"Like a river flows, surely to the sea, darlin' so it goes, something are meant to be ... take my hand, take my hold live to, for i can't stop falling in love with you." Petikan pada senar gitar akhirnya berakhir, duduk bersila seraya sandarkan punggung pada tembok di belakangnya terasa lebih santai saat pemandangan pencakar langit lain dari balkon sisi ruang tamu apartemen yang pagi ini ditinggali Jordan terlihat menambah kesan Jakarta dengan segala kerumitannya.
Railing besi bercat putih berdiri kokoh di depannya, tapi tak mampu menghalau sinar matahari yang kini menyorot tepat ke wajah Jordan. Ia cukup terusik hingga putuskan beranjak seraya angkat gitar akustiknya, ia temukan benda itu di sudut kamar lantai dua, benda milik Jordan yang sengaja ditinggalkannya beberapa bulan silam sebelum tragedi sayatan katana di punggung.
Ia letakan gitar pada sofa ruang tamu, tangannya bergerak menarik kaus hitamnya hingga lolos lewati leher, tubuh shirtless itu masih perlihatkan bekas luka panjang di punggungnya, tapi takkan menampik fakta kalau Jordan tetap saja menarik sekalipun bagian tubuhnya tergores seperti kaca yang retak sedikit masih bisa digunakan.
Ia lempar kausnya hingga menyentuh permukaan meja, melangkah tanpa pakaian hampiri dapur, membuka kulkas sebelum menggaruk gemas rambutnya saat dapati isi kulkas benar-benar kosong, hanya ada air mineral serta beberapa telur di sana. Nyatanya, Jordan tetap raih sebotol air mineral dingin sebelum meneguknya hingga habis.
"Gue seminggu diam aja di sini bisa jadi mayat," gumam Jordan seraya tinggalkan dapur, ia memasuki kamarnya di lantai dua, mengangkat koper yang belum dibuka sejak Jordan tiba di sana kemarin malam.
Ia membuka koper yang kini tergeletak di permukaan ranjang besarnya, meraih salah satu kaus sebelum posisikan benda itu pada tubuh.
Tubuhnya beralih pada waist bag yang tergeletak di permukaan laci kayu jati sisi ranjang, berdekatan dengan jam weker. Jordan membukanya sebelum keluarkan dompet, menarik salah satu kartu atm dan sematkan benda itu di bibirnya. Jangan lupakan kunci mobil kali ini, setelahnya ia tinggalkan kamar, lebih tepatnya tinggalkan apartemen yang telah resmi menjadi milik Jordan setelah sang ayah mengganti nama kepemilikan tempat itu sesuai keinginan putranya, daripada pernikahan dengan Sarah gagal hanya karena sebuah apartemen.
***
Nugget, mie instan, sarden, softdrink serta banyak lagi bahan makanan lain yang bisa Jordan olah sendiri di rumah barunya. Ia dorong troli yang masih longgar itu menuju ke rak gondola lain seraya perhatikan barang-barang di sekitarnya, tanpa Jordan sadari seorang gadis berseragam crew store memperhatikannya dari jarak satu meter, gadis itu menata beberapa snack seraya melirik ke arah Jordan yang kini sibuk memilih camilan untuknya.
Nyatanya, meski banyak cctv di dalam swalayan yang selalu awasi gerak-gerik karyawan serta tiap pengunjung pun Vita tetap saja bergerak hampiri Jordan, aura laki-laki itu telah membius alam bawah sadar Vita agar mendekat meski ia sendiri paham konsekuensi yang bisa didapat jika atasan mengecek kamera cctv hari ini, akan terlihat seorang pramuniaga mangkir dari tugas dan mendekati pengunjung. Jadi, judul sinetron apa yang pas untuk menggambarkannya?
"Hai," sapa Vita seraya tepuk pelan bahu Jordan, ia berusaha keras menahan getaran yang membuat tubuhnya terasa lemas.
Laki-laki itu menoleh, senyumnya merekah saat ia pikir gadis di sisinya adalah Renita, tapi Jordan salah duga. Perlahan senyum itu sirna digantikan wajah datar, ia mengernyit amati Vita yang menatapnya tanpa kedip—bahkan tak melepas senyumnya.
