Brak...
ardila membanting dan mengunci pintu kamarnya dengan penuh emosi, air mata masih mengalir di pipi mulus wanita ini. sementara diluar sana juga masih terdengar suara ocehan ibunya yang tak kunjung reda, setiap hari ada saja masalahnya perdebatan selalu terjadi antara ardila dan ibunya itu, alasannya juga masih sama yaitu rasa ingin bebas yang menggebu dalam diri ardila.
"heh dia pikir hidup itu mudah" gerutu wanita paruh baya yang selalu di panggil ibu oleh ardila.
"mau mandiri, omong kosong"
"kalau sukses sukur, kalau tidak. malah buat susah saja" timpalnya lagi
gadis itu hanya sesunggukan di dalam kamarnya, hati nya perih. bagai mana tidak seseorang yang sejatinya harus menjadi malaikat untuknya malah menjadi bumerang untuk emosi ardila, padahal yang ardila inginkan saat ini hanya bebas dan bisa mandiri seperti kakak kakaknya yang notabene sudah sukses menggapai mimpi mereka.
dihatinya selalu bertanya, apa sih masalahnya sampai dia tak bisa terbebas dan harus terus terbelenggu di rumah. bagai seekor burung yang di beri makan, di beri minun, dan di beri kasih sayang tetapi selalu terkurung oleh sangkar buatan.
sudah empat tahun lebih ardila lulus dari bangku sekolah menengah atas kota jambi, ardila memang tak melanjutkan kuliah atas kenginannya sendiri, dipikiranya hanya ingin kerja lalu sukses seperti kakak kakaknya. walaupun dituntut hidup dari awal ardila tak merasa keberatan, modalnya hanya pas pasan hanya sedikit usaha menabung selama dia lulus empat tahun yang lalu.
entahlah...., kini dia hanya seorang gadis tua yang terjerat belenggu izin ibunya.
ardila tak pernah menyerah setiap hari ada saja cara dirinya mencuri waktu dan kembali meminta izin, dia tak menyerah walaupun pada akhirnya jawaban marlena ibunya sendiri tetap sama dan memicu perdebatan perdebatan yang hanya membuat sakit hatinya kian hari kian menggunung.
------------------------------------------------------------------------
malam hari tiba, ardila masih mengunci pintu kamarnya. setelah puas menumpahkan air mata gadis itu tertidur pulas dan terjaga saat jam makan malam, suasana sunyi dikamar itu, lampu kamar juga belum dinyalakan olehnya. sepi sekali hanya terdengar suara perut kroncongan ardila yang beberapa kali berbunyi. ardila menganjakkan kakinya dan melangkah keluar kamar, keadaan masih tetap sunyi didapatinya meja makan yang kosong melompong jelas ardila bingung kenapa tak ada sisa nasi atau lauk di meja makan. "oh ya pasti ini trik hukuman ibu" gumamnya dan berlalu begitu saja.
saat akan melewati ruang tengah, dirinya melihat sosok pria dengan tubuh tinggi besar sedang tertidur di sofa ruang tengah dan terlihat remot tv di genggamannya, kruuuk lagi lagi perutnya bersuara membuat ardila secepat kilat menuju kulkas yang berada di ruangan belakang rumah mereka.
"mentah, mentah, ini juga mentah lagi lagi mentah" umpatnya
"binggo" teriaknya saat melihat ada kotak biskuit bayi milik keponakannya yang tak sengaja tertinggal minggu lalu, dengan lahap seperti orang yang sudah dua bulan tak makan, ardila menghabiskan satu persatu biskuit itu, saat perutnya sudah lumayan kenyang sesekali ardila tertawa menatap lekat apa yang saat ini sedang dimakannya.
