Chereads / My playboy boyfriend / Chapter 16 - Tak percaya

Chapter 16 - Tak percaya

Lyn menelusuri media sosial dimana akunnya memajang banyak dekorasi cantik dan unik, dia membaca satu persatu testimoni yang tertera di sana. Gadis itu bersandar pada kepala ranjang sambil tersenyum senang.

"Ada apa?" Tanya Marco bingung ketika membuka pintu kamar Lyn dan mendapati wajah cerah adiknya pagi ini.

"Apa kau ada kelas?" Marco mengangguk menjawab pertanyaan Lyn.

"Ini tahun terakhirku, aku harus semangat. Kau tahu. Herman sudah menjanjikan posisi yang bagus untukku" Lyn mencibir ucapan Marco.

"Kau pikir dia akan menyerahkan semudah itu?" Marco mengangkat bahunya, entahlah dia sendiri tak yakin.

"Apa kau akan menemui kekasihmu?" Tanya Lyn mendapati wajah murung Marco. Mereka memiliki ekspresi wajah yang kontras. Marco terlihat berpikir dengan pertanyaan Lyn.

"Haruskah aku mengatakan aku akan menikah dan memberi undangan?" Lyn mengangkat bahu, dia tak tahu harus memberi jawaban apa pada Marco

"Apa kau begitu mencintainya?" Tanya Lyn, Marco mengangguk kecil

"Lebih dari cinta" jawab pria itu dengan senyum sumringah seakan membayangkan wajah manja Chi di hadapannya.

"Apa dia cantik?" Marco mengangguk lagi.

"Apa kau akan menikahinya?" Marco ragu untuk mengangguk, dia sedikit berpikir.

"Aku rasa kami memerlukan beberapa tahun hingga akhirnya memutuskan untuk menikah, dia masih terlalu muda" ujar Marco menjelaskan sedikit tentang Chi.

"Kalau begitu selama kau menunggu waktu, kau harus fokus denganku" pinta Lyn dengan wajahnya yang memaksa. Marco menautkan alis heran.

"Maksudmu?"

"Marco, kita akan segera menikah, dan memiliki anak. Aku ingin kau dan aku menjadi suami istri yang normal meskipun mungkin usia pernikahan kita tak akan lama" Marco menarik nafas berat. Dia tahu semua takdir hidupnya seakan telah di atur oleh Herman. Tapi menikahi lyn, sekalipun tak pernah terbayangkan oleh Marco.

Baginya, Lyn adalah adiknya. Berbeda dengan Chi. Meski Chi lebih muda, bagi Marco Chi begitu dewasa dan menggemaskan. Jadi hidupnya akan punya banyak rasa jika dihabiskan bersama Chi.

Marco tak bisa membayangkan jika yang mendampinginya bukan Chi. Dia tak pernah mau membayangkan itu. Tapi inilah kenyataanya.

"Lyn, apa kau tak mau mencoba menanyakan semua ini pada Abra?" Lyn menatap wajah Marco dengan sudut mata tajam. Dia menyipitkan matanya yang sudah sipit. Lyn tak menyukai nama Abra di sebut lagi.

"Aku lebih baik menggugurkan bayi ini, daripada aku harus kembali padanya, aku sangat membencinya"

"Jadi kau akan menikah denganku?" Tanya Marco dengan wajah tak percaya. Lyn mengangguk tanpa ragu.

"Aku dan kau akan menikah dan mempunyai anak. Aku menjadi istrimu, dan kau menjadi pewaris aset Herman. Bukankah itu bagus. Oiya satu hal lagi. Jika kau sudah mendapatkan semua hak waris jangan lupa jika kau tak bisa melepasku semudah itu!" Marco tertawa geli. Dia seakan mentertawa kan takdirnya. Apa apaan ini! Lyn bahkan sudah ikut gila seperti ayahnya. Lalu siapa yang waras di sini. Lama lama Marco juga ikut ikutan sinting.

---

Chi terbangun dengan ruangan kosong. Gadis itu mengerjakan mata dan mengusap wajah.

Apa dia bermimpi?

Chi menatap sekeliling, tapi ini benar ruangan Marco, bukan kamarnya. Dia mencoba berpikir dan memikirkan ulang semua yang terjadi. Dia menggapai cermin di dinding menatap bayangan diri. Chi merasakan kulit terbuka di permukaan bibirnya. Itu nyata! Bukan mimpi.

Tapi dimana Marco. Chi menarik handle pintu dan keluar ruangan, dia menuju teras, tak ada satupun disini, dia hanya sendirian. Angin pagi seakan membuat dirinya berdesir dan merinding.

"Apa aku menghayal?" Gumam Chi menautkan alis tak paham. Tapi Marco begitu nyata malam tadi. Dan pakaian yang dia kenakan ini, jelas ini setelan yang dia pakai keluar dan melihat Marco memeluk seorang gadis malam tadi.

"Adik?" Chi bergumam sendiri dengan wajah heran dan cemas. Dia menatap sekeliling dan rasanya aneh. Dia seakan merasa bermimpi tapi begitu nyata. Ciuman, dekapan, sentuhan dan suara Marco begitu nyata.

"CHI..!!" Teriakan Suzu dan Rose mengejutkan Chi. Dia menoleh dan kedua temannya itu berhambur memeluk pundak Chi.

