Seorang prajurit menyibak kain dan membuka pintu gerbong. Meminta semua wanita untuk turun dengan cepat sembari memegangi cambuk.
Ara melongo, nampak bingung. Ternyata bukan hanya satu gerbong, namun ada lima gerbong dan kesemuanya berisi wanita dari segala usia. Mereka semua diturunkan tepat di tengah-tengah sebuah lapangan berburu.
Tetapi bukan itu yang mengejutkannya. Melainkan sepuluh kandang besar berisi srigala yang nampak siap memangsa mereka kapan saja.
"Cepat jalan dan berbaris!" Teriak salah seorang prajurit sembari mengayunkan cambuk ke tanah, menyebabkan debu beterbangan dan mengenai beberapa dari mereka.
Hanya berselang beberapa menit, semua wanita sudah berdiri, berbaris rapi dengan kepala tertunduk. Beberapa terlihat menitikan air mata, menangis dalam diam dengan tangan terkepal karena menahan takut.
Beberapa dari mereka sesekali mencuri pandang ke arah kandang besar berisi srigala yang memiliki ukuran tubuh hampir menyamai tinggi tubuh manusia.
Semua orang yang berdiri di lapangan itu sudah tahu jelas menganai apa yang akan terjadi selanjutnya, dan mereka semua sudah sangat yakin bahwa saat ini adalah terakhir kalinya mereka bisa menikmati udara siang hari.
Setiap satu bulan sekali, pesta berburu dilakukan.
Para bangsawan yang berasal dari 7 keluarga besar di kerajaan Qin berkumpul dan melakukan perburuan di tempat itu. Menggunakan budak wanita sebagai pion dengan alasan agar acaranya semakin meriah.
Sebuah pion yang tak ubahnya sebagai mangsa para srigala kelaparan.
Dalam sejarah Kerajaan Qin, belum pernah sekalipun ada budak yang selamat dari acara tersebut. Meskipun ada, ia tak bertahan lama dan nyawanya ikut melayang.
Ara yang sejak tadi mendengar ocehan dari seorang prajurit kepada beberapa budak wanita hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Sesekali ekor matanya mencuri pandang ke arah bukit yang sudah di desain sedemikian rupa untuk tempat para putra-putra para keluarga besar kerajaan. Ia bisa melihat jelas senyum dan tawa lepas yang terpampang di wajah mereka semua.
Entah mengapa Ara menjadi sangat geram, sebagai wanita ia merasa sangat tidak terima dengan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini.
"Uhuk, uhuk." tiba-tiba suara batuk yang sangat lemah terdengar dan berhasil mengalihkan perhatian setiap orang.
Di sana, tepat di belakang Ara, seorang budak yang sudah sangat tua kini jatuh bersimpuh di tanah.
"Hei, siapa yang menyuruhmu duduk?" Seorang prajurit segera menghampiri.
"Cepat berdiri!" perintahnya lagi sembari mengayunkan cambuk, dan dengan gerakan refleks, seketika Ara memegang cambuk itu kuat-kuat dan menahannya di udara.
"Apa kau buta? Dia sakit, setidaknya perlakukan ia sedikit lebih baik," teriak Ara geram.
Namun detik berikutnya, tubuhnya membeku, menegang. Perasaan perih dan panas seketika memenuhi telapak tangannya, bahkan beberapa tetes darah mengalir dari sana. Dan hal itu berhasil mengembalikan kesadarannya tentang apa yang sedang terjadi saat ini.
'Apa yang sebenarnya aku lakukan?' paniknya dalam hati. Benar, beberapa detik yang lalu ia lupa tentang dimana ia berada saat ini.
"Cih.. Sejak kapan kau memiliki hak untuk bersuara wanita kotor?" Bentak seorang prajurit yang lain, mendorong beberapa budak ke sisi kiri dan kanan untuk memberinya ruang mendekat.
Ara bungkam, ingin sekali rasanya ia menyuarakan isi hati dan perasaannya namun mengingat dimana ia berada sekarang, akhirnya ia hanya memilih diam.
"Ma-maafkan kakakku, Tuan. Maafkan kakakku, dia tidak bermaksud melakukan ini," mendadak seorang gadis kecil duduk bersimpuh dan memeluk kaki prajurit tersebut.
