Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 14 - Permintaan sederhana.

Chapter 14 - Permintaan sederhana.

Pintu depan terbuka, gadis itu keluar membawa tempat sampah yang terisi penuh, suara petikan gitar lebih terdengar jelas saat Rere melihat langsung teman Alam sibuk memainkannya di depan kost bujangan itu, tentu saja bersama suara yang sungguh aduhai membuat telinga terasa panas. Fikri hanya diam memperhatikan saat Alam beranjak mengekor di belakang Rere yang kini melangkah menuju pintu masuk kost, ada tempat sampah besar yang terbuat dari gorong-gorong separuh layaknya sebuah sumur, biasanya petugas pembersih sampah baru datang tiga hari sekali untuk mengangkutnya.

Rere membuang sampahnya di sana, tepat ketika ia menoleh terperanjat kaget dapati Alam berada di belakangnya seraya sesap sebatang rokok, laki-laki itu kenakan sarung serta kaus abu-abu. Alam asli keturunan Jawa, dari Tegal lebih tepatnya, sekitar lima tahun ia merantau di Jakarta dan baru janji pulang jika sudah membangun rumah untuk orangtuanya. Jadi, mencari kekasih bukan prioritas utama Alam meskipun bisa dibilang kalau wajah laki-laki itu cukup rupawan, manis serta sopan. Kesan pertama yang Renita dapatkan dari alam adalah sikap ramah serta open minded, bahkan seringnya Rere meminta bantuan sekadar mengganti lampu tempat kost-nya.

Alam amati Rere dari ujung kaki hingga kepala, seperti aneh melihat gadis itu, Rere sendiri tampak kebingungan saat menerka-nerka isi pikiran Alam saat ini. Memangnya apa yang salah? Apa pakaian Rere tak sopan? Ia bahkan kenakan piyama berlengan panjang.

Rere ingat jika Alam pernah melakukan hal yang sama saat pertama kali ia datang ke kost itu, membawa sebuah ransel besar serta waist bag dengan ekspresi pucat nan mata sembap. Siapa yang tak bertanya-tanya jika melihat gadis dengan ekspresi seperti habis menangis cukup lama? Percakapan pertama mereka baru berlangsung setelah Ainun—ibu kost—pergi meninggalkan tempat itu, mengizinkan Rere tinggal di sana tanpa meminta uang muka sama sekali setelah mendengar kisah yang dibagikannya, hari itu juga Alam tahu kalau Rere kabur dari rumah.

"Ada apa, Bang?" tanya Rere saat bola mata Alam tiada henti mengamati.

Kini manik Alam beralih pada netra Renita. "Cowok yang tadi datang ke kost itu pacar elo?"

"Pacar?" Rere mengernyit.

"Iya, pacar." Alam buang puntung rokoknya ke tempat sampah, ia bersidekap seraya sandarkan lengan kanan pada tembok di sebelahnya. "Masa sama pacar sendiri udah lupa."

"Tapi, Bang. Aku sama dia nggak pacaran."

"Lah, masa? Masa iya dia tukang bohong."

"Terus Bang Alam juga percaya kalau Rere bohong?"

Alam menatap lekat manik mata Rere, ia yakin tak ada keraguan terselip di sana sampai helaan napas panjang berhasil ditariknya. Alam menggaruk pelipis kiri menggunakan telunjuk, ia tengah bingung kali ini.

"Serius bukan pacar elo?" Sekali lagi, Alam mengulangnya.

"Ya emang bukan, apa Rere pernah sih bilang kalau dia pacarnya aku?" Renita tunjuk dada sendiri. "Bang Alam kata siapa?"

"Ya, dialah." Alam memutar bola matanya, teringat perkataan Jordan sebelum laki-laki itu tinggalkan area kost membuat Alam kembali kesal, apalagi sekarang sudah mengklarifikasnya langsung dengan salah satu pemeran utama. Jika ia harus mempercayai malaikat atau iblis, tentu saja Alam percaya pada malaikat, apalagi bentuknya seperti Rere.

"Jordan ngomong kayak gitu? Serius?"

