Kediaman keluarga Herman
Pukul 8 pagi hari
Marco mempercepat langkah menuruni anak tangga, dia bangun sedikit terlambat hari ini. Tangannya masih sibuk memakai lengan jas berwarna hitam.
Di meja makan sudah menunggu Herman, Lyn. Keduanya kompak menoleh menyambut kedatangan Marco di meja makan, menoleh sejenak dan melanjutkan santap pagi mereka.
Marco bergabung dan menarik kursinya
"Bagaimana persiapan pernikahan kalian?" Tanya Herman, Marco dan Lyn kompak saling menatap untuk beberapa saat.
"Sudah sampai ke konsep undangan" jawab Lyn dengan senyuman tipis, Herman tak menoleh ke arah Lyn, pria itu masih kecewa. Ya, antara kecewa dan marah. Sama saja. Sebelumnya dia juga tak begitu jelas, apa membenci Lyn atau mencintai anaknya itu, sikapnya terkadang terkesan ambigu.
"Bagus, bagaimana dengan sidangmu?" Tanya Herman pada Marco yang baru saja mengisi sendokan nasi goreng ke piringnya."
"Semuanya lancar, aku akan segera wisuda"
"Bagus!" Potong Herman cepat, dia menoleh ke arah Lyn hanya sejenak saja, kembali fokus pada isi pringnya.
"Kau tahu kita tak bisa menunggu terlalu lama, perut Lyn akan terus membengkak dan terlihat jelas." Tunjuk Herman ke arah perut Lyn dengan sorot mata tak suka. Ya tentu saja, semakin mengulur waktu semua semakin jelas.
"Baiklah, segera selesaikan semuanya, aku ingin bulan ini kalian menikah" ujar Herman dengan nada memaksa. Marco kesulitan menelan makanannya. Sementara Lyn mengunyah dengan amat pelan, seakan enggan menikmati santapan paginya.
Herman memundurkan kursi. Dia meminta jadwal pada asistennya. Seorang sekretaris baru. Setiap bos di dampingi sekretaris cantik yang cekatan, tapi Herman tidak. Dia memilih pria dengan banyak pengalaman, yang memang fokus pada pekerjaan, Herman melihat banyak gaya hidup baru dalam dunia yang baru dia kenal. Kesuksesannya membawa perubahan berarti dalam hidup Herman. Seorang bos besar jarang sekali berjalan sendiri, mereka memiliki personal asisten yang setia mengurus semua keperluannya, bukan hanya satu bahkan beberapa orang. Dan sekarang Herman menerapkan dalam kehidupan barunya.
"Baiklah, pukul sembilan aku akan kunjungan ke mall Aa, meninjau pasar dan bertemu direktur perusahaan dari pemasok bahan baku basah" Herman membaca jadwal yang tertulis rapi dalam agenda yang di sodorkan sekretaris nya.
"Baiklah, siapkan semuanya. Lima belas menit lagi kita berangkat" ujar Herman pada asistennya yang mengangguk sopan.
"Oiya, uang yang aku berikan padamu sebisa mungkin kau kelola dengan baik. Buatlah pesta yang bagus dan menarik, tapi aku tak mau ada yang aneh dan janggal di acara nanti. Aku sudah mempersiapkan rencana lainnya. Ku dengar kau juga bisa menghubungi beberapa wartawan agar acaramu di liput" ujar Herman pada Lyn.
Serempak, kedua pemuda pemudi di meja yang sama mengangkat kepala kompak. Apa maksud Herman?
Bukankah Lyn harus menutupi kehamilannya, kenapa mengundang wartawan, agar apa? Lyn tak habis pikir, begitupun dengan Marco.
"Om, kita hanya akan menggelar acara tertutup, tak perlu media. Lagipula aku takut malah akan memberi citra buruk pada om" Marco mencoba menjelaskan, Herman mengangkat telapak tangannya.
"Tidak, aku ingin semua tampil bagus di depan orang lain. Bagaimanapun caranya" seperti biasa. Jika Herman sudah memutuskan, tak ada yang boleh membantah.
"Tidak usah terlalu banyak, hanya dua atau tiga program acara yang sedang naik rating, itu sudah cukup, anggap saja ini sebagai debut keluarga kita ke media agar orang orang lebih mengenal keberadaan ku" Lyn mengangguk kecil, tak mau memulai perdebatan yang tak akan menghasilkan apapun. Marco hanya bisa bengong tak percaya.
"Baiklah, segera cetak undangan pernikahan, dan kabari aku waktunya. Setidaknya aku harus mengosongkan jadwal untuk menikahkan kalian" ujar Herman bangkit dari kursi. Pelayan mengambilkan jas dan koper bos besar itu, Herman melangkah meninggalkan rumah, meninggalkan wajah heran dan bingung Lyn dan Marco.
