Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 15 - Jangan jadi pengkhianat.

Chapter 15 - Jangan jadi pengkhianat.

"Nggak perlu lagi kayak gitu!" Rere loloskan helmnya dengan kesal sebelum menekan benda itu di dada Barra. "Aku nggak perlu diantar jemput, bukan anak TK lagi, paham?"

"Ya kenapa, kan gue pacar elo." Barra begitu percaya diri, ia letakan helm Rere di spion kanan motornya seraya tersenyum jahil.

"Pacar? Kita nggak pernah ya jadian, terus ini cuma bohongan. Titik!" Gadis itu hendak pergi, tapi Barra menahan lengannya. "Apa lagi? Aku udah telat, aku nggak mau kena omel Mbak Arista."

"Dia nggak akan marahin pacar gue kok, tenang aja."

"Apa sih!" Rere menepis kasar tangan laki-laki itu, tapi senyum jahilnya masih saja menempel dan terlalu menjengkelkan jika Rere harus menatapnya lebih lama. "Kita nggak pacaran, cukup di depan teman-teman kerjaku aja, dan kamu bisa anggap itu dunia halu kamu. Sekarang nggak ada orang, jadi ini dunia nyata. Batas kita segini nih aslinya." Rere mundur beberapa langkah, membiarkan Barra yang bertengger di motornya menatap dengan kening berkerut, jarak semakin panjang sekitar dua meter. "Jarak kita segini aslinya!" seru Rere sebelum melengos pergi seraya julurkan lidah, tapi tahukah ia jika hal sederhana itu berhasil membuat relung Barra tiba-tiba menghangat, nyaman dan damai, ia takkan lagi mengelak gelenyar aneh yang telah merasukinya sejak pertama kali bertemu Rere malam itu.

"Dasar perempuan, judesnya terlalu lucu buat dilupain," gumam Barra masih setia menatap kepergian Rere, ia diminta mengantarnya tak sampai pelataran swalayan, tapi perempatan jalan sekitar sepuluh meter sebelum sampai tempat kerja Rere. Gadis itu hanya tak ingin menjadi bahan gosip lagi, ditanyai macam-macam lagi serta berbohong lagi, untuk apa memupuk dosa hanya karena laki-laki yang sama sekali tak ingin dikenalnya.

Barra memutar kunci motornya, hidupkan gas sebelum melaju tinggalkan area itu, tiba-tiba saja sengaja bangun pagi meski bukan alasan Arista minta diantar kerja, tapi alam bawah sadarnya mendesak agar jiwa yang masih diselimuti roh itu beranjak, kata orang-orang zaman dulu kalau bangun terlalu siang maka rezeki dipatok ayam. Barra percaya, ia paksa bangun pagi dan berhasil temukan rezeki nomplok di pagi hari.

***

Suara keramaian aktivitas manusia di lantai bawah membuat sosok yang sejak pagi enggan keluar dari kamar akhirnya terpaksa beranjak, ia rasa bising sudah mengganggu kehidupannya kali ini, padahal Jordan asyik dengan game pada laptop di pangkuannya, tapi kini terpaksa ia tinggalkan saat kaki-kaki itu bergerak hampiri pintu kamar, tangannya terulur membuka kenop sebelum derit pintu terdengar. Langkah berlanjut hampiri anak tangga, tapi baru menapak beberapa pijakan rupanya Jordan terhenti saat seluruh aktivitas manusia di lantai dasar bisa terlihat dari posisinya berdiri sekarang.

Tangan kanan laki-laki itu meremas railing besi bercat emas di sebelahnya, tatapan dingin ia perlihatkan pada mereka yang tak sengaja menatap ke arah tangga, bahkan ketika salah satu karyawati WO yang bertugas menyusun bunga mawar di sudut tangga paling bawah tersenyum padanya—sama sekali tak ada balasan dari Jordan, gadis itu langsung kicep menunduk lanjutkan pekerjaannya.

"Ini rumah apa taman bunga," gumam Jordan sebelum lanjutkan langkah menuruni anak tangga, ketika tubuh laki-laki itu berada tepat di samping gadis penata bunga yang tersenyum padanya tadi, si gadis memberanikan diri meliriknya sekali lagi, untung Jordan sama sekali tak menoleh dan memberi tatapan mengerikan, suasana hatinya langsung diselimuti kabut hitam tanggapi aktivitas orang-orang di rumahnya.

