'Siapa pria yang berani merusak acara ini? Apakah dia sudah bosan hidup?' batin Zhang Jiangwu, meskipun ia sempat berhenti dalam acara tersebut, namun bukan berarti ia tidak menikmatinya lagi. Melihat wajah-wajah ketakutan para budak wanita itu adalah sebuah kesenangan tersendiri baginya.
Jika boleh jujur, ia juga sedikit penasaran dengan budak wanita yang diperhatikannya sejak tadi. Hanya saja sebelumnya, ketika fokusnya sedikit teralihkan oleh Bai Jun, ia tidak bisa lagi menemukan keberadaan wanita itu.
'Mungkin dia sudah mati,' batinnya.
Hanya saja, dugaannya salah tepat setelah manik matanya menangkap sosok gadis yang diseret paksa oleh dua orang pengawal diikuti oleh beberapa budak wanita yang sudah nampak sangat lelah dengan pakaian yang pada beberapa bagian sudah koyak, berjalan sempoyongan menuju bukit tempat dimana semua para bangsawan berada.
Keningnya berkerut, mencari sosok pria yang menjadi dalang di balik kejadian sebelumnya. Berbeda dengan Xue Ahn dan yang lainnya, manik mata mereka hanya tertuju pada seseorang. Dan itu adalah Ara.
Bai Jun yang sejak tadi memperhatikan ekspresi sang putra mahkota segera berjalan maju dan mendekati para budak-budak itu.
"Apakah yang tersisa hanya ini?" Tanya Bai Jun sembari mengacungkan tangannya menunjuk budak-budak wanita itu yang hanya berjumlah empat orang termasuk Ara.
Pengawal yang membawa Ara segera menghentikan langkahnya, lalu menunudk memberikan hormat. "Benar, Tuan. Mereka semua yang masih hidup," jawabnya dengan kepala tertunduk.
"Lalu si pemanah tadi?" Tanya Putra Mahkota yang tiba-tiba ikut berdiri di sebelah Bai Jun dengan salah satu alis terangkat sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar.
"I-Itu…" gagap sang pengawal.
"Jawab yang jelas, mengapa kau seperti itu? Apa kau buta tentang siapa yang mengajakmu bicara?" kata Bai Jun dengan suara meninggi.
"Tentang si Pemanah itu, dia adalah gadis ini, Tuan," jawab Sang Pengawal dengan suara sangat rendah, takut jika apa yang dikatakannya hanya dianggap bohong oleh mereka semua.
"Budak ini?" Bai Jun mengulangi sembari menunjuk ke wajah Ara, nampak ingin memastikan.
"Be-benar, Tuan."
Mendengar itu, semua orang terdiam dan menilai gadis itu.
Sedangkan Ara yang mendapat tatapan seperti itu tak menunjukkan ketakutan sedikitpun, sebaliknya ia manatap tajam ke arah putra mahkota.
"Jaga sikapmu, wanita rendahan. Apakah kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan saat ini?" kata Bai Jun menegur Ara.
Pengawal yang mendengar hal itu segera menendang lutut Ara dan berhasil membuatnya jatuh berlutut.
"Jaga pandanganmu," kata pengawal itu mengencangkan pegangan tangannya di lengan gadis itu.
"Apakah yang kau katakan itu benar?" Tanya Bai Jun memastikan lagi, mewakili sang Putra Mahkota.
"Benar Tuan, keberanian seperti apa yang hamba miliki untuk berbohong kepada Anda?" balas sang pengawal dengan kepala tertunduk.
Zhang Jiangwu diam di tempat, tak bergerak sedikitpun. Manik matanya menatap Ara tak berkedip, tatapan yang begitu dingin membuat kedua pengawal itu bergidik ketakutan.
Sementara para pria bangsawan yang juga berdiri di sana hanya diam dan menunggu putra mahkota memberikan perintahnya.
"Dimana busur yang dia gunakan?" Tanya Hao Chu, pertama kalinya pria itu membuka suara. Berjalan mendekati pengawal Dan berdiri di sebelah sang Putra Mahkota.
"Silahkan Tuan," seorang pengawal segera menyerahkan sebuah busur yang jika diperhatikan, itu sama sekali tidak pantas disebut busur. Sebab hanya terbuat dari ranting kayu oak yang nampak begitu kuat namun lentur disaat bersamaan, dengan sebuah sebokan kain pendukung.
"Kau menggunakan ini?" Tanya Hao Chu lagi.
Ara ingin membalas dan memaki semua pria dihadapannya, hanya saja kesabaran dalam dirinya masih lebih tinggi dari itu semua. Akhirnya ia hanya mengangguk mengiyakan.
"Hah, jangan bercanda," ucap Hao Chu merasa tak percaya. Dan hal yang sama dirasakan oleh para pria lainnya. Bagaimana bisa seseorang menggunakan busur seperti itu untuk memanah? Benar-benar diluar nalar manusia.
"Aku tak memintamu mempercayaiku, Tuan," balas Ara memberanikan diri.
"Kau? Sadari posisimu wanita rendahan," balas Bai Jun menimpali. Salah satu alasannya tak menyukai wanita adalah ini, sangat merepotkan dan begitu sombong. Dan hal itu dibuktikan dengan sikap budak wanita di hadapannya.
"Sudah, jangan begitu keras padanya," kini Xue Yen ikut bergabung. Sebelumnya ia begitu kesal karena sasarannya di bunuh oleh orang lain, namun setelah mengetahui siapa dalang dibalik itu semua, entah kenapa amarahnya sedikit mereda. Rasa ingin tahu dan ketertarikan mendadak muncul dalam dirinya.
"Siapa namamu?" Tanya Xue Yen lagi duduk dan menyamakan posisinya dengan gadis itu.
"Ara, Xiao Ara," balas gadis itu singkat.
"Bagaimana bisa kau berada di sini?" Tanya Xue Yen penasaran.
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya, Tuan? Bagaimana kalian semua masih bisa tertawa setelah mempermainkan nyawa orang lain?" balas Ara dengan suara yang begitu jelas.
"Wow…" Xue Yen tak pernah menyangka akan mendapatkan respon seperti itu.
"Bukankah kau terlalu sombong untuk ukuran budak rendahan sepertimu?" Bai Jun menimpali.
Ara terdiam dan tak menjawab lagi, gadis itu hanya tertunduk.
Hening beberapa saat, tak ada yang berani mengeluarkan suara sedikitpun.
"Dari mana asalmu, Nona?" Tanya putra mahkota akhirnya membuka suara setelah terdiam beberapa menit.
Seketika semua orang melihat ke arah pria itu, tak terkecuali para pengawal dan budak termasuk Ara.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Ara menegang. 'Apa maksud dari pertanyaannya? Tidak mungkin kan kalau dia mencurigaiku?' batin Ara menerka.
"Hey, apakah kau tuli?" Bai Jun menegur Ara yang hanya diam. Kebingungan terlihat di wajah semua orang, sama sekali tak mengerti dengan pertanyaan pria itu.
Bukan tanpa alasan mengapa Zhang Jiangwu berkata seperti itu, sebab selama ini dikerajaan Qin tak pernah sekalipun ada wanita dengan