "ini dimana?" gumamku.
"Kamar aku," ucap Farel.
Aku mengingat kejadian sebelumnya, "ah maaf aku ngerepotin."
"Ngga kok, kalau kamu udah enakan ke ruang makan ya. Tinggal belok kanan kok," jelas Farel.
"Iya."
Ceklek!
Farel membiarkanku sendiri.
"Sampai kapan aku harus mimpi buruk? Muak rasanya selalu memimpikan hal yang sama,"batinku.
"Keadaan Farel gimana?" tanya tante.
"Baik kok ma, Kei juga udah bangun," jawab Farel.
"Udah disuruh kesini?"
"Udah kok ma."
"Ma, papa gimana?"
"Tenang, papa ada rapat jadi pulang telat. Sekarang kamu siapin gih alat makan gih."
Farel mengangguk.
Tak lama kemudian aku tiba di ruang tamu.
"Permisi tante ..."
"Oh hai Kei, sini duduk."
"Makasih tante, maaf ngerepotin."
"Santai aja, anggap rumah sendiri ya ..."
"Iya tante."
Tante mengelus kepalaku.
"Nih Kei, dimakan ya," Farel menyodorkan seporsi nasi dengan ayam kecap. Makanan kesukaanku.
"Lho kenapa diliatin aja?" sambung Farel.
"Hmmm ...."
"Kaget ya ada ayam kecap? Hahaha ... ngga usah aneh, mama aku tau banget kalau makanan kesukaan kamu."
Aku menatap Farel tak percaya.
"Kei, dimakan ya ... udah lama kamu ngga main kesini, tante kangen," sahut tante.
"Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa familiar?" batinku.
Aku memakan nasi serta ayam kecap dengan nikmat, sesekali aku menahan tangisku.
Farel dan tante senang melihatnya.
"Enak banget," batinku. Aku sudah lama sekali tidak makan ayam kecap.
"Yang banyak makannya," ucap tante.
Aku membalasnya dengan tersenyum.
"Aku harap kita selalu seperti ini," harap Farel.
Aku menghabiskan makananku dengan cepat.
"Seperti biasa makan kamu cepet ya," sahut Farel.
"Hehehe ..." aku terkekeh.
"Minum dulu, terus tunggu aku di ruang tamu ya," pinta Farel.
"Ok," jawabku mengacungkan jempol.
Aku kembali ke ruang tamu. Melihat kembali foto-foto disana.
"Kenapa aku nangis pas liat foto om dan tante ya?" heranku.
Tidak sengaja aku melihat sebuah foto yang dibalikan.
"Lho kenapa ini dibalikan?" gumamku.
Aku melihat foto itu dan bayangan yang sama saat di rumah Nadine hadir kembali. Ya, foto ini adalah foto aku, Farel, Nadine dan kedua orang lainnya. Aku bertanya-tanya siapa mereka?
"Kei, maaf lama," ucap Farel.
Buru-buru aku meletakan kembali foto itu.
"Kamu masih liatin foto mama dan papa?" tanya Farel yang tidak menyadarinya.
"Iya, aku heran kenapa nangis pas liat foto tante sama om. Apa kamu tau Rel?"
"Hmm, entahlah. Aku juga ngga tahu," bohong Farel.
"Maafkan aku Kei," batin Farel.
Aku menghela napas, menatap Farel lekat-lekat.
"Kenapa?" bingung Farel.
"Lagi mendeteksi apakah kamu berbohong atau tidak," Aku memajukan wajahku. Kini hanya tersisa beberapa senti saja.
"Mana mungkin aku bohong," sanggahnya.
"Mana mungkin? Sangat mungkin!"
"Aku ngga bohong," bela Farel.
"Hmmm ... baikla kalau gitu," Aku menjauhkan mukaku.
Farel merasa lega.
"Aku harap kamu bisa menceritakan semua kenangan yang telah aku lupakan," ucapku meninggalkan Farel, bermaksud tuk pulang.
"Lho Kei udah mau pulang?"
"Iya, salam buat tante ya. Makasih juga buat makanannya, masakan Tante sangat enak!"
"Pasti aku bilangin. Kamu tunggu disitu, aku anter."
"Ngga usah, aku bisa sendiri."
"Yakin? Ini udah malem."
Saat ini pukul 07.30 malam.
"Yakin."
"Baiklah, kalau emang mau kamu. Aku ngga bisa maksa."
"Daahh Farel! Sampai berjumpa hari Senin ..." Aku melambaikan tangan.