Beberapa orang dengan seragam yang sama tampak mendekor bunga di sudut-sudut rumahnya, terlalu banyak mawar putih hingga aroma yang khas tercium cukup kuat. Jordan melangkah memperhatikan sekitar sebelum ia raih setangkai mawar putih dari sebuah kranjang kayu yang terletak di permukaan nakas ruang tamu, gadis yang sibuk menata bunga di sudut ruang tamu hanya diam saat Jordan meraih miliknya tanpa izin.

"Eh, ini kenapa orang-orang kayak lo ada di sini," ucap Jordan seraya memutar tangkai mawar tadi menggunakan dua jemarinya.

"Mbak Intan—owner Wedding Organizer kami yang minta datang ke rumah Pak Januar hari ini, Mas. Lusa Pak Januar mau menikah sama Mbak Sarah, kami cuma mengerjakan setiap hal yang diperintahkan, maaf kalau mengganggu," jelas gadis yang tampak bingung bersikap di depan Jordan, sekalipun wajah tampan itu cukup menggoda, tapi perangai Jordan terlalu mengerikan—terlebih saat ia tiba-tiba meremas tangkai mawar dan biarkan duri-duri itu menancap di telapak tangannya hingga darah mulai mengalir jatuh di keramik putih ruang tamu.

"Nikah? Lusa?" Jordan makin meremas kuat tangkai tadi, persetan dengan rasa sakit yang kini menjalar, ia cukup sanggup meluapkannya meski harus berdarah-darah.

"Iy-iya, Mas." Gadis itu menunduk dalam-dalam saat kengerian menghampiri usai perhatikan darah yang terus menetes di lantai.

"Bajingan sama pelacur itu beneran nikah." Jordan melempar tangkai mawarnya ke lantai, membiarkan sisa-sisa darahnya menempel di sana. Ia menunduk tatap telapak tangan kanan yang kini dipenuhi noda merah sebelum terkekeh seperti orang gila, gadis penata bunga itu makin merinding tanggapi sikap Jordan. "Mereka bahagia! Gue sengsara!" maki Jordan sebelum membuang beberapa keranjang berisi mawar dari permukaan nakas hingga tangkai-tangkai itu berserakan di lantai, si gadis penata bunga mendelik tak percaya, pekerja lain tak kalah kaget menanggapi sikap bar-bar Jordan yang notabene adalah tuan rumah.

"Mas, kenapa dibuang?" Gadis itu memberanikan diri bertanya meski tubuh rasanya merinding bukan main, terlebih saat tatapan Jordan menghunjamnya. Namun, laki-laki itu enggan menanggapi dan lebih putuskan kembali hampiri tangga, menatap orang-orang dengan aura kemarahan yang begitu mengintimidasi hingga keheningan melanda bersamaan mulut-mulut yang terkunci rapat.

Jordan masuk kamar, membanting pintu tanpa peduli tanggapan orang-orang di lantai dasar, biar saja mereka menilainya buruk, biar saja orang-orang tadi membencinya, toh mereka tak perlu ikut andil atas kehidupan Jordan yang semakin runyam.

Laki-laki itu raih ponselnya di dekat laptop, ia arahkan panggilan pada nomor sang ayah.

"Jordan udah nggak bisa lagi tinggal di rumah, jadi kasih tahu kode apartemen Ayah sekarang. Karena kalau enggak, Jordan bisa bakar semua mawar-mawar itu sekaligus rumah ini."

***

Semesta seperti berpihak pada keinginan sederhana gadis itu hari ini, tak ada Barra yang menjemputnya sore hari, jadi takkan ada drama yang harus Rere lakoni dengan segala keterpaksaan serta hati dongkol penuh kabut. Jangan lupakan headset yang menggantung di telinganya, ia menyetel musik dengan volume lirih saat kaki-kakinya masih menapak trotoar menuju BRT yang kini sudah terlihat.

Laki-laki itu juga berada di sana, berdiam di sudut BRT seraya masukan kedua tangannya pada saku hoodie hitam yang melekat di tubuhnya, tudung hoodie menutupi kepala Jordan saat wajahnya justru perlihatkan ekspresi muram, sendu yang sulit ia bendung lagi.

