Chi menatap kamar kos mereka, dia meneliti setiap sudutnya sekali lagi. Apa semua yang dia rasakan kemarin adalah hanya mimpi, tapi tidak! Semua itu terasa sangat nyata, Chi menghela nafas berat. tidak! Semuanya itu bukan mimpi, dan dia bisa merasakan kehadiran Marco begitu nyata.
"Chi, ayoo.." Rose menarik lengan Chi. Gadis itu masih saja tertegun, Dia seakan enggan meninggalkan kosan ini. Ada banyak hal yang menjadi pertanyaan dalam pikirannya, tapi di mana dia menemukan jawabannya. Sementara sejak kemarin dia bangun hingga hari ini sosok pria yang bersama dengannya tak juga tampak, mungkinkah semua itu hanya mimpi? Khayalan? Deja vu? Chi bingung sendiri.
Suzu melambaikan tangan dari kejauhan dan berani sekali dia membawa mobil! mereka bahkan belum 17 tahun. Kendaraan merah yang terparkir tepat di samping tubuh Suzu, Honda jazz, dia mengemudikannya sendiri? Anak manja itu sudah mengatur semuanya.
"Kudengar ayahnya membeli sebuah apartemen dan mempersiapkan seorang housekeeping untuk kita?" Rose setengah berbisik pada Chi, wajah takjub yang tak percaya akan kehidupan jetset keluarga Suzu.
Kenapa mereka harus susah payah mencari kosan sendiri kemarin kalau pada akhirnya Suzu menyerah juga, pada akhirnya dia menerima tawaran manis ayahnya. Anak manja itu baru kemarin dia bilang ingin mandiri dan tinggal bersama teman-temannya, tapi kenyataannya hanya bertahan setengah hari!
"Aku jadi penasaran Apa pekerjaan ayahnya, ku dengar ayah Suzu orang yang terkenal. Tapi dia merahasiakan identitas keluarganya, katanya ayah Suzu juga salah satu donatur tetap sekolah kita ya?" Chi menggelengkan kepala tak mengerti. Dia tak menyimak obrolan tentang keluarga temannya itu, baru sekarang dia mendengar dari Rose.
"Entahlah, aku kurang tahu" jawab Chi datar, Rose memonyongkan bibir kecewa, Chi adalah teman yang buruk untuk diajak bergosip.
"apapun itu yang penting kita tinggal di kawasan elit, aku merasa jadi anak orang kaya untuk 3 bulan ke depan!" Ujar Rose berlari menyusul posisi Suzu. Gadis itu sudah tak sabar menempati rumah baru mereka. Berbeda dengan Chi, dia masih berat hati meninggalkan kosan dengan kamar di sudut belakang sana. Dia masih ingin disini dan menunggu Marco, tapi tak mungkin dia berpisah dengan dua sobatnya, bukankah itu terdengar aneh dan tak masuk akal.
"Ayoo.. aku sudah melihat ruangannya, ada dua kamar, dapur dan furniture lengkap. Kakakku memilih tempat yang bagus, o iya nanti kita akan bertemu dengan banyak mahasiswa universitas H, kau tahukan!"
"Hah, yang benar! Universitas bergengsi itu!" Rose dua kali di buat takjub oleh Suzu, gadis itu mengangguk sambil memainkan alisnya.
"Ya dong, ini rahasia ya. Cukup kalian berdua saja yang tahu. Kakakku itu pangeran kampus yang terkenal!"
"Serius!" Rose tak percaya, mereka berdua terlibat obrolan seru dengan nada riang, sementara Chi di kursi penumpang hanya menyimak dan menyimpan perasaannya sendiri.
Kak Marco, kakak kemana? Aku ingin bertemu.. aku ingin meyakinkan diriku.. batin Chi larut dalam perasaannya sendiri. Dia memainkan jemari dalam genggaman.
"Apa ada yang cocok untuk teman kita yang pendiam itu!" Seru Rose menggoda Chi, Suzu menoleh sejenak, dia tertawa kecil.
"Bagaimana kalau gadis pendiam kita di jodoh kan dengan orang yang populer, akan seru tuh! Saat mereka berkencan yang satu tebar pesona yang satu menunduk malu!" Suzu mengangkat telapak tangan, meminta tos pada Rose. Keduanya kompak menggoda Chi, tapi gadis itu tak merespons membuat Rose dan Suzu heran.
"Chi.." panggil Suzu. Yang di pantau masih tak menyahut, tatapannya kosong.
"Chi! Lu kesambet ya!" Teriak Rose tapi tak juga membuyarkan lamunan Chi. Rose dan Suzu saling melirik heran.
"CHI!" Tangan ROSE memukul paha Chi, mengejutkan gadis itu. Membuat gadis itu terperanjat heran.
"Kenapa?" Tanya Chi dengan wajah polos tanpa dosa.
"Lu ngelamunin apa sih!" Sergah Rose kesal. Chi mengulas senyuman tipis.
