"Maaf ya aku lama," ucapku begitu kembali.
"Kamu ngapain saja?" tanya Mia kesal.
"Maaf, tiba-tiba kepalaku pusing. Jadi aku berdiam diri dulu sebentar," jelasku.
"Untung saja baterai laptop Mia masih ada," omel Mia.
"Sudah sudah, mana Kei?" ucap Nadine.
Aku memberikan charger laptop dengan tangan gemetaran.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Nadine yang menyadarinya.
"Maaf ..." lirihku.
"Kok minta maaf sih? Kalau kamu masih pusing, pulang aja! Ngga apa-apa kok, besok kita lanjut lagi di Sekolah," ucap Nadine lembut.
"Kalau gitu aku pulang duluan ya," pamitku.
"Iya, hati-hati Kei," balas Nadine.
"Kalau kamu emang sakit bilang Kei, pantesan aja tadi naiknya lama," sahut Mia.
"Aku pergi," ucapku.
"Aku juga pulang, toh tugasku sudah selesai," sambar Shella menyusulku.
"Kei!" panggil Shella.
"Lho Shella juga mau pulang?" ucapku heran.
"Iya, tugas aku juga udah selesai. Kamu beneran baik-baik aja?" ucap Shelle.
"Iya, cuma pusing aja tadi," jawabku.
"Ya udah kalau gitu ... kamu pulang naik apa?"
"Aku juga bingung."
"Mau pakai uangku dulu buat naik ojek online?" tawar Shella.
"Bolehkah?"
"Kalau ngga boleh, kenapa aku tawarin?"
"Terus kamu pulang naik apa?"
"Angkot."
"Maafin aku ya Shella."
"Santai saja, rumah aku juga dekat ko."
"Terima kasih ...."
"Sama-sama."
Akhirnya Kei menerima tawaran Shella dan sampai rumah dengan selamat.
Sementara itu, di rumah Nadine.
"Apa-apaan dia? Baru mengerjakan sedikit. Enak aja!" omel Mia.
"Sudahlah Mia, aku yakin dia pusing karena melihat foto," ucap Nadine.
"Foto? Jangan bilang kamu sengaja!"
"Tentu saja! Aahh ... hari yang membahagiakan," ucap Nadine senang.
"Memang foto apa?"
"Kamu ngga perlu tau detailnya, cukup buat Farel menjauh," titah Nadine.
"Ck, tidak segampang itu."
***
"Mana Kei?" tanya Nadine begitu sampai.
"Udah pulang," jawab Nadine.
"Kamu apaan Kei? Kenapa Kei pulang duluan?" curiga Farel.
"Ets, jangan curiga gitu dong! Kei cuma pusing dan pulang duluan," balas Nadine cepat.
"Apa yang sudah kamu lakukan?" Farel masih curiga.
"Baiklah, aku mengaku bahwa Kei pusing karena melihat foto kita semasama SMP. Setidaknya itulah yang aku duga," jelas Nadine.
"Ngga mungkin ngga sengaja, pasti kamu sengaja buat Kei liat foto itu!" ucap Farel benar.
"Wow, kamu memang pintar," balas Nadine seraya bertepuk tangan.
Farel menatap Nadine penuh amarah.
"Lho ada Farel?" ucap Mia yang baru datang.
"Iya, katanya mau jemput kamu," ucap Nadine seenaknya.
Baru saja Farel mau menggelak, Mia sudah berkata, "makasih Farel, aku kira kamu mau jemput Kei."
"Udah sana pulang, hati-hati ya!" ucap Nadine.
Nadine tersenyum miring.
"Sial!" umpat Farel dalam hati.
Farel menyerahkan helm ke Mia. Lalu, Mia memakainya. Dengan terpaksa Farel mengantarkan Mia pulang.
"Makasih ya Farel, mau masuk dulu?" ucap Mia.
"Ngga perlu, aku udah ditunggu Ibu," tolak Farel.
"Ya udah, hati-hati ya ...."
"Iya."
Mia menatap kepergian Farel. Senyum cerah telah menghiasi wajahnya.
***
Aku langsung merebahkan diriku. Perkataan anak lelaki itu teringat jelas. Dia memang maniak puisi.
Tok ... tok ... tok!
Klek!
"Kamu baik-baik aja?" tanya ibu khawatir.
"Baik ko Bu, aku cuma pusing aja," jawabku.
"Ibu buatkan bubur ya ... kamu istirahat yang banyak," ibu mengelus kepalaku.
"Terima kasih Ibu."
"Sama-sama sayangnya Ibu," ucap ibu tersenyum.
Senyum ibu memanglah obat yang terbaik.
Aku membalikkan badanku dan bermain ponsel, takut-takut ada informasi dari Mia mengenai tugas kami. Tidak ada informasi apapun, maka aku lanjut bermain ponsel sampai mataku tertutup.
"Kei, kamu suka puisi tidak?" tanya anak lelaki itu.
"Suka ngga suka," jawabku.
"Hahaha ... jawaban apa itu?" tawa lelaki itu.
