"Apakah di kepalamu hanya ada hadiah, hadiah dan hadiah?" sarkas Hao Chu.
"Tentu saja," balas Xue Ahn nampak biasa-biasa saja.
"100 koin emas, 10 budak wanita tercantik di kerajaan Qin," ucap sang Putra Mahkota menyebutkan hadiah pemenang.
"Ah, menggiurkan sekali," balas Xue Ahn.
"Lihat saja, aku akan mendapatkan tangkapan terbanyak, hahaha," tambahnya lagi sembari terkekeh.
Setelah itu, Sang Putra mahkota tidak menunggu lama dan segera memberikan perintah kepada beberapa prajurit yang berdiri tidak jauh darinya untuk segera membuka kandang srigala itu.
Segera semua pria yang berdiri di atas panggung bersiap dengan anak panah dan busur pada masing-masing tangannya, siap membidik para srigala yang berlari liar mengejar para budak-budak tersebut.
Ara yang melihat beberapa prajurit mendekati kandang kini memasang sikap waspada, entah kenapa amarah dalam dirinya semakin membara, dan itu berhasil membuat adrelalinnya semakin terpacu. Menoleh ke kiri dan kanan, juga kebelakang, Ara berusaha memahami dan mengenali kondisi di sekitarnya.
Taka da tempat berlindung, hanya ada pepohonan besar dan semak belukar. Beberapa yang sudah mengering dan hanya menyisakan tangkainya saja.
Sinar matahari yang begitu terik dengan debu yang sesekali beterbangan ketika angin bertiup berhasil menambah kesuraman di lapangan berburu tersebut.
"Ibu, aku takut," rengekan gadis kecil mengetuk indera pendengaran Ara.
"Sabar ya sayang. Sedikit lagi, sebentar lagi penderitaan kita akan segera berakhir," balas wanita tua yang Ara tebak sebagai Ibu dari gadis kecil itu.
Ara yang melihat pemandangan itu hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Saat ini ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah memikirkan dirinya sendiri.
"Saat kandang itu terbuka, larilah secepat mungkin dan panjat pepohonan di belakang sana untuk berlindung jikalau bisa," gumam Ara sembari melirik ke kiri dan kanan, memberikan saran kepada orang-orang yang ada di dekatnya.
"Jangan naïf, Nona. Tidak ada yang bisa selamat jika srigala-srigala itu terepas dari kandang, meskipun kau bisa berlindung dari para srigala itu, tak ada yang bisa menjamin kau juga bisa selamat dari hujan panah dari atas bukit," balas seorang wanita dewasa, sepertinya dia sudah sangat pasrah dan sudah siap menerima kematiannya.
Sementara yang lain hanya menghela napas dalam-dalam, seolah membenarkan ucapan wanita itu. Semuanya nampak putus asa.
Dan hal itu membuat Ara diam, tak membalas lagi.
Bersamaan dengan itu, lolongan dan raungan terdengar memecah pada udara hampa menggemparkan hati setiap orang.
Refleks, Ara berlari kencang mencari tempat perlindungan, beberapa melakukan hal yang sama.
Melihat beberapa orang hanya diam di tempat, Ara menghentikan kakinya. "Hei, apa yang kalian lakukan? Ayo lari!" teriak Ara memaksakan suaranya.
Namun sayang, tak ada seorang pun di sana yang menggubris teriakannya, mereka hanya menoleh sekilas.
"Nona, pikirkan dirimu. Biarkan saja mereka," kata seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya.
"Tapi itu…"
"Hmm, sebenarnya berlaripun tidak ada gunanya. Semua orang akan mati di sini, tanpa terkecuali. Bahkan mungkin beberapa dari mereka memang sudah menunggu saat-saat seperti ini. Hanya ini jalan satu-satunya harapan mereka bisa terbebas dari kejamnya dunia ini," kata gadis itu kembali sembari menghela napas.
"Bagi budak seperti kita, kematian adalah anugrah terbesar," tambah gadis itu lagi yang sudah berlari menjauh darinya.
Sejenak Ara tertegun mendengar penuturan itu. Ucapannya seolah-olah mereka sangat menantikan saat ini.
"Tidak, ini tidak benar," pikir Ara mulai berlari lagi.
