Chereads / 8.760 hours in the wound / Chapter 5 - Me, bad weekend and broken heart

Chapter 5 - Me, bad weekend and broken heart

Sama seperti hari-hari yang telah dilalui. Claudy, gadis itu selalu dikelilingi rasa bingung dan sedih. Bingung harus melakukan apa di rumah sebesar ini, dan sedih selalu mendapat perlakuan dan perkataan tajam dari Pak Dirga, sang suami.

Sore ini, bertemankan matahari yang akan melukis senja. Burung-burung hilir mudik untuk kembali ke sarang. Langit biru yang sebentar lagi akan disinari bulan. Claudy tersenyum memandang keindahan alam itu dari jendela kamarnya. Menakjubkan, pikirnya.

Malam pun datang, Claudy memilih menyiapkan makan malam. Dengan gesit, gadis itu menggerakkan alat-alat dapur dan memasak bahan yang tadi siang ia beli melalui aplikasi online. Ya, karena Pak Dirga entah pergi kemana dan Claudy tidak tahu harus keluar rumah menggunakan kendaraan apa. Sementara, ini saja ia belanja menggunakan uang yang terselip di dompet miliknya. Pak Dirga tidak memberikan uang sepeser pun kepadanya.

Makan malam sederhana yang telah diracik selama hampir 1 jam, akhirnya ia sajikan di atas meja makan mewah itu. Claudy makan terlebih dahulu tanpa menunggu Pak Dirga pulang. Setelah ini, dia akan bersemedi saja di kamar. Terserah, nanti Pak Dirga akan memakan atau tidak hidangan ini, yang penting Claudy sudah menyiapkan dan menjalankan kewajiban sebagai istri.

Pukul 01.00 dini hari, Pak Dirga pulang dan Claudy sudah berselancar di dunia mimpi. Pak Dirga melewati meja makan untuk mengambil minum. Dia hanya melirik tanpa minat makanan yang sudah terhidang. Sudah dipastikan makanan itu dingin.

Keesokan harinya Claudy tetap menghidangkan sarapan ataupun makanan untuk Pak Dirga. Meskipun makanan itu berujung di tempat sampah karena tidak dimakan.

Kali ini, Claudy ingin menghirup udara segar. ia berniat ingin berjalan-jalan di Taman belakang rumah ini. Namun, baru saja ingin meraih gagang pintu, suara Pak Dirga menghentikannya.

"Pagi-pagi begini sudah ingin keluyuran. Dasar gadis tidak memiliki aturan!"

kulihat Pak Dirga yang hanya menggunakan piyama tidur, sedang menuruni tangga. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis dan melanjutkan niat awalku.

"Hmmmmm, segar!" gumamnya seraya mendudukkan diri di atas rumput jepang tanpa alas.

"Jangan hanya ingin menikmati apa yang ada di rumah saya. Harus tahu diri!"

Mendengar itu Claudy membuka matanya. Gadis itu Kira, Pak Dirga tidak akan mengikutinya hingga ke sini. Ah, jika berkata mengikutinya rasanya Claudy terlalu memiliki percaya diri yang tinggi. Mana mungkin Pak Dirga mau membuang waktu berharganya demi mengikuti dirinya. Anggap saja Pak Dirga juga ingin ke Taman.

Tubuh jangkung dan kekar dambaan para wanita milik Pak Dirga berdiri menjulang di depan Claudy. "Nanti siang saya akan berangkat ke Raja Ampat untuk berlibur bersama wanita saya selama dua minggu. Saya harap kamu mampu menjaga rumah mewah saya ini!"

Claudy tercengang, "Dua minggu?"

Pak Dirga menganggukkan kepala, "Ya, apa ada masalah, apa kamu cemburu?"

"Tidak bisakah bapak sedikit saja menghargai aku sebagai istri?" tanya Cloudy seraya mendongakkan kepala untuk menatapnya.

"Kamu ingin saya hargai?" tanya balik Pak Dirga

Claudy mengangguk sebagai jawaban.

"Bukankah kamu sudah saya hargai satu milyar dan emas seratus gram. apa itu masih kurang?" remehnya

Claudy menarik nafas lalu tersenyum, "Pak, aku tidak pernah meminta bapak untuk menikahiku dengan mas kawin sebesar itu. Bahkan di setiap harapanku, aku tidak pernah berharap dapat mengenal bapak. Jika bapak keberatan menikahiku atas perjodohan ini. Mengapa bapak menerima tawaran ayah dan ibu tiriku? Aku rasa, kalimat tolakkan sungguh banyak yang bisa bapak lontarkan kepada mereka."