"Ko lu di sini sih!" Seru Rose bingung menyadari teras yang mereka injak bukanlah bagian kamar mereka. Chi sendiri heran.

"Lu kenapa sih!" Seru Suzu mendapati wajah melongo bingung temannya. Chi sendiri tak bisa menjawab.

"Itu tas lu kan!" Tanya Suzu pada tas Sling bag yang menyangkut di kursi di dalam ruangan asing yang kosong. Chi meraih tasnya dengan cepat. Mereka bertiga kompak mengedarkan pandangan pada ruang bersih dan maskulin kamar ini.

"Ini kamar laki ya?" Tanya Suzu, Rose mengangguk setuju.

"Lu ngapain disini Chi?" Rose menajamkan matanya, meneliti wajah bingung temannya itu.

"Mm.. aku juga bingung" jawab Chi ambigu.

"Jangan bilang lu ketemu cowok ganteng, tampan rupawan, jalan bareng, ciuman, tidur bareng terus orangnya ga ada gitu.." persis! Meski Suzu jelas sedang bercanda tapi itulah kenyataannya. Itulah yang Chi rasakan. Persis!

"Ko muka lu bingung gitu sih?" Tanya Rose penasaran. Chi tak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Dia sendiri masih jetlag

"Suzu.. Rose.. kemarin aku ketemu sama teman lama, kita sempat ngobrol, makan dan --" Chi menghentikan kalimatnya, dia tak mungkin jujur dan menceritakan semuanya kan. Dia menarik nafas dalam mencoba mengkoreksi ucapannya.

"Aku bertemu sama dia, dan kami mengobrol sepanjang malam, tapi kenapa setelah aku bangun. Pria itu sudah tak ada.." Suzu tertawa getir begitupun Rose.

"Tunggu dulu Chi! Lu becanda kan?" Chi menggeleng

"Lu mimpi ya?" Suzu juga tak mau percaya, Chi menggeleng lagi. Membuat ketiganya merapat, tak mau saling berjauhan, mereka merinding dan ketakutan.

Tapi semua itu jelas nyata, aku melihat kak Marco dan kami sempat keluar bersama. Hanya saja, kemana kak Marco pergi sepagi ini?

Chi berdebat dengan batinnya sendiri. Meski Rose dan Suzu ketakutan dengan ceritanya tapi dia yakin kalau semua itu nyata. Kalau Marco dan cinta mereka itu nyata.

"Mumpung kita baru beberapa hari disini, gimana kalau kita cari kosan yang lain aja?" Tanya Rose ketakutan.

"Setuju, gue minta maaf ya Chi, udah ninggalin lu sendirian" ujar Suzu memeluk Chi dengan wajahnya yang cemas dan ketakutan.

Chi mengangguk saja dengan pikirannya yang melayang. Mungkinkah semua itu cuma mimpi? Tapi kenapa rasanya begitu nyata? Bahkan Chi masih bisa membayangkan hangat ciuman pertamanya yang mengayunkan jantung. Genggaman tangan yang erat dan hangat. Tak mungkin semua itu hanya sebatas mimpi, itu semua terlalu indah.

Tapi kemana ka Marco, apa dia sudah berangkat kuliah sepagi ini?

Chi bingung sendiri.

"Buu!!" Teriak Suzu pada ibu kosan yang sedang bersih bersih.

"Bu, kamar sebelah ada penghuninya ga sih?" Tanya Rose tak sabar lagi, dia butuh kejelasan yang konkrit

"Oh, kamar Aden.. Sebetulnya ini kamar pemilik gedung kos, yang satu untuk putrinya yang satu untuk putranya. Tapi setau saya setelah dua tahun. eh beberapa tahun setelah mereka berpisah, maksudnya orang tuanya bercerai. Si putri ikut bapaknya nah si putra ikut mamanya. Jadi dua kamar ini udah lama kosong tapi--"

"What!!" Teriak Suzu dan Rose kompak.

"Bu, kayaknya kita mesti pindah deh. Soalnya ada saudara saya yang beli rumah di jalan protokol, kita akan tinggal disana Bu, ga papa kan?" Suzu nyerocos tiba tiba tanpa kompromi dengan teman temannya terlebih dahulu.

"Memangnya sejak kapan saudara lu beli rumah?" Pertanyaan Rose cuma dibalas sikutan di perutnya oleh Suzu.

"Emang lu mau tinggal di kosan berhantu?" Tanya Suzu dengan berbisik.

"Oh, ga papa dek, cuma uang yang masuk ga bisa di kembalikan lagi ya"

"Ga papa Bu! Saya iklas!" Ujar Suzu segera menarik tangan Rose dan Chi, dia segera mengajak dua rekannya untuk berkemas cepat

"Sumpah.. gue lebih baik minta papi beli apartemen daripada tinggal di kosan berhantu" ujar Suzu merinding dengan wajah takut.

"Kita pindah kemana nih?" Tanya Rose bingung.

"Gue telepon bokap dulu!" Ujar Suzu yang memang punya keluarga dengan status old money.

Chi cuma terdiam saja, dia bersandar pada daun pintu, masih memikirkan kejadian tadi malam. Masa sih? Dia sulit percaya cerita mistis, lagipula semua itu jelas terasa nyata.

"Anak ABG.. bawel nya ampun..! Padahal kan si akang Marco memang sering berkunjung ke sini!" Ujar si ibu melanjutkan pekerjaanya, menyapu pekarangan.