Allyna kini harus menerima kenyataan yang ada. Dia tidak bisa mengelak lagi dari perjodohannya dengan laki-laki bernama Jhino itu. Tantangan dan konsekuensi dari apa yang dia janjikan pun harus dihadapinya. Hari demi hari akhirnya dijalani oleh Allyna. Dia pun harus mulai memantapkan diri untuk menerima kenyataan kalau sebentar lagi dia akan menikah dan menjadi seorang istri.
Sementara itu, Jhino hari ini memberikan surat pengunduran dirinya kepada kepala Divisi Marketing. Banyak dari teman-teman di kantornya yang berspekulasi bahwa Jhino tidak terima kalau akhirnya dia gagal untuk menjadi manajer. Banyak sekali perkataan buruk tentangnya. Tapi, Jhino tidak ambil pusing dan segera kembali ke meja kerjanya untuk mengemasi barang-barangnya.
"Lo yakin mau keluar? Katanya lo nggak akan menyerah untuk mendapatkan posisi itu?" tanya Daniel yang sangat terkejut dengan pengunduran diri sahabatnya itu.
"Sorry, gue nggak ngomongin ini sama lo sebelumnya, tapi ini mendadak," jawab Jhino sambil mengemasi barang-barangnya.
"Kalau gitu setelah ini lo harus ikut gue. Kita bahas ini saat jam makan siang," ajak Daniel yang sungguh ingin tahu kenapa rekan kerjanya yang menurut Daniel sangat teladan ini.
"Gue nggak bisa, Dan. Sorry banget. Mungkin lain kali gue akan menjelaskan apa yang sedang terjadi. Siang ini gue udah janjian sama seseorang untuk ke toko perhiasan," kata Jhino menolak ajakan Daniel.
Daniel terdiam sesaat setelah mendengarkan jawaban dari Jhino. Toko perhiasan? Janji dengan seseorang? Daniel berusaha mencerna semuanya.
"Lo mau nikah?" tanya Daniel sangat kaget.
Jhino tahu pelan-pelan apa yang sedang dia lakukan ini akan ketahuan. Daniel sudah menjadi rekan kerja sekaligus sahabat yang baik. Jhino merasa tidak adil kalau harus memendam informasi ini sendirian.
Jhino mengangguk. Dia kemudian melanjutkan kegiatannya kembali.
Daniel sangat kaget sampai melongo. Beberapa saat kemudian dia menghentikan kegiatan Jhino. Jhino pun otomatis menoleh. "Lo nggak ngehamilin anak orang kan, bro?"
Jhino melihat sekitarnya, untung saja tidak ada yang mendengar apa yang dikatakan oleh Daniel. Dia pun segera duduk lalu melihat ke arah Daniel. "Gue nggak mungkin melakukan hal itu. Gue dijodohin."
"Dijodohin? Sama siapa?" tanya Daniel bingung sekaligus penasaran.
"Sama anak dari temannya orang tua gue. Gue nggak bisa menjelaskan secara rinci untuk saat ini. Tapi, suatu hari nanti gue akan jelasin semuanya," jawab Jhino.
"Baiklah. Gue tunggu penjelasannya. Tapi… kenapa lo harus keluar dari sini segala?" tanya Daniel yang bingung. Di dalam pikirannya, seharusnya Jhino mempertahankan pekerjaannya karena dia akan menjadi calon suami. Kalau dia tidak kerja, bagaimana nasib istrinya nanti?
"Intinya, gue akan pindah kerja ke tempat lain. Gue juga akan pindah dari Jakarta," jawab Jhino. Dia menemukan penjepit kertas miliknya yang ternyata ada di meja Daniel. Dia pun mengambilnya dan memasukkannya ke dalam kardus.
"Ha? Pindah? Terus apartemen lo di Jakarta gimana? Itu kan lo beli pakai uang tabungan lo," tanya Daniel lagi.
Dia terus menerus memberikan pertanyaan kepada Jhino. Tapi Jhino harap maklum. Karena ini sangat mendadak dan Daniel juga adalah teman baiknya sejak kuliah dulu. Dia sudah tahu seluk beluk kehidupan Jhino walaupun dia tidak tahu betul bagaimana kehidupan Jhino yang sebenarnya.
"Gue akan menjualnya. Kemarin gue udah nemu pembeli yang udah menawar dengan harga yang bagus. Lalu… gue akan beli apartemen baru di Bogor," kata Jhino kemudian menyelesaikan kegiatannya untuk beres-beres.
"Kenapa sih lo nggak minta orang tua lo aja? Bukannya orang tua lo kaya ya? Tapi gue masih penasaran sih sama orang tua lo, mereka kerja apa sih?" tanya Daniel lagi.