Pak Dirga terdiam dan menatap gadis itu dengan tajam. Tanpa mengatakan sepatah dua patah kata, Pak Dirga pergi begitu saja.

Tepat matahari di atas kepala, Pak Dirga turun dengan membawa sebuah koper hitam besar. Claudy yakin, itu adalah perlengkapan untuk berlibur di Raja Ampat bersama kekasihnya yang bernama Arlinda Maheswari.

Mengingat nama wanita itu, ingin sekali Claudy menjambak rambutnya hingga botak. Belum ada ikatan sah sudah berani berlibur dengan pria selama berminggu-minggu.

Kulihat Pak Dirga pergi begitu saja tanpa pamit atau mengucapkan sebilah kata kepadaku. Baiklah, kisahku seperti ucapan yang sering keluar dari mulut sahabtku.

"Dekatnya dengan diriku, jadiannya dengan orang lain. Menikahnya denganku, Bulan madunya bersama wanita lain"

"Miris!" Gumam Claudy sambil memukul kepalanya sendiri

Daripada menjaga rumah sebesar ini tanpa pembantu ataupun satpam. Claudy memutuskan untuk berkunjung ke rumah ayahnya dan menginap untuk beberapa hari di sana. Mungkin dirinya tidak perlu membawa pakaian, di sana masih banyak pakaian yang ia tinggal.

Dengan sisa uang yang ia temui di dompet dan tas yang ia bawa. Claudy memutuskan memesan ojek online sebagai kendaraan ke rumah ayahnya.

"Eh, neng Ody!" sapa mang Dharma, supir di rumah ayah yang sudah bekerja belasan tahun.

"Iya, Mang. Ayah ada di rumah?" Tanya Claudy sambil tersenyum.

"Ada, Neng. Tuan sama nyonya lagi pada di rumah" jawab mang Dharma

gawat. Mak lampir sedang berada di rumah.

"Oh, Aku menemui ayah dulu ya. Permisi, Mang."

Tok Tok Tok

Langsung saja kuketuk pintu coklat rumah ayah. dan muncullah sosok pria yang tampak sudah berumur, ayahku.

Mata Claudy berbinar dan tersenyum. Inilah Claudy, sosok yang berhati seputih awan selembut kapas. "Ayah, Ody-,,"

"Heh, ingin apa kamu kemari, Claudy?"

Jangan ditanya siapa yang bertanya seperti itu, jika bukan ibu tirinya. Langkah Claudy yang ingin memeluk sang ayah terhenti.

"Aku hanya ingin berkunjung menemui ayahku dan menginap untuk beberapa hari di sini." jawab Claudy

"Menginap kamu bilang?" tanya ibu tiri Claudy dengan mata tajam.

Claudy mengangguk sebagai jawaban.

"Tidak bisa! Kamu sudah bukan anak suami saya lagi. kamu sudah menikah, sudah milik orang lain!" ucap Tyas, ibu tiri Claudy.

"Ibu selalu berkata tidak bisa untuk apapun yang berkaitan denganku. Jika ibu berkata tidak bisa, mungkin ayahku akan berkata bisa." balas Claudy dengan tenang. "Ayah, Izinkan aku menginap di sini untuk beberapa hari. Suamiku sedang ke luar Kota."

Pak Irwan, ayah Claudy tampak berfikir. Semoga saja ayah mengijinkan.

"Mas, jika kamu mengijinkan dia menginap di sini. Aku akan pergi dari rumah ini!" hasut Tyas.

Ayah Claudy terkejut, "Jangan, Tyas. Kamu tetap di sini bersamaku!"

Tyas, si ibu tiri itu tersenyum menang dan memeluk tangan ayah, "Kalau begitu Claudy tidak bol-,"

"Jadi, Ayah tidak mengijinkanku menginap disini atau setidaknya menawariku untuk masuk?" potong Claudy dan memandang sendu sang ayah.

"Maaf, Claudy. Ayah tidak mengijinkanmu!" jawab ayah dengan wajah datar, "Apa yang dikatakan Tyas benar. Kamu bukan anak ayah lagi, kamu sudah memiliki suami."

"Bukan?" tanya Claudy

"Ya, bukan" jawab ayah

"Bukankah aku tetap anak ayah. Seperti yang kuketahui, jika menikah hanya tanggung jawab ayah yang berpindah kepada suamiku." jelas Claudy

Irwan menggelengkan kepala.