"Apa maksudnya tadi?" Marco masih tak mengerti dengan ucapan Herman.
"Kau tahu betul itu Marco, dia semakin tinggi hati dan arogan" balas Lyn melipat tangan di dada.
"Bagaimana mungkin kita memberi tahu semua orang sementara kita sedang menyimpan aib" Marco tak bisa mengerti, dia menjambak kasar pangkal rambutnya yang sudah tertata rapi.
Padahal hari ini dia akan pulang lebih awal hendak mengunjungi kosan dan menemui Chi. Dia ingin menjelaskan dan menceritakan semuanya. Marco harus memberi tahu Chi. Hari ini!
Lyn mengambil sebuah barang seperti map berukuran sedang, dia menaruh di atas meja makan dan mendorong ke hadapan wajah Marco. Pria itu membesarkan matanya melihat bagaimana nama mereka jelas tertulis di sana. Berikut gelar yang belum resmi dia dapatkan! Oh my God, apa apaan ini?
"Kau tahu aku bahkan belum wisuda" protes Marco melihat namanya mendapat gelar sarjana tanpa wisuda.
"Aku hanya mengikuti apa yang papa inginkan. Kau tahu itukan, dia akan menulis banyak gelar yang kau dapatkan, harusnya kau segera lanjut S2 dan menambah daftar panjang namamu" Lyn manyun, dia sendiri belum menyelesaikan kuliahnya. Dia bahkan harus menambah gelar di belakang namanya.
"Apa apaan ini?" Marco sulit percaya, sejak kapan mereka menyelesaikan pendidikan strata satunya.
"Papa bilang itu bukan masalah, dia sudah mendaftarkan namaku di salah satu sekolah tinggi swasta, meski tak begitu populer setidaknya aku bisa mendapatkan gelar resmi disana" Lyn mengangkat bahu, menganggap enteng semuanya.
"Kau gila, apa maksudmu gelar kehormatan?" Sinis Marco, Lyn mencibir kecil.
"Bisa jadi" jawaban Lyn membuat Marco tertawa sinis, gelar kehormatan apa! Bahkan Lyn selalu membolos selama kuliah, dia hampir saja drop out kalau bukan permainan licik Herman di belakang punggungnya.
"Kau tau kan Marco, kita tak bisa mengecewakan papa. Jadi lakukan saja. Apa pentingnya sebuah nama. Anggap saja itu hanya tulisan" Marco menggelengkan kepala melihat undangan dengan dominan merah dan tinta emas, bentuknya seperti amplop dengan cover keras dan hologram, bahkan di lengkapi barcode.
"Ada beberapa perbaikan di dalamnya, aku harap kau akan memberikan ini pada Vivi, aku sudah menghubunginya. Dia menunggumu hari ini" ayolah.. Marco bahkan tak tahu menahu dan sekarang dengan enteng Lyn memintanya menyelesaikan sisa pekerjaan yang sudah dia ambil setengah.
"Bagaimana?" Tanya Marco tak mengerti.
"Aku meminta beberapa perbaikan desain, dan kau harus menyerahkan undangan draft ini pada Vivi, si pemilik printing di jalan utama? Teman kampusmu?"
"Kenapa kau mencetak disana? Akan ramai yang tahu tentang pernikahan kita. Bukankah kita membuat acara ini secara tertutup" Lyn mengibaskan tangan dengan wajah malas.
"Sudahlah semua juga akan tahu nantinya." Marco tak bisa berkata kata lagi, baik Herman atau Lyn, mereka sama saja. Membuat Marco terjepit, tak bisa bergerak, apalagi berontak.
"Ini, jangan lupa kau bawa. Aku akan menghubungi Vivi lagi. O iya satu lagi. Tolong kau pilih cincin kawin. Kau belum memutuskan akan memilih yang mana!" Ujar Lyn memaksakan senyuman. Gadis itu beranjak dari kursinya, bahkan isi piringannya terlihat tak berkurang.
Cups..
Lyn mencium pipi Marco, membuat pria itu seketika mematung. Terkejut! Apa yang Lyn lakukan?
"Kita harus melakukannya, jadi mari mencoba dari sekarang" bisik Lyn di belakang kepala Marco, gadis itu menepuk pelan pundak kakaknya. Marco sungguh bisa gila jika lebih lama lagi tinggal di sini. Lyn melangkah riang sambil menahan mual di perutnya. Dia harus segera ke kamar mandi.
***
Sebenarnya apa mau Lyn?