"dek lagi ngapain kamu malam malam" suara dari arah belakang
"oh eh bang" katanya terbata, sadar kakak iparnya telah berada dibelakang dengan posisi setengah membungkuk dan menyelidiki apa yang tengah ardila lakukan
"oh jadi yang di sofa tadi bang vian toh" katanya
"kamu lagi ngapain sih dil" tanya sovian lagi
"aku kelaperan bang, baru bangun ini" helanya, dengan tingkah cengengesan yang menggemaskan khas ardila maharani putri bungsu anggota keluarga rumah itu.
"abang udah denger tadi ibu cerita, jangan gitu lagi ya dek. ibu itu cuma enggak mau kamu ambil jalan yang salah dek" kata sovian dan sesekali membelai kepala ardila yang tertutup ciput hijab miliknya.
"tapi bang dila kan udah dewasa, udah tua nih bang, ardila udah umur 21 minggu lalu. cuma mau cari pengalaman biar mandiri terus supaya bisa mengenal arti hidup yang sesunghuhnya kok, untung untung bisa ngumpulin bahan cerita untuk anak cucu kelak bang" kilahnya
"ngumpulin cerita, sok mau mandiri, kamu tu beres beres rumah aja kadang suka enggak becus dil"
ardila dan sovian dikejutkan dengan kehadiran naura, kakak sulung ardila yang memang sedari tadi menguping pembicaraan mereka.
"kakak sih, sama aja kayak ibu. suka enggak percayaan sama aku"
"bukannya enggak percaya loh tapi kenyataannya, realitanya, dan kejadiannya memang seperti itu" cibir naura terus mengsekak talak setiap perkataan ardila.
"tapi aku kan juga mau kayak kakak"
"emang kakak kayak mana dilll, perasaan normal normal aja tuh" kata naura spontan
"justru itu kak aku juga mau kayak kakak, hidup normal bisa kejar mimpi dengan hasil sukses, lihat sekarang mimpi kakak udah tercapaikan, jadi penulis terkenal dan kerja juga enggak perlu repot. kakak juga menikah dengan cowok pilihan kakak, dan hidup bahagiakan sekarang"
"mungkin itu bonus dari tuhan, karna aku enggak neko neko. aku fokus kejar mimpi ku, dan selalu berada dirumah adalah trik hidup aman dalam prinsipku dil"
"ya kan penulis emang bisa kerja dirumah kak, tapi cita cita ku beda. hehh, emang susah kalau jadi orang yang bukan apa apa ini" kata dila berhambur pergi meninggalkan kekesalanya
sementara didapur sovian masih duduk bersama naura dengan secangkir kopi hangan yang dibuat naura untuk dirinya tadi
"lain kali kalau bicara harus sedikit lebih lembut ya"
"perasaan itu udah paling lembut ay" kata naura
"iya deh perasaan kamu emang paling benar" pujinya dan membelai pundak istri tercintanya itu.
dikamarnya ardila duduk termenung menatap langit malam yang semakin larut dengan berlalunya waktu. matanya membulat seakan mengingat sesuatu, tingkahnya sedikit clingak clinguk mencari sesuatu itu. "ini dia" digenggamanya sudah terdapan hp miliknya yang tak sengaja terbanting, saat pertengkaran kecil dengan ibunya sore tadi. ardila spontan memeriksa apakah hp itu masih berfungsi dengan baik, dan ekspresi lega ditunjukanya seakan menyiratkan kalau hpnya benar baik baik saja.
ada tujuh pesan singkat dari hp yang belum sempat dibacanya, dan itu dari bayu sahabat karib ardila yang kini bertempat tinggal di jogja.
"dil gimana mau join kerja bareng aku enggak" tulis bayu.
wajah ardila berubah cemas dan semakin kusut sekali, banyak sekali pilihan dikepalanya saat ini. bingung apa yang harus dilakukannya, apa dia harus mengikuti saran naura, dan cukup jadi gadis manis yang tunduk di rumahnya.
entahlah, pikirannya menerawang jauh dan tampa sadar terlelap begitu saja dengan posisi yang masih berbaring pada sofa kecil dikamarnya.