"Ananda Dirgantara Bahardika, Aku nikah dan kawinkan engkau dengan putri saya Claudy Sabella dengan mas kawin uang tunai sebesar satu milyar serta emas seratus gram dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Claudy Sabella binti Irwan wijaya dengan mas kawin tersebut tunai," jawab pria di sampingku dalam satu tarikan nafas.
"Sah?" tanya penghulu kepada para saksi.
"Sah." jawab semua.
Tak kuasa air mataku lolos. kugigit bibir bawahku agar isakanku tidak terdengar oleh orang lain. aku berharap ini hanya mimpi belaka dan tolong bangunkan aku. Aku tidak menginginkan pernikahan gila ini.
Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. mulai detik ini, aku telah menjadi istri orang lain. Eh, bahkan aku tidak tahu pria disampingku akan menganggapku istrinya atau tidak. kami tidak saling mengenal. Dan dia terlihat dingin tidak menyapa atau tersenyum kepadaku sama sekali.
Bahkan ketika dia memasang cincin di jari manisku, aku mendapat tatapan sinis darinya. Sepertinya, game kehidupanku akan dimulai.
"Silahkan tanda tangani buku pernikahan kalian!" pinta penghulu
Pernikahan kami tidak digelar secara mewah ataupun glamor ala-ala eropa. Hanya ijab qabul dan pesta kecil-kecilan yang hanya dihadiri keluarga besar kedua mempelai dan kerabat orang tua. Tidak ada teman atau sahabat yang hadir dipernikahanku, apa kata mereka jika aku baru saja menginjak kelas 12 SMA sudah menikah. Bisa saja mereka berasumsi, jika aku hamil di luar nikah bersama om-om. Karena, jika dilihat pria yang menikahiku usianya cukup matang kurang lebih mungkin 25 tahun.
"Hai cantik, selamat atas pernikahannya. Semoga bahagia selalu!" ucap ibu-ibu berbaju maroon itu. Mungkin teman bisnis ayahku.
Aku hanya memberi senyuman dan menganggukkan kepala, jika ada orang yang menyapa dan mengucapkan selamat atas pernikahan kami.
pesta kecil-kecilan pernikahan ini berakhir hingga jam 6 sore. Yah, maklum saja tidak digelar hingga tengah malam seperti pernikahan pada umumnya.
Aku memilih pergi ke kamarku untuk mengganti pakaian yang ribet ini dan menghapus make up yang sangat tidak biasa aku gunakan. Mungkin memakai piyama lebih nyaman dengan wajah polos dan rambut dicepol.
"Mengapa kamu sudah menggunakan piyama bahkan suamimu saja masih menggunakan baju tadi?" tanya ibu tiriku denagan nada ketus ketika aku baru saja sampai di meja makan untuk makan malam bersama.
Ternyata Ayah dan ibu tiriku serta suamiku sudah disini. Mertuaku dan keluarga yang lainnya mungkin sudah kembali ke rumah masing masing.
"Aku lelah, setelah makan malam aku ingin langsung tidur." jawabku sambil memindahkan ayam goreng ke piringku.
"Dasar, baru saja menikah kau tidak becus mengurus suami bahkan ketika makan kau tidak mengambilkan makanan untuknya."
Jika saja aku sedang tidak lapar dan lelah, ingin sekali aku menjawab perkataan yang cukup menohok dari ibu tiriku. Kondisi perut lebih penting dan aku tidak ingin memperpanjang masalah dengannya. Langsung saja ku menoleh kepada suamiku.
"Ingin apa? biar kuambilkan." tanyaku.
"Tidak perlu!" jawabanya tanpa menoleh kepadaku.
Oke. Aku tidak salah aku sudah menawarkannya. Dan Makan malam berjalan seperti biasa, hening. Ditambah aura pria disampingku sangat dingin.
"Ody, ganti bajumu dan siapkan barang-barangmu ke dalam koper!" pinta ayahku ketika aku ingin bangkit dari kursi.
Aku mengerutkan dahiku. Ayolah, kenyataan apa lagi yang harus ku terima. "Untuk apa, yah?"
"Pindah!"
Bukan. Bukan ayahku yang menjawab. Melainkan Pria dingin di sampingku. Satu kata yang keluar dari bibirnya membuatku terdiam sejenak. Aku bukan wanita bodoh yang tidak mengerti maksud 'Pindah'.
Aku menatap Ayahku, "Ayah, Tidak bisahkah kami tinggal di sini saja?"
"Heh, kamu sudah menikah. Ikuti saja apa kata suami kamu, jangan manja dengan suami saya lagi!" sahut ibu tiriku
Ingin sekali kumenjahit mulut yang berlipstik tebal milik Ibu tiriku yang tidak pernah absen untuk tidak ikut campur dan berkata perkataan menohok itu.
"Maaf, aku bertanya kepada ayahku tidak kepada yang lain. Karena rumah ini milik ayahku dan satu lagi, suami Ibu adalah ayah kandungku." jawabku balas menatapnya, tidak peduli Ada suamiku yang sedang sibuk dengan makanannya.
