Mentari sudah mulai menampakkan diri. Cahayanya bersinar memecah kegelapan dan memberi sejuta manfaat bagi makhluk hidup yang merasakan. Embun menetas, namun tidak Ada yang peduli.
"Eughhhh," lenguh seorang gadis cantik nan imut. Irish coklat terang dengan bulu mata lentik terbuka untuk memulai hari membagi kehangatan.
Tidak perlu tahu bagaimana keadaan hari ini, yang penting dirinya tidak merugikan orang lain. Itulah salah satu motto hidupnya. Dialah gadis baik, lemah lembut, dan pengalah. Tidak lupa juga selalu menebar senyuman.
"Huft, jam 6." monolog Claudy
Setelah menghabiskan waktu selama 30 menit untuk menyegarkan diri dipagi hari, dia hanya mondar-mandir seraya menggigit kuku jempolnya. Claudy bingung. Apa yang harus dilakukannya sebagai seorang istri?
Dulu setelah bangun tidur, aku akan olahraga atau langsung menyantap sarapan yang sudah disediakan pembantu di rumahku. Lalu, selanjutnya terserahku ingin berbuat apa. Dan sekarang bagaimana?
Membangunkan suami?
Membereskan rumah?
Atau membuat sarapan?
Tidak. Tidak. Membangunkan suami bukan opsi yang bagus. Terlebih semalam pria dingin bermulut pedas itu melarang Claudy untuk masuk ke dalam kamarnya. Toh, kami saja setelah menikah tidak seperti pengantin yang didambakan banyak orang. Sudahlah tidak perlu diceritakan lagi, cukup dimaklumi saja!
Kembali lagi kepala cantikku berfikir, sepertinya membereskan rumah dan membuat sarapan, pilihan yang bagus.
Oke, gadis itu menjentikkan jarinya. Dia akan membuat sarapan untuk mereka. Kebetulan dia cukup mahir dalam memasak meskipun rasanya tidak seenak makanan restoran. Pagi ini, nasi goreng menjadi pilihan menu sarapan. Selain mudah dibuat, bahan dirumah ini juga cukup terbatas. Mungkin tuan rumah lebih sering makan di luar.
Nasi goreng disajikan dengan tambahan telur mata sapi dan ayam goreng. Aromanya sungguh menggugah selera. Gadis itu menunggu suaminya, sesekali dia menggulir halaman akun Instagram untuk mengusir kesepian.
"Ck, jam berapa dia akan bangun? Lama sekali." kesal Claudy
Terdengar seseorang menuangkan air. Ia menoleh untuk memastikan. Dia tersenyum, "Aku sudah membuatkan sarapan untuk bapak. Tapi, hanya nasi goreng, karena bahan makanannya sedikit."
Tanpa berbicara atau menoleh sedikitpun kepadaku, dia berjalan kembali menaiki tangga. Mungkin dia ingin membersihkan diri terlebih dahulu, pikirku.
Sudah jam 08.00, hampir satu jam aku menunggunya untuk sarapan bersama. Perutku juga sudah sedikit lapar. makanan juga sudah dingin. Jika saja aku belum bersuami, sudah kupastikan aku sarapan tanpa harus menunggu seperti ini. Menikah merubah kehidupan.
Tuk Tuk Tuk
perpaduan antara sepatu pantofel dengan lantai keramik kinclong membuatku mengalihkan perhatian. kulihat pria tadi sudah rapi menggunakan jas kantoran yang menambah kharismanya. Sayangnya, sikap dan cara bicaranya membuatku enggan memuji dirinya.
"Bapak mau kemana?" tanyaku
Hening.
Aku tersenyum, "Jika bapak ingin berpergian, sebaiknya sarapan dulu. Ini Aku sudah membuatnya. Tapi maaf, sarapannya sudah cukup dingin."
Hening. sekedar menoleh pun tidak. Dia hanya berdiri dengan tatapan dingin dan memasukan kedua tanganya kedalam saku celana. Andai saja aku bukan seorang istri, aku juga tidak ingin menawarkan sarapan kepada tembok es berjalan seperti ini.
"Pak?" panggilku
Hening. Astaga, pria ini.
"Pak?" panggilku lagi.
Akhirnya dia berjalan ke arahku dan..
Brakkkkkkk, Pranggg
"Saya tidak perlu sarapan buatanmu ini. Saya tidak yakin ini higenis atau bahkan rasanya tidak seenak masakan kekasih saya.Jangan bermimpi kita akan sarapan atau makan bersama di meja ini dan kamu tidak perlu repot-repot memasak untuk saya, saya tidak butuh dan tidak perlu." ucapnya sambil menunjuk wajahku, "Jangan sok mencari perhatian saya agar saya jatuh cinta kepadamu bocah. Buang mimpimu itu jauh-jauh, karena setahun lagi kamu tidak akan berada di rumah saya lagi!"