'Jika setiap dari mereka menantikan kematian ini, lalu kenapa mereka berlari dan mencari tempat berlindung?' batinnya.
Hal itu menandakan bahwa mereka masih menginginkan kehidupan, meski dalam hati, kematian adalah satu-satunya kunci dari kebebasan mereka.
Lengkingan bersamaan dengan teriakan histeris terdengar, Ara menoleh dan mendapati pemandangan yang membuat perutnya bergejolak. Padahal hanya berselang beberapa menit, dan budak-budak wanita yang mengabaikan teriakannya sebelumnya, kini sudah tergeletak di tanah tanpa sisa.
Beberapa srigala mengoyak tubuh mereka tanpa ampun, bahkan beberapa anggota tubuh sudah terpisah dari tempatnya, dan berhasil memberikan warna yang begitu kontras pada tanah.
Angin bertiup membawa aroma anyir darah yang begitu pekat.
Lolongan demi lolongan terdengar bersamaan dengan beberapa anak panah yang berhasil mengenai kawanan srigala itu.
Syuuuttt…!
Sebuah anak panah membuyarkan fokusnya. Pakaian yang dikenakannya sobek pada bagian paha, nyaris saja ujung anak panah itu menancap di pahanya.
Alarm peringatan tentang adanya bahaya kembali berdering dalam kepalanya, Ara tak lagi memperdulikan bagaimana dan apa yang terjadi di sekitarnya, ia berlari dengan langkah lebar, menyusul yang lain. Sesekali melompati semak yang tidak terlalu lebat.
Hujan panah seketika memenuhi lapangan berburu, beberapa srigala tumbang dan tak sedikit pula para budak yang telah kehilangan nyawanya.
Sepertinya ini tidak akan berakhir sebelum semua srigala itu mati.
"Ahhhh," teriakan terdengar tidak jauh dari keberadaannya.
"Ibu…" teriaknya lagi menangis histeris.
Menoleh ke sumber suara, ternyata di atas dahan pohon yang sudah kering, seorang gadis kecil berteriak sembari menyaksikan tubuh Ibunya dikoyak oleh seekor srigala.
Batin Ara bergetar, ia menjadi sangat geram, amarahnya meluap seiring dengan tangisan dan lolongan serta hujan panah yang semakin menjadi-jadi. Bahkan setelah ia memperhatikan sekitarnya sekilas, beberapa wanita kehilangan nyawa bukan karena serangan srigala namun karena anak panah yang menembus masuk ke dalam tubuh mereka.
Tanpa Ara sadari, tangannya terkepal kuat. Jiwanya ingin memberontak namun dalam situasi ini ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menyelamatkan dirinya sendiri.
'Bedebah-bedebah itu,' batin Ara tanpa menghentikan laju kakinya.
Dunia barunya ini tak layak disebut kehidupan, tempat ini tak jauh berbeda dengan neraka. Ya, neraka untuk kaum perempuan.
Ara tidak pernah menyangka akan kembali hidup di tempat seperti ini. Sepertinya Tuhan tak pernah merestuainya untuk hidup dalam ketenangan.
Wuushh…!
Wuushh…!
Anak panah terus menancap di sekitarnya, seolah sedang memburunya. Ara hanya berharap semoga ia bisa terhindar dari benda-benda tajam itu.
"Aarrghhh.." kembali suara jeritan terdengar, itu berasal dari salah seorang gadis yang dikenalinya. Gadis itu adalah Rania, pada salah satu betisnya tertancap sebuah anak panah.
Darah merembes memenuhi tanah. Gadis itu jatuh terduduk dengan wajah pasrah menanti sekawanan srigala yang mungkin sebentar lagi akan menerkamnya.
Mengingat perlakuan gadis kecil itu kepadanya beberapa saat lalu, Ara tidak bisa tinggal diam. Melihat seekor srigala berbadan besar berlari kearah Raina, Ara berbelok dan berlari sekuat tenaga menuju gadis kecil itu.
"Jangan kemari," teriak Rania ketika melihat Ara berlari ke arahnya. Gadis itu terus menggeleng sembari sesekali melihat ke sekitarnya.
Seolah tuli, Ara tak menggubris teriakan gadis kecil itu, ia terus berlari. Melihat anak panah yang tertancap dimana-mana, segera Ara meraih dua buah pada masih masing tangannya.