Hari ini adalah hari yang melelahkan.
Apakah aku sanggup menjalani hari-hari di Sekolah jika terus seperti ini?
.
.
.
Mari kita kembali saat aku masih di Sekolah.
"Kei, Revan, Julian, jangan lupa ke perpustakaan!" peringat Azza.
"Ok," balasku.
"Bawel," ucap Revan.
Julian mengangguk.
"Ayo Mia!" ajak Azza.
"Ayo!"
"Eh tunggu," ucapku menyusul mereka.
Aku berjalan di belakang sendiri, Mia dan Azza asik bercengkrama. Sejujurnya aku tidak menyukai situasi seperti ini. Maka dari itu, aku mencoba untuk berbicara dengan mereka.
"Mia, Az—" Baru saja memanggil omonganku sudah terpotong.
"Tau ngga sih? Artis X mau nikah sama artis Y masa," ujar Mia.
"Serius?" sahut Azza.
"Iya, aku kepoin sosial medianya. Aku liatin fotonya satu-satu dan cocok banget!" balas Mia.
Mereka asik sendiri.
Tak lama kemudian, kami telah sampai di Perpustakaan. Kami pun langsung mencari tempat dan mengerjakan tugas. Ya sekiranya itu yang dilakukan mereka, disini aku hanya melihat mereka mengerjakan tugas.
"Maaf lama," ucap Julian yang baru sampai.
"Iya ngga apa-apa, mana sini tugas kamu," sahut Azza.
"Ini," Julian menyerahkan tugasnya.
Aku bingung karena Julian mendapatkan tugasnya sedangkan aku tidak, apa mungkin tugas itu yang waktu hari minggu.
"Telat banget ngga? Maaf lama, tadi ngobrol dulu sama wali kelas," ucap Revan.
"Ngga telat banget kok." sahut Mia
"Sini tugasnya," ujar Azza.
"Nih, untung aku masih ada kouta. Kalau ngga pasti ngga akan tau tugasku apa," celetuk Revan.
"Bentar? Kouta? Berarti Mia mengirim tugasnya masing-masing kecuali aku?" batinku.
"Revan, kamu dapet tugas darimana? Bukannya ngga ada kabar di group chat ya?" tanyaku.
"Dari Mia. Mia chat pribadi," jawab Revan.
"Lho emang kenapa?" tanyaku lagi.
"Katanya sih biar jelas, kalau di group takut pada bingung," jawab Revan lagi.
Aku mengangguk mengerti sekaligus bingung.
Melihatku yang kebingungan, Revan segera melontarkan pertanyaan, "emang kenapa Kei? Jangan bilang ngga dichat sama Mia?" ucap Revan tepat sasaran.
"Sayangnya tebakanmu betul," kataku.
"Kalau mau ngegosip entar dulu deh, udah tau lagi kerja kelompok!" sela Mia.
"Bener banget!" sambung Azza.
"Mia, kok kamu diskriminasi sih? Kenapa ngga ngabarin Kei?" balas Revan.
"Ngomong apa sih kamu? Orang pas mau ngabarin Kei kouta aku habis!" bela Mia.
"Kan bisa sms."
"Ngga ada pulsa."
"Ya beli, 5.000 aja cukup."
"Kalian bisa diam ngga sih? Jadi ngga konsentrasi aku!" kata Azza kesal.
"Tadinya ngga mau ikut campur, namun ini menyangkut nillaiku juga, jadi aku harap kalian diam," sahut Julian.
"Gila gila, ternyata aku berada di kelompok yang egois," ujar Revan.
"Egois apa sih? Aku udah bilang alasannya, toh Kei juga ngga protes. Yang penting dia ikut bantu-bantu," ucap Mia.
"Tau sih! Kei aja ngga protes," sambung Azza.
"Kei jangan diam aja dong!" tegas Revan.
Ingin rasanya aku protes, namun aku terlalu takut. Takut pertemananku akan hancur, maka dari itu aku memilih diam.
"Masih diam juga?" ucap Revan ngga percaya.
"Ngga apa-apa kok Revan, Mia juga udah jelasin semuanya," ucapku.
"Jangan terlalu baik Kei, ngga baik!" ujar Revan sebelum meninggalkan Perpustakaan.
"Maaf ya," lirihku.
"Kalau merasa bersalah mending diam," sahut Azza.
Aku menunduk.
***
Mengingat apa yang terjadi di Perpustakaan kembali membuatku lelah yang membuat perutku berbunyi.
kruyuukk!
"Ah lapar," gumamku.
Aku keluar kamar dan mendapati ayah, ibu belum pulang. Lalu, aku membuka lemari makan. Setelah dibuka, aku menemukan ayam goreng dan sayur kangkung.
"Untunglah Ibu masak," gumamku lagi.
Tidak butuh waktu lama untukku mengambil makanan, aku letakan piring di meja makan. Baru saja aku mau duduk, ponselku sudah berbunyi.
