"Farel," panggilku sebelum kami menaiki motor.
"Hmm ..." sahutnya.
"Aku mau ke rumah kamu?"
Hampir saja Farel jatuh dari motor saat menaikinya.
"Serius?"
"Iya, aku mau melawan rasa takutku. Ngga selamanya aku bisa menghindar."
"Kamu yakin?"
"Iya."
"Ya udah, ayo naik."
Aku hanya berharap bahwa keputusanku ini tidak salah. Sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang berbicara. Kami sibuk dengan pikirian masing-masing. Farel dengan kekhawatirannya jika aku melihat foto itu dan aku yang memikirkan lelaki itu, mengapa bisa ingatan itu muncul disaat aku bersama Farel? Aku yakin ini ada hubungannya.
"Kei, udah nyampe nih," ucapnya.
"Ah iya," aku turun dari motor.
"Kamu duduk di kursi teras dulu ya," pinta Farel yang segera aku laksanakan.
Krek!
Pintu terbuka memperlihatkan seorang anak perempuan ramping dengan rambut berponi yang dikuncir kuda memakai pakaian rapi.
"Lho ka Kei? Tumben banget ke sini," ucapnya.
"Maaf, siapa ya?"
"Ah aku lupa kalau kakak amnesia. Aku Rika adiknya bang Farel," jelasnya.
Aku langsung merasa tidak enak, "maaf ... aku tidak menyapamu terlebih dahulu," ucapku setelah berdiri.
"Ngga apa-apa kok ka, kakak duduk lagi aja. Permisi ya ka," balasnya.
"Adik yang baik," gumamku.
"Lho de? Kamu mau kemana?" tanya Farel.
"Main dong bang, emang abang doang yang bisa main."
"Ohhh, udah bilang ke Mama sama Papa?"
"Udahlah, sana abang sama ka Kei aja!"
"Ya udah, hati-hati."
"Oh iya ka, semangat ya! Jangan terpaku sama masa lalu hehehe ..."
"Bawel."
Farel dengan adiknya hanya berjarak 1 tahun, maka dari itu Farel sangat terbuka dengan adiknya.
"Yuk Kei masuk," ajak Farel. Cepat-cepat Farel menyembunyikan sebuah foto. Padahal tanpa disembunyikan pun aku sudah liat waktu di rumah Nadine.
"Mau minum apa Kei?"
"Air putih aja, aku masih kenyang."
"Ok."
Aku melihat-lihat sekeliling, mataku berhenti saat menatap kumpulan foto. Aku melihat foto Farel dan adiknya waktu kecil.
"Lucu banget," gumamku.
Deg!
Badanku kaku ketika melihat kedua orang tuanya.
Tes ... tes ...
Tiba-tiba saja air mataku turun, "kok nangis sih?" ucapku menyeka air mata.
"Hiks ... hiks ... kok makin gede sih nangisnya?"
"Maaf ya lama, tadi aku ganti baju du—"
Farel membelalakan matanya lantaran terkejut melihatku menangis. Farel langsung menaruh gelas dan memelukku.
"Kei, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Jangan nangis ..." ucap Farel.
"Ini membuat rasa bersalahku semakin besar," lanjutnya dalam hati.
"Ngga tau Rel, aku ngga tau! Begitu melihat foto Om dan Tante air mataku keluar begitu saja. Apa yang sudah aku lakukan pada Om dan Tante?"
"Ngga Kei, ngga ada. Itu hanya perasaanmu saja."
"Tapi kenapa menyesakkan?"
Farel makin mempererat pelukannya.
"Maaf Kei maaf," berulang kali Farel mengucapkan kata maaf di dalam hatinya. Ia menyesal tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya. Farel hanya inginku bahagia, menikmati hidupnya seperti yang aku mau.
***
Krek!
Farel menutup pintu kamarnya, membiarkan Kei istirahat. Setelah menangis Kei langsung tertidur di sofa.
"Farel, kamu udah pulang nak?" tanya mama Farel dari bawah.
"Udah ma," sahut Farel.
"Kamu sendiri? Ngga sama temen? Mama liat ada sendal orang lain di luar."
"Ada Kei ma."
"Kei? Keisha temen SD kamu?"
"Iya."
"Rupanya udah berani main kesini."
"Lebih tepatnya diberani-beraniin."
"Maksud kamu?"
"Kei nangis cuma liat foto mama dan papa."
"Ya ampun, mama jadi ngga tega. Anak seceria dia masih dihantui masa lalu yang dia pun tidak mengingatnya."
"Mungkin itu lebih baik, daripada mengingatnya," balas Farel.
"Denger nak, masa lalu juga bagian dari hidup. Dengan adanya masa lalu, kamu dapat belajar dari kesalahanmu sebelumnya bukan?"
Farel terdiam.