Alam mengibas tangan. "Ah udahlah, lupain. Gue aja kali yang salah dengar. Jangan lama-lama di luar, banyak setan gentayangan, apalagi yang bentuknya udah manusia," tutur Alam sebelum melengos tinggalkan Rere yang kini dibuat kebingungan, padahal Rere juga butuh penjelasan.

***

Lampu di rumah besar itu terlihat masih berpendar meski jarum jam sudah hampiri pukul sebelas malam, pembantu sudah terlelap bersama bunga tidurnya, sedangkan sang majikan serta anaknya masih berjaga dengan urusan masing-masing. Januar berada di ruang kerja, lembur tugas kantornya sendiri, sedangkan Jordan masih duduk di ranjang seraya memangku laptop. Sejak tragedi malam itu, Jordan tak pernah lagi pulang larut malam akhir-akhir ini, di atas jam sembilan pasti ia sudah berada di rumah meski setelahnya mengunci pintu kamar tanpa ingin diganggu siapa-siapa ala seorang introvert, padahal fake boy.

Jika dulu ia baru tidur larut malam bahkan pagi buta, semua karena berkumpul dengan teman-temannya, tapi sekarang alasan itu seolah hilang ditelan bumi, Jordan hanya bertemu teman-temannya jika ia memang butuh bantuan, seperti saat datang ke kost Rere tanpa kendaraan, maka pulang diantar salah satu temannya. Banyak dari mereka mengharapkan Jordan kembali ke Dojo Scorpio, bergabung seperti dulu dan memulai pertarungan baru, tapi alasan paling krusial yang Jordan beri jelas membungkam mulut teman-temannya, ia masih perlu banyak waktu agar tubuh terluka itu benar-benar pulih dan bisa membalaskan dendam pada orang-orang yang berniat membunuhnya malam itu. Sebab dendam Jordan abadi, tanpa pandang bulu.

Kini alasannya tidur sampai larut malam hanyalah sebuah game pada laptop, hiburan sederhana yang tak bisa ia singkirkan saat bola matanya benar-benar menolak terpejam, tapi secangkir kopi juga bukan pilihan. Maka ia hanya akan menatap layar laptop sampai tertidur tanpa sadar, membiarkan laptopnya tetap menyala sampai besok pagi.

Ketukan pintu terdengar pelan, Jordan mendengar tanpa ingin beranjak membukanya, ia tahu betul siapa yang larut malam sampai mengetuk pintu kamarnya. Ini bukan soal hantu, tapi pria yang berdiri di balik pintu bersama wajah lelahnya.

"Jordan, ayah tahu kamu belum tidur, coba buka pintunya, kita bicara baik-baik."

Ekor mata Jordan melirik pintu, tapi tubuhnya masih enggan beranjak. Ia tetap lanjutkan urusan game tanpa ingin peduli pada sosok yang terus berbicara di luar sana.

"Jordan, ini soal hubungan kita, Nak. Bisa kamu keluar sebentar?"

"Hubungan?" Jordan bergumam, ia tutup laptop, menyingkirkannya pada laci di sebelah ranjang sebelum beranjak hampiri pintu kamar. Ia putar kunci hingga pintu terbuka dan perlihatkan wajah lelah Januar. "To the point aja." Ia sama sekali tak ingin basa-basi.

"Tanggal pernikahan ayah sama Sarah dimajukan."

Satu alis Jordan terangkat. "Terus? Apa urusannya sama aku."

"Ayah pikir kamu ada permintaan sederhana sebelum hari itu berlangsung, sekalipun kamu menolak ayah bakal tetap nikahin Sarah, itu udah keputusan mutlak."

Jordan tersenyum miring. "Ambil semua yang Ayah mau, Jordan bisa dapatkan sejuta perempuan yang lebih baik dari Sarah, yang nggak jadi pelakor buat keluarga pacarnya sendiri."

"Jordan—" Mata Januar berkilat tampilkan amarah mendengar ejekan Jordan tadi.