"Rania, apa yang kau lakukan?" terdengar suara teriakan tertahan datang dari sebelah Ara.
Ya, gadis yang bersimpuh itu adalah gadis yang sama dengan yang memberikan makanan dan minuman kepada Ara beberapa saat yang lalu di dalam gerbong. Dan hal itu berhasil membuat Ara melongo tak percaya. Bagaimana bisa gadis kecil itu membelanya, sementara mereka baru bertemu beberapa saat lalu.
"Cih." prajurit itu hanya berdecih kemudian menghentakkan kakinya keras dan berhasil membuat Rania jatuh ke samping.
"Jangan ikut campur bocah kotor!" ucapnya sembari menendang Rania menjauh lalu berjalan mendekati Ara, merebut cambuk dari tangan temannya, menariknya dengan gerakan sangat kasar membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Aww... Shhh," ringis Ara memegangi tangannya, nampak jelas bekas cambuk yang memerah di telapak tangannya.
CTARR...!
Suara cambukan bergema bersamaan dengan ambruknya tubuh Ara ke tanah, seketika semua mata menatap horor pada pemandangan itu. Semua berdiri, bergeming dari tempatnya, tak ada yang berani bergerak apalagi mengeluarkan suara.
"Kau sudah berada di ambang kematian, tapi masih saja bertingkah, Hah?!" Bentak sang prajurit.
"Apa kau pikir kami akan mengasihani dirimu, dasar jalang!"
"Berhenti berulah dan membuat kami semakin kerepotan," tambahnya disertai dengan suara cambuk yang menghantam punggung Ara.
Ara kesakitan, tubuhnya gemetar hebat karena rasa sakit, siapapun bisa melihat luka sobekan pada kulit nya, bahkan beberapa bagian pakaian yang dikenakannya ikut koyak.
Ingin rasanya ia bangkit dan memberikan pelajaran kepada pria brengsek itu, namun situasi dan kondisinya sangat tidak mendukung.
Bertindak tanpa memperdulikan lingkungan sekitarnya, kali ini ia akui dirinya memang bersalah.
Mungkin karena separuh jiwanya masih belum terbiasa dengan segala hal baru yang ditemuinya di kehidupan ini.
Lagipula, hati siapa yang tidak tahan ketika melihat wanita tua yang diperlakukan seenaknya? Katakanlah saat ini gadis itu masih memiliki rasa kemanusiaan yang begitu tinggi dalam dirinya.
Hanya saja ia lupa, bahwa kemanusiaan tidak berlaku di kehidupan barunya ini, terlebih jika itu mengenai wanita.
"Hhhh," Ara menarik napas lirik. Memilih diam dan menahan diri.
"Sekarang berdiri dan kembali ke tempatmu sebelum Putra Mahkota tiba," kata sang prajurit berlalu dan meninggalkan kekacauan yang baru saja terjadi.
"Kau juga tua bangka. Bertahanlah sedikit lagi, lalu kau bisa beritirahat dengan tenang," tambahnya lalu terkekeh sembari menendang ujung lengan wanita tua tadi.
Hingga para prajurit itu kembali ke posisi semula, tak ada seorangpun yang berani beranjak dari tempat mereka berada. Memilih mengesampingkan perasaan kasihan dari pada harus menerima perlakuan yang sama.
Hanya berselang beberapa menit, suar berwarna hijau nampak membumbung tinggi memenuhi langit, di susul dengan suara terompet yang menggema ke segala penjuru, menandakan bahwa yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
Seketika semua orang menoleh ke sumber suata, dan benar saja, rombongan Putra Mahkota akhirnya tiba.
Para bangsawan yang sebelumnya bersantai di panggung yang berdiri kokoh di atas bukit kini serentak berdiri, menyambut kedatangan putra nomor satu di kerajaan tersebut.
Ara yang melihat pemandangan itu hanya memicingkan mata tak suka.
Setelah membantu wanita tua yang berada di belakangnya untuk kembali berdiri, tak terkecuali Rania, Ara kini kembali ke posisinya semula.
Berusaha mengatur napasnya yang memburu dan mencoba untuk tetap tenang.
Bukan karena ia tidak menyadari perubahan atmosfer di sekitarnya, hanya saja tak ada hal berguna yang bisa ia lakukan saat ini selain berusaha untuk tetap terlihat tenang.