Mariam menelan ludah pahit melihat wajah tegang Marco. Dia meraih gelas tehnya dengan tangan gemetar.
PRANG!!
Gelas itu terjatuh dan serpihannya menyebar di lantai, Marco menggeser kursi dan hendak membereskan semuanya. Tapi sentuhan telapak tangan Mariam mencegah Marco untuk bergerak. Pria itu menurut, dia menatap wajah tegang Mariam.
"Marco Apa benar yang engkau katakan?" Marco seakan mengerti wajah tegang Mariam
tapi itulah kenyataannya karena dia tidak bisa berbohong dan menyembunyikan semua kebenaran ini, di belakang punggung ibunya.
Mariam harus mengetahui semuanya, begitulah pikir Marco.
Makanya sepagi ini Marco sudah mengunjungi Mariam dia sudah tidak bisa menahan diri, Marco berharap Mariam memberikan solusi yang jauh lebih baik daripada apa yang telah diberikan Herman
pilihan yang diberikan ayahnya itu sungguh tidak masuk akal. Marco tak bisa menjalani, akan sangat berat baginya menikahi Lyn, dia tidak mencintai Lyn.
"Marco, lalu apa yang akan engkau pilih?" Pupil mata Mariam seakan bergetar
matanya berkaca-kaca dan Marco tahu betapa sulit Mariam menahan air matanya, meski dia berusaha, air mata itu tetap jatuh membasahi pipi ibunya.
Marco meraih tisu dan mengelap air mata Mariam
Mariam menjangkau telapak tangan Marco. menggenggam tangan putranya.
Mariam menggenggam erat seakan mengumpulkan banyak kekuatan di sana. dingin, telapak tangan keduanya terasa dingin seperti perasaan mereka saat ini.
"Aku tidak tahu ma, itulah mengapa aku mengunjungimu sepagi ini. Aku harap kau bisa memberiku sedikit nasehat, Aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa lagi" suara Marco jelas bergetar sama halnya dengan bibir Mariam.
"Apa kau tahu siapa ayah dari kandungan Lyn?" Marco mengangguk, seperti dugaan Marco siapa lagi yang akan menjadi ayah dari cabang bayi di perut Lyn. Abraham! Hanya Abraham saja yang melakukan semua hal itu, Abra! Ya seharusnya Abra yang menikahi Lyn bukan dirinya tapi..
"Lyn tak ingin menikah dengan Abra, dia sudah terlanjur sakit hati dan benci. Lyn tidak mau--" Marco kehilangan kata-kata, dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Marco merasa dirinya sangat terguncang dengan semua kenyataan ini. Pria itu seakan ingin menangis di hadapan ibunya.
Dia tidak bisa menangis di depan Lyn karena Gadis itu membutuhkan kekuatan untuk mendukungnya, dan Marco adalah salah satu kekuatan untuk Lyn.
Tapi satu hal, Marco hanyalah manusia biasa. Dia juga memiliki orang lain yang ingin dia nikahi dalam harapannya, akankah semua itu menjadi mimpi yang tak akan kunjung menjadi nyata. Marco merasa hidupnya jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Mariam merangkul pundak Marco, wanita itu memeluk putranya. Dia seakan mengerti perasaan Marco saat ini. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada satu orang pun yang bisa membantah Herman, tidak dia ataupun Marco. Tidak Lyn atau siapapun.
"kau tahu sayang, hari yang indah untukku adalah saat aku dilamar oleh pria yang aku cintai. Aku menginginkan pernikahan yang indah yang penuh dengan cinta " Mariam membayangkan masa lalunya
Bagaimana Herman melamarnya dengan berlutut di hadapan orang tuanya saat dia masih muda.
"menikahi orang yang kau cintai, pria yang sukses, pria yang memperlakukan mu dengan baik, pria yang memberikanmu banyak harapan dan cinta untuk hidup. Kau pasti sangat bahagia dan penuh syukur tapi nyatanya.." Mariam melonggarkan pelukannya,
telapak tangannya menyentuh dahi Marco, mengelus lembut putranya.
Mariam paham betul, Apa yang dirasakan oleh Marco saat ini, dia juga pernah merasakan seperti putranya saat ini. dulu.
Sekarang bagi Mariam, meskipun dia hidup sendiri, kehidupannya jauh lebih baik dan normal. ternyata harapan indah yang dia bayangkan dulu, tak sesuai dengan ekspektasi nya, kenyataannya, inilah dia saat ini!
"lalu apa yang harus aku lakukan ma?" Marco sangat menginginkan jawaban Mariam
ini semua seperti pertarungan antara hidup dan mati bagi dirinya. Menikahi Lyn yang tidak dia cintai, atau melawan Herman yang bisa saja mengakhiri hidupnya, karena akan sangat sulit! itulah pilihan hidup Marco saat ini.
"Marco, kau harus menemui kekasih Lyn, kau harus menemui pria itu dan membicarakan semuanya.." inilah kalimat terakhir dari Mariam, yang membuat Marco mengangguk seakan setuju.
"Apa yang harus aku lakukan pada pria itu, haruskah aku memukulnya lagi hingga babak belur seperti malam kemarin?" Marco menggenggam tangannya, mengepalkan tinju
"Apa kau berkelahi dengan pria itu?"
"harusnya sejak dulu aku memukulnya, jika perlu aku membunuhnya hingga hari ini tidak akan pernah terjadi!" Dengus Marco penuh emosi. Tapi Lyn selalu membela Abra sebelumnya.