Farel membalas lambaian tanganku.
***
Bruk!
Aku membantingkan diri di kasur. Aku merenungkan semua bayangan yang aku lihat. Aku semakin dibuat penasaran.
"Gimana caranya biar ingatanku kembali? Kalau yang aku lihat difilm tuh dibentur kepalanya atau ngga mengalami kejadian yang sama," Aku langsung menggeleng ngeri ketika membayangkannya. "Ngga ngga, pasti ada cara lain!"
Aku membuka ponselku, keluar masuk ke group chat. Aku sangat menunggu tugas yang akan diberikan oleh Mia lewat group chat.
"Apa masih belum?" gumamku.
Aku meletakan kembali ponsel. Berguling-guling dikasur, rasanya tak nyaman sekali ketika penasaran akan sesuatu tapi bingung caranya.
"Kotak biru!" ucapku.
Aku kembali membuka kotak biru.
"Puisi! Iya puisi! Puisi salah satu petunjukku. Siapa tahu ada puisi yang bisa mengingatkanku dengan lelaki itu!"
Akhirnya aku menemukan cara untuk mengembalikan ingatanku.
***
Hari sudah berganti. Aku menyelesaikan sarapanku dengan cepat dan mencari puisi-puisi. Ibu dan Ayah sampai memandangku heran.
"Hmmm puisi karya siapa ya yang aku cari terlebih dahulu?" ucapku.
"Oh iya, berhubung puisi yang berjudul Persahabatan karya Mahdi Idris, aku cari puisi karya beliau saja."
Diketiklah
Puisi karya Mahdi Idris. Ditemukanlah beberapa puisi karya beliau, diantaranya Jelajah, Embun, Sepi, Silsilah Jejak, Ke Lain Kota, Petiklah Air Mataku, Kalender, Jalan, Negeri di Bawah Angin dan Bayang Pemburu.
Aku baca masing-masing puisi. Namun, nihil tidak ada satupun puisi yang dapat mengingatkanku akan anak lelaki itu.
Sampai aku menemukan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Dalam Diriku.
Dalam Diriku
Karya Sapardi Djoko Damono
Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah
Aku menangis sepuas-puasnya.
Aku merasa familiar dengan puisi ini, seakan mengingatkanku kepada seseorang.
Aku mencari penjelasan puisinya.
Disini dikatakan bahwa puisi Dalam Diriku menceritakan tentang si penulis yang didalam badannya ada darah, lalu bergabung menjadi sukma, dan hidup. Karena hidup itu indah, penulis merasa terharu dan menangis. Puisi ini menggunakkan kata konkret (darah, telaga) dan abstrak (hidup, sukma). Amanat yang terdapat adalah hidup itu indah maka kita harus menghargainya.
Untuk berjaga-jaga aku mencatat puisi tersebut.
***
"Keisa!" panggil Devan.
"Apa sih maniak puisi!" balasku.
"Ih marah-marah cepet tua lho," goda Devan.
"Devan seneng banget sih godain Keisha," sahut Nadine.
"Responnya lucu hahaha ..." balas Devan.
"Lucu apaan!" kesalku.
"Iya tau ..." goda Devan lagi.
Aku mengerucutkan bibir.
"Devan udah dong, Kei nya jadi marah," ucap Farel.
"Iya iya, maaf deh," ujar Devan.
"Ok," Aku mengacungkan jempol.
"Tapi ngga janji kalau aku ngga godain kamu hahaha ..." ucap Devan iseng.
Tak!
Aku menjitak Devan.
"Rasain!" ucapku.
Selagi Devan mengusap-ngusap kepalanya yang sakit, ia mengingat apa yang mau dia katakan.
"Oh iya! Aku mau bilang, kalau aku nemu puisi baru lagi. Judulnya Dalam Diriku karya—"
"Sapardi Djoko Damono," potong Nadine cepat.
"Hehehe iya," ucap Devan. "Kaya gini pui—"
"Ets, kalau mau baca puisi nanti aja. Aku mau jajan, Bye!" potongku.
"Aku juga, bye!" sambung Nadine.
"Hmm, aku juga ya Devan," timbal Farel.
"Yah ... padahal puisinya bagus," gumam Devan.
Aku, Nadine dan Farel meninggalkan Devan untuk membeli jajanan di depan sekolah.
***
Dalam Diriku
Karya: Sapardi Djoko Damono
Dalam diriku mengalir sungai panjang,
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya.
***