"Kalian lagi bahas apa?" Rose melipat tangan di dada, dia kesal melihat wajah polos Chi, jadi dari tadi mereka cuma heboh berdua saja. Chi benar benar deh!
"Jangan jangan, dia ketempelan jin penghuni paviliun nih!" Ujar Rose asal membuat Suzu menoleh cepat ke wajah datar Chi.
"Serius eh! Lu nakutin!" Gusar Suzu protes pada ucapan Rose.
"Bisa jadi kan!" Rose memaksakan pendapatnya. Keduanya kompak menoleh dan menatap wajah Chi, membuat gadis itu menautkan alis heran dengan tatapan kedua temannya.
"Apa sih! Ati ati di depan lampu merah!" Ketus Chi menunjuk jalanan menyadarkan Suzu, untuk fokus mengemudi.
"Syukur deh! Kayaknya dia udah sadar.." ujar Rose asal, Suzu tertawa kecil dan Chi menggelengkan kepala tak mengerti.
----
Selama perjalanan dengan sepeda motor Marco terus memikirkan rencana Herman. Dia tak bisa membantah tapi jika mungkin dia tak mau menikahi Lyn. Tapi itu mustahil untuk mengatakannya dengan lantang!
Mengeluarkan pendapat pada Herman hanya akan percuma saja, Marco tahu betul watak ayah angkatnya itu.
Dia memacu kecepatan menyusuri jalanan pagi yang beraspal, tadi dia meninggalkan Lyn yang sudah tidur tenang, tadi malam adiknya itu mengeluh pusing, setelah minum vitamin dan sarapan Lyn akhirnya bisa tidur juga.
Morning sick. Istilah yang baru pertama kali Marco dengar. Rasa pening dan mual di pagi hari. Membuat Lyn semakin manja dan bergantung padanya. Marco tak mempermasalahkan itu semua. Dia sudah menganggap Lyn adiknya sendiri.
Semenjak kehilangan Chi dalam kesehariannya, kehadiran Lyn membuat Marco memiliki adik baru. Lyn masih sangat muda tapi gaya hidupnya melebihi remaja lainnya. Dia bahkan masih sangat muda.. sesal Marco
Marco memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana, rumah bergaya Inggris kuno dengan batu kali hitam putih sebagai pondasi dasar, dia melepaskan helm dan melangkah menaiki tangga teras, mengetuk pintu perlahan.
Seseorang datang dan mengulas senyum begitu pintu terbuka.
"Apa kabarmu sayang?" Marco menerima ciuman hangat di pipinya. Mariam merangkul Marco dan mengajak putranya bergabung di meja makan.
"Apa kau sudah sarapan?" Marco mengangguk, dia terus menatap serius wajah Mariam yang tak banyak berubah, hanya lebih cerah dan sederhana. Meski begitu rona bahagia jelas terukir di wajahnya.
"Ada apa Marco, kau tak biasanya mengunjungi mama sepagi ini?" Mariam curiga dengan tatapan Marco yang begitu lekat padanya. Tangannya sibuk menuangkan teh ke dalam gelas untuk Marco, sementara putranya itu menatap wajah Mariam dan terus begitu. Marco ragu harus mulai dari mana ceritanya.
"Ma, om Herman sudah kembali" Mariam menjeda pekerjaannya untuk sesaat, tapi dia tersenyum singkat lalu mengangkat gelas untuk Marco.
"Apa dia sehat? Bagaimana perjalanannya selama tiga tahun belakangan ini?" Marco tak menjawab, dia tak tahu semua itu dengan pasti, mereka tak sedekat itu untuk memulai obrolan apalagi sampai saling menceritakan pengalaman.
"Apa kalian tidak bertemu?" Melihat Marco tak menjawab, Mariam seakan meralat pertanyaanya. Marco menarik nafas cepat.
"Ma, aku baru dari rumah Herman" Mariam tersenyum kecil mendengar panggilan santai Marco. "Maksdud ku om Herman.." Marco meralat panggilannya dengan wajah ragu, itu tak masalah bagi Mariam.
"Dia menjemputku dari kosan, dan sekarang om Herman memintaku kembali ke rumah itu" Mariam tidak terkejut, Herman bisa melakukan apa yang dia mau sesuka hatinya.
"Lalu?" Mariam serius sekali menyimak obrolan Marco, wanita itu tahu ada hal yang lebih penting daripada ini, tapi dia menunggu Marco mengatakan semuanya dengan tenang, meski hatinya berdebar menanti.
Akhir akhir ini perasaannya tak menentu, dia terus memikirkan putra dan putrinya yang tak bisa dia rangkul. Beruntung sekali Herman sedikit longgar pada Marco, hingga pemuda ini sesekali bisa menemuinya seperti saat ini.
"Maa.." nada sumbang Marco membuat Mariam tak mengedipkan mata, dia menunggu kalimat yang sejak tadi hendak Marco sampaikan.