Rere sudah memasuki BRT, keluarkan e-money dari ransel sebelum antre di urutan tiga sekadar membayar biaya perjalanan buswaynya nanti. Namun, tak perlu menunggu lebih lama saat bola matanya cepat menemukan Jordan yang menatapnya dalam diam, hanya saja sikap yang ditunjukan Jordan begitu kontradiksi seperti sebelum-sebelumnya.

Tak ada Jordan yang langsung menghampiri Rere, hanya ada laki-laki membeku meski tatapannya masih terpatri pada orbit lurus tak jauh dari posisinya, ia tak ingin memutus tali semu yang menghubungkan mereka. Namun, saat petugas BRT mengembalikan kartu e-money milik Rere berhasil meretas tatapan mereka.

Jordan menunduk tanpa menatap Rere lagi sampai tak berselang lama busway datang, membawa setiap penumpang menuju BRT selanjutnya dengan jarak tempuh beberapa menit. Tak disangka penumpang sore ini cukup membludak sampai Rere yang seringkali duduk di dekat pintu harus mengalah saat ia kehilangan kursi kesayangan yang kini diduduki orang lain, alhasil Rere terpaksa memegang hand strap di atasnya, hanya saja ia tak tahu kalau Jordan juga ikut berdiri seraya berpegang satu tangan pada hand strap tepat di belakang Rere yang kini naikkan volume musiknya tanpa peduli pada situasi sekitar.

Jordan mulai suka memperhatikan, rasa kesal menghadapi hari ini perlahan menyingkir tatkala senyum tipis muncul tanggapi gadis yang sibuk mengangguk ikuti ritme musik tanpa didengar orang lain. Rere tak lagi mengangguk, ia angkat telunjuk kanan seraya menggeleng tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitarnya, anggap saja mereka tak terlihat. Katanya, kalau seseorang grogi untuk tampil di panggung, mereka harus anggap para audience tak kasat mata, membutakan bola mata sejenak saja agar rasa gugup menyingkir.

Jordan mulai gemas dengan tingkah konyol gadis itu, ia bergerak ulurkan tangan menyentuh bahu Rere. Buru-buru Rere memutar tubuh dan mendongak sebelum posisi kepala mereka bisa sedekat itu, kini tak perlu ada tali semu yang memberi jarak pada tatapan keduanya, bahkan hanya beberapa centi saat bening dari masing-masing netra seolah cermin yang tampilkan bayangan satu sama lain.

Jordan masih ingin menikmati, tapi Rere terlalu kaku dan putuskan menuduk seraya telan ludahnya, ia matikan musik dan lepaskan headset sebelum kembali mendongak pada Jordan.

"Ada apa?"

"Nggak malu dilihatin orang-orang?"

Rere menatap sekitar, ekspresi mereka semua bisa terbaca jelas. Datar, menahan senyum, alihkan pandang, atau bahkan terlelap bersama sepasang earphone di telinga.

Ya memang begitu, Rere terbiasa dengan semuanya.

"Malu kenapa? Aku masih pakai baju lengkap kok."

Jordan makin gemas, ia cubit pipi kanan Rere sebelum mendekatkan wajah dan berbisik. "Lain kali gue bakal sediain panggung buat elo joget, biar bebas. Oke?"

"Lepas, ish!" Rere menampik tangan Jordan dari pipinya, ia usapi bekas cubitan itu. "Nggak usah repot-repot, aku bisa sendiri, joget di kamar mandi."

"Bengal banget dikasih tahu."

"Kan nggak minta diperhatiin."

Busway berhenti di BRT berikutnya, Rere hampir saja terdorong ke depan jika saja Jordan tak cepat merangkul pinggangnya saat penumpang lain berdesakan ingin keluar lebih dulu.

"Jangan bar-bar kayak orang lain, kek. Perempuan nggak bisa sabar dikit," cibir Jordan sebelum luruhkan tangan.

"Nggak minta dijagain." Rere tampak sewot, alhasil ia mengalah biarkan penumpang lain lebih dulu keluar sebelum keadaan akhirnya sepi. Namun, saat kaki itu hendak melangkah lewati pintu—tangan Jordan lebih dulu menahan, membuat Rere menoleh. "Apa lagi?"

"Jangan jadi pengkhianat, ya, Re. Gue nggak suka, terus bisa dendam selamanya."