Sakit tak berdarah. Luka parah namun Tak terlihat. Inilah patah hati yang terhebat.

Claudy menangis sambil tertawa hambar, "Hah, ternyata cinta ayah sangat besar dengan wanita ini, sampai-sampai cintanya mengalahkan rasa cinta ayah kepadaku sebagai seorang anak. Jangan-jangan dulu ayah tidak mencintai mendiang ibuku."

Plakk

Oke, seorang ayah tega menampar putrinya.

"Jaga ucapanmu Claudy. Ayah tidak pernah mengajarkanmu seperti itu!" ucap ayah dengan mata tajam, "Tyas adalah ibu sambungmu!"

Claudy tersenyum smirk, "Aku tidak pernah meminta untuk memiliki ibu sambung. Dan ayah memang tidak mengajarkanku seperti itu. Tapi, ayah yang membuatku harus begitu. Bahkan 18 tahun aku hidup di dunia, baru sekarang aku merasakan tamparan seorang ayah. Setelah dua tahun pernikahan ayah dengannya. Ayah berubah!" Tunjuk Claudy dengan deraian air mata.

katakan saja Claudy anak durhaka. Tapi, Bagaimanapun juga seorang anak pasti memliki perasaan. karena manusia memiliki hatinya masing-masing.

"Sudah, tidak perlu kamu berbicara panjang lebar. Sebaiknya pergi saja dari rumah ini. jika bisa pergi saja sejauh mungkin!" Celetuk sang ibu tiri seraya menumpukan kepalanya di pundak ayah.

"Baik. Jika itu yang kalian inginkan, Aku akan pergi." kata Claudy dan bergantian menatap ayah, "Jika ayah tidak menganggap aku sebagai anak karena aku telah menikah, satu hal yang harus ayah tahu. Aku tidak pernah menginginkan bahkan meminta untuk menikah sebelum aku Lulus sekolah. aku tidak pernah meminta untuk di jodohkan. Tapi ayah sendirilah yang menjodohkanku bahkan menawarkanku layaknya barang dengan Pak Dirga untuk ditukar dengan uang satu milyar dan emas seratus gram yang kemudian dijadikan mas kawin, lalu setelah itu ayah ambil uang dan emas itu untuk menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut. Apa salahku ayah? Apa?" tangis Claudy semakin pecah.

Irwan dan Tyas hanya bungkam. Tidak berbicara atau bertindak apapun.

Claudy mengusap air matanya dengan kasar dan tersenyum, "Jika dulu ayah adalah matahari bagiku. Tapi, sekarang ayah adalah petir yang menyambar dan menggelapkan awan. Aku terima keputusan ayah tentang tidak menganggapku lagi sebagai anak karena aku telah menikah. Aku minta maaf, jika hidupku merugikan ayah. Aku juga tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia. Tapi hidupku adalah hadiah Tuhan. Aku akan pergi dan tidak akan datang lagi kemari. Satu hal lagi yang ingin kuperjelas, tidak ada yang namanya mantan anak karena ada darah ayah yang mengalir disana. Namun, jika ayah bercerai dengannya. Itu namanya mantan istri. I love you ayah, aku sayang ayah."

Tubuh mungil Claudy berbalik meninggalkan rumah yang dulu adalah tempat ternyamannya, tempat membagi kehangatan dengan Ayah dan mendiang ibunya. Dan sekarang, rumah ini telah memberikan luka.

Andaikan ayah tidak menikah lagi dengan wanita itu, mungkin ayah adalah sandaran terhebatku. Dulu aku sempat menantang pernikahan ayah yang kedua kalinya itu. karena aku tahu, wanita itu menikahi ayah karena harta. Tapi, kebahagian ayah kebahagianku juga. Sayangnya, sekarang tidak sesuai ekspetasi.

"Neng Ody, kenapa nangis?" tanya mang Dharma, sebelum Claudy melewati gerbang.

Buru-buru Claudy menghapus air matanya, "Aku tidak apa-apa. Mang, aku titip ayah sama rumah ya!" kata Claudy diakhiri senyuman.

Claudy berlalu meninggalkan rumah ayah. Dan kembali ke rumah Pak Dirga. Sudahlah, habiskan saja waktu weekend di rumah besar tanpa penghuni itu.

"Mom, how are you?" gumam Claudy sambil mengusap foto mendiang ibu dengan dirinya yang sedang meniup lilin angka tujuh.