"Emang bener kok!" balasku.
"Kenapa begitu?" tanyanya lagi.
"Hhmmm ... ah, setelah aku pikir-pikir, aku tidak suka puisi," ucapku.
"Lho kenapa?"
"Ribet mungkin?"
"Bagiku tidak."
"Aku ngga nanya," balasku cepat.
"Aku cuma mau kamu tau."
"Tidak usah diberitahu pun, aku sudah tau. Kamu lupa aku memanggilmu maniak puisi?"
"Hahaha ... benar juga. Kei emang luar biasa ya, jadi makin suka."
"Hah? Apa?"
"Eh? Kenapa?"
"Rupanya tak sadar," ucapku dalam hati.
"Kei, udah mau masuk nih. Ayo ke kelas, bisa bahaya kalau telat masuk," ajaknya.
"Ayo!" ucapku.
Perlahan aku membuka mata dan melihat Farel tertidur di tepi tempat tidur dengan tangan dilipat sebagai bantal.
"Farel bangun ..." Aku menggoyangkan badan Farel pelan.
Farel bangun dengan mengusap matanya.
"Pegel ngga?" tanyaku.
"Apa?" Farel balik tanya.
"Pegel ngga?" tanyaku lagi.
"Pegel?"
"Iya, tadi kamu tidur dengan melipat tangan," jelasku.
"Ohh, ngga kok ... karna kasurnya empuk jadi ngga pegel," ucap Farel santai.
"Hahaha ... dasar."
"Udah baikkan?"
"Udah ko, kamu kesini cuma mau nanya kabarku?"
"Iya, nih dimakan dulu," Farel menyerahkan semangkuk bubur.
"Makasih ... perhatian banget sih, berasa punya pacar."
"Kalau kamu mau, aku bisa jadi pacar kamu."
Untung saja aku tidak tersedak.
"Kalau hanya demi aku, lebih baik tidak usah. Aku tidak ingin kamu terpaksa."
"Kata siapa? Aku ngga masalah kok."
"Entahlah ... firasatku mengatakan tidak ..." ucapku pelan.
"Maaf ...." lirihnya.
"Maaf buat?" heranku.
"Aku hanya ingin meminta maaf."
"Meski aku ngga tau alasannya, aku pasti maafin kamu," ujarku tersenyum.
Farel membalas senyumanku.
***
"Farel, aku sekolompok sama kamu ya!" ajak anak lelaki itu.
"Kenapa ngga sama Nadine dan Kei?"
"Mereka udah sekelompok, tinggal kamu nih yang belum."
"Ngga apa-apa sekelompok sama aku? Aku kan culun," ucap Farel tak percaya diri.
"Memang salah? Aku ngga masalah tuh. Kamu juga harus tau, aku dijuluki si gila puisi sama teman-temanku dulu, lucu bukan? Hahaha ... lagipula kamu juga temennya Kei."
"Kalau begitu, baiklah."
"Oh iya, kamu harus tau! Kei bilang kalau aku maniak puisi hahaha ...."
"Memang cocok sih."
"Hahaha ... ternyata kamu setuju sama Kei."
"Tentu saja, Kei kan temanku."
"Hahaha ... dasar kau ini."
Setelah pelajaran selesai, lelaki itu dan Farel menghampiri kami.
"Lho Farel kenal dia?" tanyaku.
"Kenal dong, kan sekelas," jawab lelaki itu.
"Aku nanya ke Farel bukan kamu," ucapku sebal.
Lelaki itu tertawa.
"Hai Farel, aku Nadine. Salam kenal ya," ucap Nadine.
"Iya."
Nadine tersenyum. Seketika Farel terpesona.
"Oh iya, dia kemana?" tanyaku.
"Ngga tau, pas bel langsung keluar," jawab Nadine.
"Kalian ke rumah aku yu!" ajak lelaki itu.
"Boleh saja," ucapku dan Nadine.
Farel mengangguk.
***
"Farel kenapa bengong?" tanyaku.
"Lho?" herannya.
"Dasar, bisa-bisanya ngga sadar. Liat nih bubur aku sampe habis. Ngelamunin apa sih?" ucapku sebal pasalnya baru kali ini aku melihat Farel melamun.
"Bukan apa-apa kok, hanya masa lalu," jawabnya.
Aku menatap Farel penuh curiga.
"Oh ayolah ... percaya sama aku," rengeknya.
"Beneran?"
Farel mengangguk.
"Aku setengah percaya," ucapku melipat kedua tangan.
Farel mencubit hidungku gemas.
Tak!
Aku memukul tangan Farel, "sakit tau!"
"Siapa suruh ngga percaya," godanya.
"Setengah percaya!" balasku cepat.
"Bagiku itu tidak percaya!" ucapnya seraya mencubit hidungku lagi.
Aku mengusap hidungku.
"Kamu tenang saja disana, serahkan Kei kepadaku. Aku janji akan menjaganya," ucap Farel dalam hati memandangku yang tengah mengomel.
"Farel nyebelin! Awas aja kalau hidungku merah," gerutuku.
***