dila duduk pada sofa kecil yang ada di kosanya. matanya memandangi hp di tangan kirinya, tadi dila mengirim pesan singkat pada naura sekedar menanyakan kabar dari keluarga di jambi.
satu pesan muncul dilayar hp dila dan itu dari naura.
"kamu enggak perlu khawatir semua disini baik baik aja, aku sama bang sovian juga sudah pindah ke rumah ibu" tulis naura pada pesanya
"maafin aku ya kak" balas dila
"ah tak apa, seharusnya aku yang minta maaf. coba saja dari awal kami lebih ngerti keinginan kamu dil" tulis naura cepat
"ibu pastinya masih kecewa sama aku kan kak"
"lumayan, tapi kamu kan tau ibu dil. lama kelamaan juga luluh kok"
"aku janji kalau uang ku sudah cukup, langsung pulang kejambi. dan kak bilang sama ibu aku mintak maaf"
"iya beres" balas naura singkat, padahal jangankan untuk sampaikan maaf dari dila. menyebut nama adiknya itu saja naura tak berani bila berhadapan dengan ibunya.
dila kembali berdiam diri, perasaannya jauh lebih tenang walaupun tak bisa dila pungkiri bahwa sebagian pesan naura tersirat kebohongan.
dila tahu betul bagaimana sifat asli ibunya jika marah.
dulu waktu ayahnya masih hidup dila selalu selamat dari amarah ibunya, ayah yang selalu bujuk ibu dila agar lebih sabar menghadapi kelakuan anak anak mereka. dan setelah ayahnya meninggal hari itu menjadi pukulan keras untuk diri dila. hingga saat ini rasa perih dan sakit kehilangan ayah yang sangat dicintainya masih membekas di benak dila.
"ayah" ucapnya lirih
tok tok tok
diri luar pintu kosan terdengar suara ketukan pintu, dila berjalan sambil membetulkan hijabnya. matanya sempat melihat keluar jendela, dila mendapati ada motor yang terparkir didepan kosannya dan yang jelas itu motor kadek.
"mau apa dia" gumam dila dalam hatinya, tapi tiba tiba saja dia teringat kalau kadek harus menjemput ameera setiap siang hari dan kali ini alasannya pasti juga sama, karna tak ingin nunggu panas panasan di sekolah.
"dasar, dia pikir rumahku ruang tunggu apa" dengus dila, lalu membukakan pintu kosannya.
"lama sekali, buka pintu enggak perlu dandan kan" kata kadek, masuk kedalam kosan dila begitu saja.
"kamu lagi apa dil"
"enggak ngapa ngapain"
"oh"
dila pergi menuju dapur dan membuatkan satu cangkir kopi yang memang rutin diberikanya saat kadek datang berkunjung, walau nyatanya dila sendiri tak terlalu suka kopi.
"kopi" dila datang dengan secangkir kopi, dan kembali duduk di sebelah kadek.
cowok itu membuka leptopnya, matanya fokus membaca fail dan melihat gambar gambar seperti struktur ruangan atau apalah namanya itu, dila sendiri tak begitu paham tentang apa yang tengah kadek kerjakan.
"besok ada acara" kata kadek tiba tiba saja
"enggak tuh, kenapa"
"mau jalan?" kadek menutup leptopnya dan melihat dila dengan lekat.
"kemana" tanya dila, dia memalingkan wajahnya yang saat ini sudah blusing seperti udang rebus karna tatapan kadek.
"kemana aja kamu mau"
"asalkan jangan nonton lagi, aku bosan" ucap kadek, padahal waktu terakhir kali mereka nonton itu sepenuhnya ide kadek sendiri.
"kulineran gimana" jawab dila cepat.
itu ide yang bagus, melihat jam kerja dila yang minggu ini harus masuk malam, jadi waktu siang hari dia bebas jalan jalan. dila akui sudah beberapa bulan tinggal di jogja dia sendiri belum sempat untuk mengenal seluk beluk jogja, apa lagi kuliner kulinernya yang enak dan rata rata murah.
"ok" ucap kadek, dan bersender pada pundak dila. lagi lagi membuat dila malu dan salah tingkah. "dil pegang ini deh" kadek menarik jari jari dila dan meletakkan pada kepalanya. dila terkejut saat bersentuhan langsung dengan rambut kadek, yang hitam dan lembut itu.
"ke...kenapa" kata dila gugup dengan tingkah kadek.
"coba di tekan tekan, seperti ini" kadek menyentuh jemari dila dan menekan kepada kepalanya, dila mengikuti apa yang kadek minta dan masih menekan kepala kadek. tak lama kadek melepas jemarinya dan membiarkan dila menekan sendiri tanpa arahan darinya.
dila tersenyum, sadar kalau kadek tengah mengelabuhi dirinya.
"itu sih namanya mintak di pijet dek" cibir dila dan sedikit menambah volume tekanannya.
"yah enak, gitu dong dil"
"cape bener ya"
"bukan cape, tapi pusing" kata kadek dan semakin merebahkan tubuhnya pada dila.
lama mereka terdiam saling bungkam satu sama lain, dila fokus pada jari jarinya walau kini dia yang malah jadi pegal sendiri.
"udah" kadek menarik kedua tangan dila dan kini melingkarkan pada lehernya, dila hanya diam seakan canggung. tapi jujur sangat suka bila kadek bersikap manis kepadanya.
"em aku boleh tanya" ucap dila, kini menekan dagunya pada pundak kadek.
"hem apa" tanya kadek penasaran
"kamu, udah berapa lama pacaran sama ameera" bisiknya pada kadek dan memberanikan diri untuk rasa ingin tahunya
"5" jawab kadek singkat
"bulan" timpal dila masih penasaran
"tahun" ucap kadek dan mendongakkan wajahnya menatap wajah dila yang sedikit terkejut. "kenapa" bisiknya
dila tersadar posisinya dan kadek saat ini sangat dekat, kalau dia bergerak sedikit lagi mungkin wajah mereka sudah beradu. dila merenggangkan tangannya dan mengambil gelas kopi kosong kadek, berjalan pergi menuju arah tempat cucian piring.
kadek tersenyum melihat tingkah canggung dila, dirinya sadar seharusnya tak boleh ada rasa seperti ini pada dila. apa lagi.... dia sendiri yang meminta dila untuk jadi sahabatnya.
"dil bentar lagi udah jam 12 nih, aku jalan ya" ucap kadek beranjak dari tempat duduknya.
"mau jemput cinderella" kata dila mencoba mencairkan suasana.
mereka tertawa, dila mengiringi kepergian kadek dengan senyum terpaksa pada wajahnya.