"Siapa?" Jordan skeptis.
"Aku Vita." Gadis itu ulurkan tangan tanpa ragu. "Kamu temannya Rere yang waktu itu, kan?"
"Rere? Mana orangnya?" Kepala Jordan menoleh ke segala arah, tapi dia tak dapati gadis yang diharapkannya.
Vita luruhkan tangan, agak kecewa saat Jordan sama sekali tak menyambutnya, tapi pesona kuat laki-laki itu masih bisa membuat Vita memaafkan dalam benak dengan tulus.
"Rere lagi di gudang, ngurusin faktur barang yang tadi pagi baru datang." Vita menggaruk kepala. "Kamu cuma temannya Rere atau lagi PDKT?" Sayangnya Jordan sama sekali tak menjawab, membuat Vita mulai kikuk. "Eh tapi—nggak mungkin juga lagi PDKT sama Rere, kan dia punya pacar."
"PACAR?"
"Iya, adiknya Mbak Arista itu. Kalau nggak salah namanya Barra. Dia sering banget jemput Rere kalau pulang kerja."
"BARRA?"
Bagai petir di langit nan cerah, pengakuan Vita membuat sekujur tubuh Jordan diselimuti hawa panas sekekita, tangannya ikut cengkram kuat snack berisikan kripik kentang hingga bagian atasnya pecah, bisa dipastikan isi makanan itu telah hancur oleh tangan Jordan, remuk redam. Tanpa basa-basi ia lempar snack tadi ke troli, mood belanjanya langsung hilang dalam sekejap, sepertinya lebih baik tertusuk katana ketimbang mendengar pengakuan Vita barusan.
Jordan mendorong troli begitu saja tanpa berbicara lagi dengan Vita yang kini kebingungan tanggapi sikap laki-laki itu. Jordan langsung hampiri kasir tanpa berniat membeli apa pun lagi, padahal keperluannya masih banyak, tapi rasa sakit membuatnya putuskan undur diri.
Ekspresi laki-laki itu terlalu mencekam bagi kasir perempuan yang kini menghitung harga total semua barang-barang Jordan, memindahkannya pada dua kantung besar.
"Semuanya 350ribu, Kak," ucap si kasir yang hanya berani tatap Jordan selang beberapa detik saja, usai memberikan uangnya pun laki-laki itu langsung melenggang, membuat si kasir bisa bernapas lega sekarang. "Kok bisa sih ganteng-ganteng gitu seram."
Vita putuskan masuk gudang usai merasa ada hal yang salah dengan sikap Jordan tadi, ia menelisik tempat luas itu seraya mencari keberadaan Rere yang kini berjongkok di balik duty rack berisikan bedak serta baby cologne.
"Renita!" Vita berseru begitu saja, membuat beberapa karyawan lain di gudang langsung menoleh ke arahnya termasuk Rere yang kini mengusap dada seraya merapal doa, hampir saja jantungnya lari marathon.
"Apa, sih? Kamu mau bikin aku mati sekarang?" Rere sibuk menetralisir detak jantungnya, ia kembali dengan urusan faktur tanpa sudi beranjak, untungnya Vita mau mengalah berjongkok di sebelahnya.
"Lo tahu nggak, cowok yang waktu itu datang lagi barusan." Vita menceritakannya penuh semangat, membayangkan betapa rupawan sosok Jordan di matanya.
"Cowok? Siapa? Barra?"
"Bukan, kalau pacar elo nggak bakal gue usik. Itu lho yang ganteng waktu itu, yang orangnya tinggi, pokoknya ganteng."
Renita bergeming sejenak, tapi detik berikutnya ia tatap Vita. "Jordan?"
"Oh, jadi nama dia Jordan? Pas gue ajak kenalan malah diem aja." Vita geleng-geleng membayangkan wajah Jordan dari dekat. "Lo tahu nggak, tadi dia nyariin elo, terus pas gue bilang kalau lo pacaran sama Barra itu dia malah kayak marah, pergi gitu aja."
"Marah?" Rere mulai berpikir, tapi setelahnya ia mengedik bahu, enggan memusingkan perkataan Vita tadi. "Biarin aja, nggak ada hubungannya sama dia kok aku mau pacaran sama siapa."