"Maksud bapak?"
Dia tersenyum meremehkanku, "Dengar baik-baik Claudy Sabella! Seorang Dirgantara Bahardika tidak ingin memiliki cerita panjang hidup bersama gadis SMA sepertimu yang tidak ada apa-apanya. Saya akan menceraikan kamu setelah satu tahun Kita menikah dan saya akan menikahi wanita kesayangan saya. Paham!"
Hatiku seperti tertusuk sembilu, lalu terbelah dua menjadi abu.
"Mengapa harus menunggu satu tahun?"
"Terserah bagaimana perjanjian saya dengan orang tua kamu. tenang saja saya masih memiliki hati untuk memberikan sedikit uang untukmu." jawabnya dengan tatapan merendahkan.
"Bapak pikir menikah dan cerai seperti layaknya merayakan tahun baru. Dilakukan satu tahun sekali." jawabku dengan suara menahan tangis, "pernikahan itu sakral, Pak. Banyak orang berharap menikah hanya sekali seumur hidup, termasuk aku."
"Cih, jangan sok menggurui saya bocah! Saya ingin menikah sekali seumur hidup hanya dengan wanita kesayangan saya. Bukan wanita seperti kamu!"
"Emang aku seperti apa, Pak?"
"Tidak sadar dirikah, sehingga kamu bertanya kepada saya?"
"Apa yang harus saya sadari, saya tidak berbuat kesalahan yang merugikan bapak atau siapapun."
"Oke, saya akan memberitahu kamu," ucapnya sambil menatapku, "Pria mana yang ingin hidup bersama wanita yang harganya hanya sebatas sebuah perusahaan orang tuanya. Bahkan ayah dan ibu tirimu sendiri yang menawarkanmu kepada saya untuk menukarnya dengan uang satu milyar sebagai mas kawin lalu setelah itu terserah saya mau berbuat apa. Murahan!"
Setelah mengatakan kalimat runcing disertai duri, dia pergi begitu saja dengan santainya. Dan aku tidak kuasa membendung air mataku lagi. Aku berlari ke kamarku, tidak peduli nasi goreng dan pecahan piring berserakan di lantai karena dibanting olehnya.
Aku menenggelamkan wajah diantara kedua lututku. tubuhku luruh. Tolong ingatkan pria itu, ini masih pagi dan aku diberi air mata luka untuk memulai hariku. "Tuhan, mengapa kau menghadiahkan kehidupan seperti ini kepadaku? Orang tuaku sunggguh tidak punya hati. Aku seperti dijual oleh mereka. Hidupku seperti hanya mainan bernyawa. Jika, hidupku merugikan mereka, aku tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia. Hiks. Hiks. Hiks. Tuhan, mungkin cita-cita yang sudah kurangkai, aku ingin memakai toga, lalu tersenyum diapit oleh orang tua menghadap camera, kemudian aku menjadi dokter seperti di film-film yang sering kutonton, harus pupus demi menuruti orang tuaku. Bahkan aku tidak tahu, bagaimana kelanjutan sekolah SMAku karena pernikahan ini dan sekarang aku dinikahkan dengan pria yang bermulut tajam. Hiks. Hiks. Hiks. Ini tidak adil. Tapi, aku yakin kau Maha Adil."
Aku bangkit dan bercermin. "Aku harus kuat, jangan lemah, Claudy. Aku harus mampu mempertahankan pernikahan ini sampai hatiku sendiri yang berkata berhenti untuk berjuang. Bagaimanapun juga pernikahan bukan hal untuk dipermainkan. Sekarang aku memang masih seorang anak SMA. Tapi aku bukan tidak tahu pentingnya menjaga pernikahan dan aku akan tetap menjalankan tugasku sebagai istri. Demi ini, mungkin aku akan sering terluka. Huhhh." monolognya menyemangati diri diakhiri hembusan nafas kasar.
Mari kita saksikan hidupku selama satu tahun ini. Jika luka, mungkin rodaku sedang berputar dibawah.
Ting Tong Ting Tong
Suara bel rumah mengalihkanku. Buru-buru gadis itu membasuh muka dan membukakkan pintu untuk sang tamu yang entah siapa yang telah rela membuang waktunya untuk berkunjung ke sini.
"Mari massss -,,"