Marco tak habis pikir tentang Herman dan Lyn, dia benar benar dibuat gila oleh mereka. Ditambah lagi keadaan Abra saat ini. Seperti nya sangat sulit menghindari pernikahan. Haruskah dia melarikan diri? Tapi pergi kemana? Marco bahkan tak memiliki keluarga.
"Kau melamun kan apa?" Tanya Dixter mengejutkan Marco.
"Haruskah aku menceritakan ini denganmu?" Dixter tak menjawab, dia hanya ingin menikmati sepotong sandwich di pelataran kampus.
"Btw selamat atas sidangmu"
"Thanks" balas Marco dengan wajah datar.
"Hey, kau tak senang? Apa tadi itu buruk.."
"Not bad, tapi sangat tidak menyenangkan untukku saat ini" Dixter menoleh dan mendapati wajah murung Marco.
"Apa Lyn membuat masalah lagi?"
"Lebih dari masalah!" Kesal Marco. Dixter mengangkat kedua tangannya ke udara. Bukankah itu sudah biasa.
"Kau tahu adikmu itu memang biang onar. O iya apa kau dengar skandal Abra, kekasih Lyn?" Tanya Dixter dengan wajah penasaran. Marco mengangguk sambil meluruskan punggungnya.
"Ku dengar dia koma" Marco tidak terkejut mendengar informasi dari Dixter.
"Mungkin pukulanmu bukanlah apa apa, tapi tabrakan beruntun dan korban jiwa, itu sungguh tepat untuknya" Dixter seakan mentertawai nasib buruk Abra. Dia memukul paha Marco, bukankah ini kabar bagus. Marco sudah lama membenci Abraham.
"Hey, kau harusnya senang. Kenapa kau murung?" Dixter tak mengerti dengan raut wajah Marco. Pria itu menarik nafas dalam dan menatap dalam wajah Dixter yang tanpa beban. Hidup pemuda bule ini begitu santai dan tenang, membuat Marco iri.
"Lyn hamil!"
PLUK!!
Sisa sandwich di tangan Dixter terjatuh ke tanah yang dipenuhi rumput gajah yang terpangkas rapi
"Shit! Makanan ku jadi kotor!" Dixter meraih rotinya dan membuang ke tong sampah, ah padahal masih banyak daging di dalam sana. Dixter kembali merebahkan duduk di samping Marco yang menengadahkan kepala, mengadu tatap dengan langit.
"Jadi dia hamil? Harusnya aku tidak terkejut. Tapi sandwich ku sampai terjatuh" ujar Dixter dengan nada getir. Dia tidak mungkin mencemaskan keadaan Lyn, mereka hanya berteman karena Marco, dia lebih mengkhawatirkan rotinya, makan siangnya jadi belum pas.
"Lalu?" Lalu apa. Marco tak punya kalimat untuk menceritakan lebih banyak lagi. Tepatnya, Marco tak ingin Dixter mengumpat tentang nasib buruknya.
"Abraham sedang koma, entah dia selamat atau tidak. Apa kau yakin Lyn harus mempertahankan buah hubungan mereka. Itu akan sangat sulit. Lyn masih muda, dan Abraham.. Kau tahu kan bagaimana dia?" Marco mengangguk setuju dengan kalimat Dixter barusan.
"Bagian terburuknya adalah.. aku harus menikahi Lyn"
"Gilaa!!" Tukas Dixter dengan wajah tak percaya, jelas! Bagaimana mungkin dia mendengar semua ini. Beruntung dia tidak sedang memegang sesuatu atau akan terjatuh juga.
"Bagaimana dengan wanita yang kau bawa malam itu? Bukankah untuk pertama kalinya kau punya kekasih?" Ah, akhirnya ada juga orang waras yang bisa di ajak bicara. Marco merasa dirinya bisa menangis saat ini. Kalimat Dix barusan menyadarkan Marco akan realita. Bahwa di rumah sakit jiwa sekalipun masih ada orang waras, hanya mungkin salah tempat.
"Kau akan memutuskan dan meninggalkan wanitamu begitu saja? Kenapa terdengar seperti tingkah Abra" Dix memperotes kalimatnya sendiri. Pria bule itu menatap wajah Marco serius.
"Kau sudah menidurinya? Apa dia juga hamil?" Marco memukul kepala Dix cukup keras, hingga pria itu meringis. Marco menyesali ucapannya tadi ternyata Dix sama gilanya.
"Oke, itu artinya belum. Karena akan seru jika dua wanita hamil tapi prianya hanya satu!" Marco mencibir ucapan Dix.
"Berhenti membaca hentai, kau jadi otaku!" Kesal Marco, temannya itu hanya terkekeh.
"Itu hiburan untuk jomblo, apa kau mau ku beri link rekomendasi" Marco menggeleng cepat. Ah tidak di rumah atau di kampus, dia hanya bertemu orang orang aneh. Marco bangkit dari posisinya.
"Kau mau kemana, hei!!" Teriak Dix mengejar langkah Marco menuju parkiran motor.
"Aku mau menemui kekasihku!" Balas Marco bangga. Oke, Dix tak jadi mengejar, dia tak mau lagi ikut campur. Terakhir saat dia membantu Marco, dia hampir saja mati ketakutan melihat bodyguard berbadan besar dan berwajah seram di depan rumah Lyn, untung saja dia tidak mengompol.
Marco menaiki motor CC besar yang dia bawa. Ke gedung kosan.. Menemui Chi. Marco sangat bersemangat. Dia akan menemui kekasihnya, menjelaskan semuanya dan meminta keputusan yang bijak. Masih ada satu langkah lagi, barangkali Chi bisa memberi secercah kehidupan yang baik untuk Marco. Itu sih harapannya.