Jhino melihat Daniel lagi. "Gue nggak mau membebani orang tua gue lagi, Dan. Gue udah cukup umur untuk mencukupi semua kebutuhan gue sendiri. Kalaupun orang tua gue kaya, itu kekayaan mereka. Gue tetap harus bisa mandiri," jelas Jhino.
Daniel benar-benar kagum dengan semangat Jhino untuk hidup mandiri. Dia pun akhirnya tidak bertanya lebih lanjut tentang orang tua Jhino. Daniel tahu Jhino tidak nyaman membahas itu semua. Sejak dulu, Jhino selalu bekerja keras. Dia selalu mengatakan hal yang sama, kekayaan orang tuanya adalah milik orang tuanya. Jhino memang berhak menikmatinya, tapi ada batas sampai dimana dia harus hidup mandiri.
"Ya udah, kapan-kapan ketemu lagi. Gue bakalan sibuk untuk beberapa minggu ke depan. Lalu… gue akan mengirimkan undangan ke lo. Gue harap lo diam-diam aja soal pernikahan gue sebelum gue resmi mengumumkannya," kata Jhino berpesan pada Daniel.
"Oke, sob. Siap. Jujur aja, gue sedih lo pergi. Tapi… kalau ini yang terbaik buat lo, gue akan dukung," kata Daniel.
"Thanks. Gue duluan," kata Jhino kemudian pergi meninggalkan meja kerjanya. Dalam hati dai mengucapkan selamat tinggal pada ruangan yang selama ini sudah mengisi hari-harinya.
***
Sudah setengah jam Allyna menunggu Jhino di depan toko perhiasan yang mewah. Untung saja di sini ada mini cafe yang bisa digunakan oleh para pengunjung toko perhiasan ini untuk menunggu di kala toko sedang penuh. Allyna kesal karena dia cukup lelah. Perjalanan dari Bogor ke Jakarta yang cukup jauh membuat energinya sedikit terkuras.
"Allyna, maaf aku terlambat," kata seseorang saat dia sudah cukup dekat dengan Allyna.
Allyna mendongakkan kepalanya dari hpnya dan melihat Jhino yang tampak sedikit pucat berdiri di hadapannya. Dalam hati, Allyna bertanya-tanya apa yang sedang dialami oleh Jhino. Tapi mendadak dia membuyarkan rasa ingin tahunya itu karena dia merasa itu tidak penting.
"Ya, gapapa. Ayo buruan. Aku mau cepat pulang," kata Allyna kemudianj bangkit dari kursinya. Dia berjalan duluan kemudian Jhino mengikutinya.
Begitu masuk ke dalam toko perhiasan tersebut, Allyna dan Jhino disambut oleh para pegawai disana. Mereka juga menanyakan banyak hal kepada Allyna dan Jhino terkait perhiasan apa yang mereka butuhkan. Setelah memberi tahu bahwa mereka sedang mencari cincin untuk bertunangan, para pegawai pun segera mengarahkan keduanya untuk pergi ke area cincin couple.
"Tolong beri saya cincin couple yang paling mahal," kata Allyna.
Sebenarnya, dia ingin balas dendam kepada Jhino yang datang terlambat. Dia ingin tahu seberapa kaya keluarga Jhino.
"Ini yang paling mahal. Dan tentu ini yang paling bagus," kata salah satu pegawai disana.
"Ya udah, saya ambil yang ini saja," kata Allyna tanpa berpikir panjang.
Jhino dapat merasakan bahwa Allyna sedang mengujinya. Entah kenapa rasanya setiap bertemu dengan Allyna, Jhino seperti sedang ujian. Ya, ujian kehidupan. Tapi Jhino sudah berjanji kalau dia akan sabar.
"Tolong berikan yang itu. Saya akan membayarnya," kata Jhino kemudian tersenyum.
"Baik. Wah, anda beruntung sekali punya calon suami yang baik dan kaya seperti ini," kata pegawai tersebut kepada Allyna.
Allyna diam saja. Beruntung apanya? batin Allyna.
Jhino pun segera pergi ke kasir untuk membayar cincin yang sudah dipilih oleh Allyna itu. Setelah itu dia mengantar Allyna untuk pulang. Mereka tidak banyak berbicara. Tapi Jhino tahu kalau Allyna sedang penasaran seberapa mampu Jhino untuk mencukupi kebutuhan Allyna. Untung saja saat itu Jhino baru saja mendapatkan uang dari penjualan apartemennya. Sekarang, Jhino hanya bisa bekerja keras untuk membeli apartemen baru walaupun hanya dengan sisa tabungannya.