Ayahku menggelengkan kepala. Sudah kuduga. Ayahku sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Sekarang, ibu tiriku sudah menjadi arah mata angin ayahku untuk mendayung perahu.
Tanpa pamit atau apapun, aku pergi ke kamarku untuk mengikuti keinginan tuan rumah ini dan pria dingin yang notabenya suamiku. Jika dulu ibu kandungku tidak menanamkan sifat mengalah dan patuh kepada orang tua, Mungkin aku bisa membangkang dan menolak keinginan mereka.
"Aku pamit, yah." pamitku tanpa basa-basi. Aku terlalu kecewa dengannya. Tapi, bagaimana pun dia ayahku, Pahlawan tanpa pedang yang telah berjasa untukku.
"Hati-hati di jalan, patuhlah kepada suamimu!" kata ayahku diakhiri dengan kecupan didahiku. Ingin nangis rasanya, Sudah lama ayahku tidak mengecup dahiku semenjak beliau menikah dengan Ibu tiriku.
"kami pamit, yah" kata suamiku sambil menyalimi tangan ayah.
Ayahku hanya mengangguk. Tidak berkata apapun atau apalah itu untuk menitipkan putrinya kepada orang yang telah menikahinya. Benar-benar.
Mobil yang kutumpangi melaju membelah gelapnya malam jalanan ibu Kota Jakarta. Malam ini cukup macet, banyak Remaja sepantaranku yang berlalu lalang. maklum saja, Anak-anak sekolahan sedang liburan semester kenaikan kelas. pastinya tidak ada yang ingin melewatkan moment-moment liburanya. Kecuali, aku. Aku tidak tahu bagaiman liburan semester tahun ini.
Hening, canggung, dan mencekam. itulah suasana di mobil ini. Sekedar suara musik atau radio pun tidak ada. pria di sampingku menyetir dengan tenang seolah-olah tidak ada kehidupan di sampingnya. Aku memilih memandang ke luar jendela.
"Claudy Sabella!" panggil suamiku tiba-tiba memecah keheningan.
Aku sedikit terkejut, benarkah dia memanggil namaku. Aku melihat ke arahnya yang ternyata pandangannya lurus ke jalan raya.
"Iya?" jawabku
"Jangan berharap saya akan mencintai gadis SMA sepertimu. Kamu tidak se-level dengan saya. Kamu hanya seorang bocah ingusan."
Aku terdiam menatap dirinya. Ingin menangis, tapi kutahan. Ternyata, selain dingin bicaranya juga menyakitkan. Akhirnya, aku hanya menganggukkan kepala. pernyataanku malam itu benar. Bagaimana perlakuanya kepadaku? Ternyata buruk.
Aku memasuki rumah besar dan mewah. Ini lebih luas dari rumahku. gayanya elegan dan bercorak eropa. Interior nya sangat mewah-mewah dan berkelas. Kutarik koper besarku dan tas sedang yang berisi buku-buku sekokahku. Suamiku tidak membantu atau hanya sekedar basa-basi.
"Jangan harap kita akan tidur dalam satu kamar apalagi satu ranjang menikmati malam pertama!" celetuk pemilik rumah dari arah belakangku.
Aku tersenyum, "Tidak masalah. Itu yang kuharapkan, agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi."
Mendengar jawabanku, dia tersenyum sinis dan bersedekap. "Cih, kamu pikir saya tertarik dengan tubuh ratamu itu. Dengar, saya tidak mengharapkan pernikahan ini apalagi dengan tubuh rata tak berbody milikmu."
Air mataku tidak bisa lagi kubendung. Belum genap 24 jam aku menikah dengannya. tapi perkataanya sungguh menohok perasaanku. Aku juga memiliki hati dan perasaan.
Dengan memberanikan diri, aku menatapnya. "Jika tidak mengharapkan pernikahan ini, mengapa tidak menolak saja? Aku juga tidak menginginkan pernikahan ini. Aku masih sekolah dan ingin mencapai cita-citaku, bahkan aku merelakan Masa depanku demi pernikahan yang sama-sama tidak diinginkan."
"Bukan urusanmu!" jawabnya dengan nada dingin, "Hapus air mata tidak bergunamu itu. masuklah ke kamarmu yang berada di dekat ruang keluarga, jangan coba-coba masuk kedalam kamarku!"
Aku menurutinya, dan berlalu meninggalkan dirinya. Namun, baru saja beberapa langkah, dia berbicara kembali.
"Panggil saya dengan sebutan tuan atau bapak, agar ketika kekasih saya datang kemari dia tidak mengira kamu istri saya. Tapi, dia akan mengira kamu pembantu atau asisten saya!" ucapnya dan kemudian berlalu dengan santai.
Tuhan, kuatkan hatiku. Hanya itu yang mampu aku ucapkan untuk menguatkan diri. bahkan dihari pertama nikah sudah menyebut orang ketiga.
Aku juga tidak mencintai dirinya, tapi Apakah tidak bisa menjaga ucapannya? meskipun mengelak dari kenyataan. Jika kalimat sakral telah diucapkan tidak mungkin akan mengubah keadaan sebelum ada kata cerai.