----
Pukul dua siang hari
Sepulang dari rumah sakit.
"Apa kau yakin kau akan kesana--?" Tanya Suzu tak percaya jika Chi meninggalkan salah satu koleksi perhiasan handmade nya di kosan lama mereka. Chi mengangguk mengiyakan pertanyaan Suzu.
"Apa ingin ku temani?" Chi menggeleng.
"Kau pasti lelah. Kau menangis lama tadi. Aku harap kau segera pulang dan beristirahat. Tenanglah aku akan menyusul dengan menumpang taksi."
"Tak usah" ujar Suzu menyambar. "Aku akan mengirim sopir untuk menjemputmu, kau tinggalkan pesan saja ketika akan pulang." Chi mengangguk sungkan.
"Baiklah" ujar Chi kemudian.
"Kau tahu, aku sangat berterima kasih kau mau menemaniku hari ini. Aku tak menyangka kakak separah tui" Suzu jelas masih sedih dan menahan air matanya. Chi bisa paham itu, Suzu sungguh menyayangi Abra.
"Disaat kakak terpuruk seperti ini, teman temannya seakan menjauh. Ku dengar dia juga punya kekasih tapi sampai hari ini aku belum pernah melihatnya sekalipun" wajah Suzu jelas kecewa.
"Su.. yang penting kakakmu sudah ditangani oleh ahlinya. Dan orang tuamu sudah mengurus semuanya dengan baik. Percayalah semua akan baik baik saja" ujar Chi memberi Suzu kekuatan. Dia menyodorkan segelas minuman dingin dari lemari kecil di dalam mobil. Suzu menyambut uluran Chu, dan membuka segel tutupnya.
"Kau tahu, bahkan Rose memutuskan pindah tempat magang. Dia tak mau lagi berteman denganku" lirih Suzu.
"Kau tak boleh berpikir seperti itu. Mungkin Rose hanya mencari tempat terdekat, di sini bukankah terlalu jauh." Chi mencari alasan sebisanya, Suzu mengangguk memaksa setuju dengan ucapan Chi.
"Kau, kenapa tak pindah saja, kau tahu di D atau di kota B juga banyak kantor besar, kau bisa mencari tempat magang seperti Rose" Chi menggeleng tak setuju dengan saran Suzu.
"Kau tahu, aku disini atau di luar kota sama saja, aku lebih senang menemanimu karena rumahku sepi. Orang tuaku sibuk bekerja. Aku hanya sendirian di rumah. Dengan alasan magang aku bisa menghabiskan banyak waktu di luar seperti ini" ujar Chu memberi penjelasan kenapa dia sampai saat ini bisa berada di samping Suzu.
"Kalau begitu kau berkerja saja padaku, maksudku pada papi!" Pinta Suzu bersemangat.
"Akan aku pikirkan!" Suzu tersenyum senang mendengar jawaban Chi.
"Aku akan lulus dan mencari pekerjaan di ibu kota. Membiayai kuliahku sendiri." Suzu terkejut dengan ucapan Chi. Dia anak yang mandiri.
"Bukankah orang tuamu dosen dan profesor?" Chi menjawab pertanyaan Suzu dengan anggukan.
"Tapi mereka bekerja keras untuk semua gelar itu.. mereka mendapatkan banyak beasiswa dan terus belajar.. Sedangkan aku tak mewarisi otak mereka" tentu saja, dia hanya anak angkat.
"Kalau begitu mari kita belajar rajin dan masuk universitas bersama"
"Kau serius?" Chi tak percaya dengan ucapan Suzu.
"Iya, aku ingin mengambil universitas swasta nomer satu, kau tahu itukan!" Ya, siapa yang tak tahu perihal biaya yang fantastis. Ada harga ada kualitas.
"Aku tak bisa kuliah di sana, kau tahu aku harus mengumpulkan banyak uang untuk bisa menjadi bagian dari siswa kampus itu" Suzu tertawa kecil mendengar ucapan pesimis Chi.
"Bukankah ku bilang, aku mempunyai penawaran bagus untukmu"
"Apa itu?" Tanya Chi penasaran. Suzu menyembunyikan senyumannya, dia seakan membuat teka teki.
"Aku akan memberi satu posisi bagus untukmu, dan kau bisa kuliah di universitas itu bersama denganku, kau juga boleh tinggal di rumah atau di apartemen kita" wah, kedengarannya sangat menarik dan fantastis. Penawaran apa itu?
Tapi Chi harus menahan rasa penasarannya. Dia sudah tiba di tujuan. Gadis itu meminta sopir berhenti.
"Aku sudah sampai" ujar Chi, Suzu menoleh dan mendapati bangunan kosan lama mereka. Gadis itu menjeda ucapannya. Dia masih menyimpan posisi yang dia tawarkan untuk pekerjaan Chi.
"Baiklah, sampai ketemu di rumah" ujar Suzu membuka pintu mobil untuk Chi. Temannya itu segera turun dari mobil mewah dengan interior yang super wah milik keluarga Willady.
Beberapa penghuni kos yang berada di depan sempat terperangah tak percaya.
"Bukankah itu anak sekolah tempo hari?" Mereka mulai bergunjing, untung saja Suzu tak membiarkan mata mereka menangkap sorot wajahnya. Pintu mobil segera tertutup, Chi melambaikan tangan.
**
Akankah Chi dan Marco bertemu