Ring...ring...
Aku melihat nama sahabatku, Farel.
"Halo ..." ucapku setelah menggeser layar ponsel ke tombol hijau.
"Kei ada dimana?" tanya Farel.
"Di rumah, kenapa?"
"Nonton Penjaga Galaksi yu! Dijamin seru!"
"Nonton dimana?"
"Rumah kamu, aku udah di jalan. Ngga usah siapin cemilan."
"Ngedadak banget ya."
"Justru kalau ngedadak itu pasti jadi, tungguin ya."
"Hahaha ... iya."
Pip!
Aku meletakan ponselku kembali, melanjutkan makan dan mempersiapkan Ruang TV, seperti disapu terlebih dahulu, menyiapkan minum, juga membuatnya seolah-olah berada di Bioskop.
Tok..tok...tok
"Masuk aja!" teriakku.
Ceklek!
"Wow udah disiapin!" ujar Farel begitu melihat Ruang TV gelap.
"Iya dong!"
"Ngga salah ngajak kamu," pujinya mengelus kepalaku.
"Kebiasaan deh," gerutuku.
"Habis gemes hehehe ..." sahutnya.
"Dasar ..." balasku.
"Ayo sini, masa mau nonton berdiri?" ajaknya menepuk-nepuk sofa.
Aku tersenyum, seketika aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Farel.
"Rel, tetep jadi sahabat aku ya," lirihku.
"Tenang saja," balasnya yang ternyata mendengar.
Aku tersenyum senang.
***
"Lho kok pada gelap?" gumam ibu begitu sampai rumah.
Ibu menyusuri seisi rumah dan melihat kami sedang asik menonton.
"Dasar anak muda, sampai ngga sadar Ibunya udah pulang," ucap ibu.
"Bu, kok ini pada gelap? Padahal udah jam setengah tu--"
"Ssttt ... Ayah jangan berisik, nanti ganggu," potong ibu.
Ayah tidak mengerti maksud ibu sampai mengikuti arah pandang ibu, baru mengerti.
"Ayo Bu kita pergi, jangan ganggu anak muda," bisik ayah.
Ibu mengangguk menyetujui.
"Baru tau kalau filmnya seru! Kenapa baru ngasih tau sekarang?" ujarku.
"Aku baru punya filmnya Kei."
"Ada lagi ngga Rel?"
"Nanti kalau ada aku ajak kamu nonton lagi."
"Harus! Film apapun yang menurut kamu seru, harus kasih tau aku."
"Siap!"
"Permisi anak muda, sudah waktunya makan," ucap ibu.
"Ibu! Ibu kapan pulang?" Aku berdiri menghampiri ibu.
"Hallo Tante." ucap Farel di belakangku.
"Hmmm, 30 menit yang lalu? Oh hallo nak Fare," balas ibu.
"Kok ngga tegur aku Bu?" tanyaku.
"Ibu ngga mau ganggu, kalian asik banget nontonnya."
"Hehehe ... emang seru sih filmnya."
"Ayo makan, sebelum makan nyalain lampu Ruang TV dulu," titah ibu.
"Siap Bu!" balasku.
"Biar aku aja, kamu duluan sana," tawar Farel.
"Kamu itu tamu, biar aku aja," tolakku.
"Udah bukan tamu lagi aku, udah sering main ke rumah kamu."
"Tetep aja, yang namanya tamu ya tamu!"
"Ya udah berdua, heran gini aja pake debat."
"Kamu yang mulai!"
"Hahaha ... iya iya," ujar Farel sebagai penutup perdebatan kami.
"Lama juga ya," celetuh ayah.
"Ayah! Ternyata Ayah juga udah pulang, curang ngga tegur aku!" keluhku.
"Gimana mau negur, kamunya aja anteng nonton," balas ayah.
"Hehehe ... iya sih," lirihku.
"Udah udah, ayo makan," ujar ibu.
kami berempat pun makan bersama.
"Nak Farel kamu suka sama anak om?" tanya ayah tiba-tiba, untung saja aku tidak tersedak.
"Eh? Apa om?" balas Farel tidak kalah kaget.
"Jujur aja sama kami, kami ngga akan ngelarang kok," sahut ibu.
"Ibu apaan sih?" protesku.
"Kalau gitu om ganti pertanyaannya. Farel, ada gadis yang kamu suka?" ucap ayah.
Farel menjawabnya dengan tersenyum simpul.
"Om ngga puas sama jawaban kamu, tapi kalau kamu mau resmiin, resmiin aja ya," ucap ayah.
Aku tidak percaya dengan kedua orang tuaku. Memang ada yang Farel sukai, tapi bukan aku. Aku jadi merasa bersalah pada Farel.
Farel menyadariku yang memperhatikannya, ia kembali mengusap kepalaku di depan ayah dan ibu. Mereka makin salah paham.
***