"Marco kau tak boleh melakukan itu, aku tahu kau putra yang baik, itulah mengapa Aku memilihmu hari itu" Mariam menatap wajah putranya dengan sorot mata hangat penuh harapan
"aku tahu kau miliki hati yang hangat dan penuh cinta.." Mariam memikirkan bocah kecil di panti asuhan, di mana dia pertama kali bertemu dengan Marco.
"saat itu aku dan Herman berencana memperbaiki pernikahan kami karena dia yang begitu membenci diriku. Dia mengira lyn bukanlah anaknya, padahal. Kau tahu itu Marco, aku harus hidup dengan pria yang Bahkan meragukan perasaanku padanya, padahal aku selama ini tak pernah melakukan apa pun, selain yang dia katakan!" Hari buruk adalah mengenang perlakuan abnormal Herman. Lepas dari pria itu seperti anugrah untuk Mariam.
"Maafkan aku karena membawamu ke dalam lingkaran hidup seperti ini, seharusnya kau tetap di panti hari itu. Harusnya aku tak membawamu pulang, harapan yang Herman tawarkan hanyalah sebatas harapan. Ternyata dia tak pernah ingin memperbaiki semuanya.." Mariam menjatuhkan air mata lagi.
Membuat Marco kian iba. Mariam benar. Seandainya dia tak bersama keluarga ini mungkinkah hidupnya lebih baik. Tapi Marco juga menyukai Lyn, karena saat dia melihat Lyn dia teringat akan Chi, adik perempuan yang jadi cinta pertamanya. Marco memperlakukan Lyn dengan baik meski Herman tak menyukainya.
"Aku bersyukur Tuhan tak menambahkan satu orang anak lagi di antara kami, atau kian banyak anak yang malang di dunia ini" Marco menyandarkan punggungnya, dia menyeka wajah kasar. Mariam benar, hidup dengan Herman adalah mimpi buruk.
"Aku berharap, kau dan Lyn bisa bebas. Aku berharap Herman tak kembali lagi kesini, tapi dia sudah kembali. Aku tak tahu harus mengatakan apalagi Marco. Kau tahu, Lyn juga membenciku" Marco mengangguk mengerti.
"Aku tahu berat menjadi dirimu ma, aku menambah masalahmu saja" Mariam menggeleng tak setuju dengan kalimat Marco barusan.
"Tidak sayang, aku bersyukur kau membicarakan semua ini padaku. Kau mempercayaiku, kau menganggapku sebagai ibumu"
"Tentu saja!" Ketus marco meyakinkan Mariam.
"Kau ibu terbaik yang pernah aku kenal, aku bersyukur kau menjadi ibuku" Marco menggenggam tangan Mariam, dia meyakinkan wanita paruh baya ini jika Marco adalah putra yang bisa di andalkan.
"Aku akan menemui Abra dan membicarakan kehamilan Lyn, aku harap Abra memiliki rasa tanggung jawab dan tidak marah padaku" ujar Marco dengan senyuman sinis, terakhir dia memukuli habis si pangeran kampus itu.
"Aku harap Lyn masih bisa luluh dengan pesona Abra." Mariam mengangguk.
"Marco, katakan pada Lyn jaga kandungannya dengan baik. Jangan banyak pikiran dan minum vitamin dengan teratur." Wajah Mariam jelas cemas, seorang ibu yang mencemaskan putrinya. Marco mengangguk sebelum beranjak dari kursi.
"Marco, jika Lyn mau, aku ingin mendengar suara dan melihat wajahnya" Marco menggaris senyum tipis. Dia mengangguk pelan.
"Aku akan mengatakan pada Lyn" janji Marco, Mariam mengulas senyum getir. Dia percaya pada Marco tapi sama seperti sebelumnya seratus kali Mariam memeriksa ponselnya tetap saja tak sekalipun putrinya menghubungi.
Gadis itu telah termakan kata kata kotor dari Herman. Dia sangat membenci ibunya, bagi Lyn, Mariam adalah wanita murahan yang buruk, yang tidur dengan sembarang pria. Bahkan Mariam juga tidur dengan staff Herman. Begitulah yang dia dengar dari mulut ayahnya.
"Aku pergi dulu ma" Mariam mengangguk, mengiyakan salam pamit Marco. Pria itu melangkah dan berakhir di balik daun pintu, Mariam berjongkok. Dia meraih pecahan beling di bawah sandalnya. Wanita itu menatap pecahan beling seperti perasaannya yang juga hancur saat ini.
Istri yang gagal, ibu yang gagal, pernikahan yang gagal, harapan yang gagal. Semua kegagalan itu membuat rasa sesak di dada Mariam, setetes dua tetes air bening terjatuh menimpah pecahan beling di ujung kaki Mariam. Apa dia bahagia? Mungkin, sedikit bahagia. Tapi meninggalkan Marco dan Lyn bersama Herman, separuh kebahagiaan Mariam lenyap dan tak tahu kapan akan kembali. Dia meraih beling pertama yang menggores jarinya. Perih, seperti luka yang digoreskan pria yang begitu dia cintai sebelumnya.
Mariam begitu mencintai Herman, mereka begitu rukun dan penuh cinta. Tapi cinta sebelum menikah dan setelah menikah jelas berbeda, Mariam tak menyangka Herman pria yang begitu penuh obsesi dalam hidup.
Air mata, luka, perih dan semua perasaannya sebagai istri, sebagai ibu membaur bersama Isak tangisnya dalam diam. Gagal, kegagalan bagi seorang perempuan.