"Mama harap kamu dapat menerima masa lalu kamu."
Farel tersenyum sendu, "mama, papa juga udah pulang?" tanya Farel khawatir karena papanya sudah tidak menyukai Kei.
"Tenang, papamu ke kantor. Mama bakal cegah papa pulang cepet. Sana jagain Kei," ucap mama Farel lembut.
Beruntung sekali mama Farel dapat menerima segala kejadian di masa lalu.
Farel masuk ke kamarnya, duduk di samping tempat tidur seraya mengelus kepalaku. Tiba-tiba Farel mengenang masa lalunya.
.
.
.
Farel dan Kei saat berumur 8 tahun.
Saat itu, kami sedang bermain sepeda di sekitaran rumah kami.
"Ayo dong Farel susul aku," teriakku.
"Jangan ngebut-ngebut Kei!" balas Farel teriak.
"Ah cemen kamu, masa ngga berani ngebut."
"S-siapa bilang?"
"Itu tadi? Wle, hahaha ...."
Farel yang tidak menerima segera mengayuhkan sepedanha lebih cepat.
Whuss!
"Yeay aku nyusul Kei," teriak Farel senang.
Tentu saja aku tidak terima, aku langsung menambah kecepatanku dan...
Bruk!
Farel terjatuh.
"Farel!" teriakku.
"Aku ngga apa-apa ..." lirihnya nahan nangis.
Bruk!
Aku ikutan jatuh karena ngerem ngedadak.
"Kei!" teriak Farel, buru-buru Farel bangun bermaksud mengampiriku, namun Farel kembali jatuh dan menangis.
Tanpa mempedulikan rasa sakitku, aku menghampiri Farel.
"Aduh kaki Farel berdarah," gumamku.
"Hiks ... hiks ... Kei sakit ..." rintih Farel.
"Ayo naik," ucapku seraya berjongkok membelakangi Farel.
Farel mengangguk.
Hap!
Farel menaiki punggungku. Perlahan, aku berdiri, "berat juga," pikirku.
Cukup memakan waktu hingga sampai rumah Farel. Mama Farel sangat panik ketika melihat darah bercucuran dari kakinya.
"Kalau gitu, aku permisi ya tante," pamitku.
"Tunggu, kamu juga harus diobati. Lihat lutut kamu!" ucap tante.
"Tunggu, kamu juga harus diobati. Lihat lutut kamu," ucap tante.
Aku melihat lututku yang terluka, lalu berkata "ngga apa-apa kok tante,"
"Ngga apa-apa gimana? Udah jelas-jelas lutut kamu berdarah!"
"Hehehe …."
"Dasar, sini duduk ... tunggu sebentar ya Kei, tante ngobatin Farel dulu."
"Iya tante."
"Aw, sakit ma!" teriak Farel.
"Ssttt, anak cowok ngga boleh cengeng. Udah tadi digendong sama Kei, kamu ngga ketukerkan sama Kei?"
"Ish mama!" protes Farel.
"Hahaha ... makannya jadi cowok tuh harus kuat! Ok!" ucap tante yang diakhiri angguk Farel.
"Nah, selesai ... sana ambil sepeda kamu," titah tante.
"Kok aku sih ma?"
"Terus siapa lagi? Mama? Itu sepeda kamu apa sepeda mama?"
"Iya deh, sendiri?"
"Iya ... udah sana mama mau ngobatin Kei."
Farel mengerucutkan bibir.
"Ngga apa-apa tante, Kei ambil sepeda Kei aja," ucapku berdiri, namun ditahan tante.
"Udah biarin."
"Tap—"
"Iya nanti kamu susul Farel, sebelum itu tante obatin dulu ya?" pinta tante.
"Ok tante!"
Tante memperlihatkan senyum cantiknya. Sudah tidak diragukan lagi, kegantengan Farel nurun dari mamanya yang cantik. Ah bukan berarti papanya Farel ngga ganteng ya.
"Makasih tante," ucapku seraya berlari menyusul Farel.
"Aduh Kei, baru juga udah diobatin," gumam tante.
Aku melihat Farel sedang kesusahan menggiring dua sepeda.
"Farel, makasih ya!"
Farel mengabaikanku.
"Kamu marah?"
"Iya!"
"Maaf ya ... gara-gara Kei, Farel jadi bawa sepedanya sendiri," sesalku.
Farel merasa iba dan akhirnya memaafkanku.
"Iya deh aku maafin, tapi besok beliin aku es krim ya!" balas Farel.
"Ok, aku beliin yang harganya 2000 hahahaa ...."
"Ngga masalah," balasku.
.
.
.
Farel terkekeh ketika mengingat masa kecilnya denganku.
Sedangkan aku harus mengalami mimpi buruk untuk yang kesekian kalinya.
***