"Ups, sorry." Jordan ingin sekali tertawa lebar sekarang, tapi ia yakin takkan lucu. "Kalau Ayah mau nikah sama dia, toh bukan urusan Jordan lagi setelahnya. Jordan mau pindah ke apartemen, aku nggak bisa satu rumah sama kalian yang bikin beban pikiran buat hidupku ke depannya, mending aku menyingkir terus senang sendirian. Kalau Ayah nggak bisa kabulkan itu, jangan harap hari pernikahan Ayah sama Sarah bisa lancar, bencana bisa datang kapan aja, selamat malam." Jordan menutup percakapan mereka sebelum sang ayah berkomentar lebih jauh lagi, ia langsung tutup pintu dan menguncinya tanpa ingin memedulikan sang ayah yang kembali sebut namanya, mengetuk pintu meski Jordan sudah menyerah dengan obrolan mereka.

Laki-laki itu hampiri ranjang, membuka laci sebelum raih earphone dan memasangnya, persetan dengan gedoran pintu yang masih terdengar, persetan dengan omong kosong yang sama sekali tak ingin membuatnya berubah pikiran, sungguh Jordan sudah lelah menghadapi hidupnya yang hancur sejak lama, yang masih bertahan saat mereka sibuk menusuk berkali-kali lewat punggungnya. Apa tidak tahu seperti apa sakitnya ditusuk dari belakang?

Padahal Jordan mencintai Sarah apa adanya, Sarah hanyalah wanita biasa yang miliki ibu sakit-sakitan, sang ayah pecandu narkoba dan kini mendekam di balik jeruji penjara seumur hidup, Sarah juga tak miliki saudara kandung, sekalipun ia meminta bantuan pada saudara dari orangtuanya pun mereka akan lelah untuk ikut mengurusi kondisi Beti—ibu Sarah—yang sakit komplikasi setahun belakangan. Sarah-lah tulang punggung keluarga, ia tak sengaja bertemu Jordan di area fighter ketika wanita itu dibayar seseorang untuk menemani lawan Jordan berlaku di atas ring.

Love at the first sight terjadi, Jordan menyukai wajah polos Sarah yang terlalu membius hari itu. Ia mencari tahu segalanya lewat banyak teman sampai Jordan bisa menemukan Sarah lagi, mereka memulai kisah baru saat Jordan bisa menjamin hidup Sarah akan baik-baik saja tanpa gangguan debt collector yang setiap hari datang menagih hutang-hutang sang ayah, lebih dari itu Sarah bisa masuk dalam kehidupan Jordan yang bergelimang harta. Sayangnya, cinta dibutakan harta, Sarah berkhianat dengan dalih ingin menyembuhkan sakit ibunya, ia mendekati anak sekaligus ayahnya dalam satu waktu, Jordan putuskan mundur untuk selamanya.

Jadi, saat hal tulus yang bisa ia beri pada orang lain tanpa memandang status sosialnya justru dimanfaatkan, maka hanya dendam yang menjalar, dan Jordan membenci semua pengkhianat di muka bumi.

***

Rere tampak terburu-buru mengikat tali converse merahnya, ia beranjak sebelum kunci pintu dari luar, menyimpannya ke dalam ransel seraya bergerak cepat tinggalkan area kost. Ia tidur terlalu menikmati bunga tidurnya sampai tak memedulikan alarm yang terus berteriak nyaring sepanjang waktu, jadi bangun kesiangan adalah alasan paling klasik hari ini.

Kaki jenjangnya terus menapak trotoar, melewati jalanan yang telah dipadati lalu-lalang kendaraan dari dua arah, gadis itu sesekali melirik arloji seraya perhatikan keadaan sekitar. Ia dapati BRT yang kini didatanginya tampak sepi pengunjung, ia sadar kalau busway telah berangkat sepuluh menit lalu, dan gadis itu hanya bisa mendesah pasrah tanggapi keadaan yang tak berpihak padanya.

"Ini kalau telat gimana coba," gerutu gadis itu, ia melongok keluar area BRT, busway berikutnya sama sekali belum terlihat. "Aku nggak mau kena omel Mbak Arista, apalagi Pak Tomi. Gimana coba sekarang." Ia gigit kuku telunjuknya seraya mondar-mandir biarkan petugas BRT memperhatikannya.

"Makanya, kalau ada orang jemput di rumah itu jangan dilewatin aja. Ujung-ujungnya gini, kan?" Suara familier seseorang yang kini berdiri di belakang Rere membuat gadis itu lantas menoleh, terkejut dengan kehadiran sosok yang tersenyum penuh arti padanya.