"Iya, sih. Mungkin dia suka sama elo, tapi kalau elo nggak mau sih baiknya buat gue aja, ya, Re? Kan Rere baik." Gadis itu berkedip gemas sebelum merangkul bahu Rere seraya sandarkan kepala, hanya helaan napas yang bisa Rere bagi setelahnya.
***
Segala pertanyaan yang ingin Jordan ketahui jawabannya kini berada dari jarak tiga meter dari posisi mobil Jordan menepi, ia diam duduk di balik kemudi serya perhatikan interaksi sepasang manusia yang tampak berdebat di dekat motor trail milik Barra. Semesta seolah berpihak pada Jordan kali ini, membiarkan laki-laki itu mengetahui satu per satu setiap hal yang menjadi teka-teki setelah keluar dari swalayan pagi tadi.
Lucunya, Barra seakan tak memahami situasi mencekam di sekitarnya saat sepasang mata elang Jordan terus mengawasi gerak-gerik Barra serta Rere kali ini. Barra datang menjemput Rere lagi, memaksanya dengan ancaman yang sama, tentu saja Rere akan menurut meski setelahnya mengoceh sepanjang jalan hingga tiba di dekat area kost.
Kedua tangan Jordan terkepal saat Barra pasangkan helm di kepala Rere, menuntun gadis itu agar duduk di belakangnya sebelum lajukan motor. Jordan menarik napas sesak, ia injak gas sekadar ikuti mereka dalam radius yang aman, mata elang Jordan enggan beralih fokus barang sedetik saja.
"Eh tapi—nggak mungkin juga lagi PDKT sama Rere, kan dia punya pacar."
"PACAR?"
"Iya, adiknya Mbak Arista itu. Kalau nggak salah namanya Barra. Dia sering banget jemput Rere kalau pulang kerja."
"BARRA?"
Dialog-dialog menyakitkan itu terus saja mengitari kepala, memenuhi indra pendengaran sampai rasanya kepala Jordan hampir pecah memikirkan. Ia sama sekali tak habis pikir dengan alur yang kini masih menjadi teka-teki, beribu pertanyaan masih bermunculan, berbagai asumsi membuat Jordan semakin jengkel menghadapi kenyataan tentang sepasang manusia yang masih duduk di jok motor.
"Kenapa Rere kenal Barra, kenapa mereka pacaran, kenapa Rere berkhianat!" Jordan mulai luapkan emosi dengan memukul sisi kemudi. "Argh! Bangsat kalian berdua! Tusuk gue dari belakang!"
Motor Barra perlahan menepi hingga berhenti di dekat pintu masuk area kost Rere, gadis itu lantas turun seraya lepas helmnya, mengulurkan pada Barra.
"Makasih, tapi please banget jangan jemput-jemput aku lagi. Bukannya aku udah bilang—"
"Sst." Bibir Barra menginterupsi bersamaan telunjuk yang kini menempel di bibir Renita, membuat gadis itu diam. "Anggap aja gue ini tukang ojek, gampang, kan? Kalau ada yang ngoceh ya biarin aja, nanti pahala mereka buat elo semua."
"Kamu gila." Rere luruhkan tangan Barra. "Udahlah, aku capek mau langsung mandi."
"Selamat sore." Barra tersenyum saat Rere melenggang pergi seraya garuk kepalanya, tanpa mereka sadari pun mobil Jordan telah menepi tak jauh dari posisi Barra berada, masih diam mengamati tanpa kendurkan kepalan, ia merasa harus segera mendaratkan tangannya di tempat yang pas.
Barra lajukan kendaraannya pergi dari sana, sedangkan Jordan masih bergeming di posisinya sebelum pukul lagi kemudi sampai buku-buku jari tampak kemerahan oleh amarah si pemilik raga.
"Bangsat! Bangsat! Bangsat! Dendam gue buat kalian bakal berlaku selamanya! Camkan omongan gue ini, Renita!" Kilatan petir memenuhi bola mata itu, tampak mengerikan bersama dendam yang kini dibenamkannya dalam hati, meminta dituntaskan esok hari.
***