"Yang Mulia, jadi bagaimana dengan pemenang pesta berburu tadi?" tanya Xue Yen, sembari berusaha menyamakan posisi kuda yang dikendarainya dengan Zhang Jiangwu.
"Tidak ada. Kali ini tidak ada pemenang," jawab putra mahkota dengan nada suara yang terdengar sangat datar.
"Hmm, sayang sekali. Baiklah, masih ada bulan depan," ucapnya lalu kembali memelankan laju kudanya dan kembali ke tempat semula. Ia sudah menduga ini sejak tadi.
Perjalanan dari lapangan berburu hingga ke pusat kota menghabiskan waktu hampir satu jam.
Ara dan para budak lainnya bersama dengan beberapa prajurit mengikut di belakang. Selama perjalanan Ara terus memperhatikan semua hal yang ada di sekitarnya. Mulai dari padang gurun yang gersang hingga mencapai sebuah gerbang tinggi yang begitu megah. Ia melihat beberapa prajurit berdiri gagah dengan tombak dan pedang menggantung sempurna di masing-masing tubuh mereka.
Sebuah kalimat bertuliskan "Selamat Datang di Ibukota Jhili" terpampang jelas di atas gerbang.
Dan hal itu memberitahu Ara secara tidak langsung bahwa Jhili adalah Ibukota Qin.
Sejak memasuki gerbang Ibukota, orang-orang dengan patuh membuka jalan untuk mereka. Seketika jalan-jalan menjadi luang. Hentakan kaki kuda yang terus melaju berhasil menyebabkan debu beterbangan dan memenuhi sepanjang jalan.
Meski demikian, hal itu tak menyurutkan orang-orang untuk tetap memberikan sambutan dan penghormatan kepada Yang Mulia Putra Mahkota.
Ara memperhatikan sisi kiri dan kanan jalan, dan yang memasuki pandangannya membuat perasaanya tersenyuh.
Semua pedagang yang ia jumpai hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan? Mereka nampak melakukan kerjaan yang seharusnya dilakukan oleh kaki-laki. Seperti yang memasuki pandangannya saat ini, ada banyak perempuan yang sedang menganguk air pada dua kendi besar yang menggantung di pundaknya. Berjalan tertatih dengan kaki tanpa alas.
Melihat pakaian yang mereka kenakan, Ara menebak bahwa beberapa di antara mereka hanyalah budak. Sementara yang lain, entahlah mungkin wanita-wanita itu merupakan bagian dari masyarakat Ibu kota Jhili?
Semua pemandangan ini sangat baru baginya. Meskipun hal seperti ini sudah tergambar jelas pada ingatan pemilik tubuh yang ia tempati, namun entah mengapa ada perasaan berbeda ketika ia melihatnya secara langsung.
Tiba-tiba rombongan putra mahkota berhenti, membuat para putra bangsawan yang bersamanya berikut para prajurit yang membawa para budak ikut berhenti.
'Apa yang terjadi?' batin Ara, gadis itu kemudian melihat ke arah depan, namun tak bisa melihat apapun, selain punggung orang-orang yang bersamanya.
Namun hanya berselang beberapa detik, sebuah jeritan terdengar bersamaan dengan suara isak tangis wanita menggema, mencapai indera pendengarannya dengan sangat jelas.
'Ara yang tidak tahan dengan rasa penasarannya, kini melompat turun dari kuda, membuat seorang pengawal yang bersamanya terkejut dan ikut melakukan hal yang sama.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
Mendengar pertanyaan yang ditujukan kepadanya, seketika Ara jatuh terduduk di tanah, seolah tidak peduli dengan pakaiannya yang akan kotor.
"Kakiku mengalami kram, biarkan aku duduk di sini sebentar saja," kata Ara sembari memukul-mukul betisnya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan lari atau melakukan hal-hal aneh," tambahnya lagi ketika melihat pria yang berdiri di hadapannya seperti ingin mengucapkan sesuatu.
Mendengar itu, pengawal hanya menghela napas kasar. Pertama kali dalam hidupnya ia bertemu seorang wanita tanpa ketakutan sedikitpun. Jika itu wanita lain, mungkin bergerak saja ia takut.
"Memangnya apa yang terjadi? Apa kau tahu?" tanya Xiao Ara lagi mendongak.
"Diamlah dan berhenti banyak tingkah jika kau masih ingin hidup."
Mendapat respon seperti itu, Xiao Ara terdiam. Mengangkat bahu lalu berusaha melihat apa yang terjadi di depan sana dari posisinya. Sejujurnya, kakinya tidak mengalami kram. Itu hanya alasannya saja, semata-mata hanya untuk melihat apa sedang terjadi di depan sana.
Hanya saja, usahanya sia-sia. Sebab ia belum melihat terlalu jelas dan rombongan sudah kembali bergerak.
"Ayo!" kata pengawal tersebut kepada Ara.
"Baiklah," ucap gadis itu sembari menghela napas dalam-dalam, lalu menaiki kuda bersama pria tersebut.
Suara tangisan terdengar semakin keras seiring dengan langkah kaki kuda yang ditungganginya.
Semilir angin tertiup perlahan, membawa aroma anyir darah yang begitu pekat. Bersamaan dengan suara isak tangis yang semakin keras seiring dengan langkah kaki kuda.
'Apa yang sebenarnya terjadi?' batinnya bertanya-tanya.
Namun pertanyaannya segera terjawab ketika ia melihat genangan darah di tanah, dengan sebuah tubuh yang sudah terpisah dari kepalanya.
Seketika perutnya bergejolak. Perasaan ingin memuntahkan segala isi perutnya kini menghampirinya. Bau darah yang sangat pekat membuatnya reflex menutup hidung.
"Jangan banyak bergerak jika kau tidak mau bernasib sama dengan wanita itu," kata pengawal yang bersamanya.
"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kau tahu?" tanya Ara.
"Apa kau tidak melihat kendi air yang tergeletak di sebelah mayat itu?" bukannya menjawab, pengawal itu malah bertanya balik.
"Huh?"
"Apa kau tahu mengapa semua orang segera membuka jalan ketika rombongan Putra Mahkota tiba di gerbang?" tanya pengawal.
"Bukankah itu hal yang wajar? Sebagai putra dari penguasa kerajaan, semua orang harus menghormati dan memberi jalan, bukan?"
"Menghormati? Aku lebih percaya jika orang-orang hanya memiliki perasaan takut padanya," balas Pengawal itu.
"Ha? Apa maksdmu? Lalu apa hubungannya dengan kejadian tadi?" tanya Ara masih penasaran.
"Kau adalah budak wanita, aku tidak heran jika kau begitu bodoh," balas Pengawal itu.
Mendengar itu, Ara mendegus tidak suka.