Di balik railing balkon, gadis itu bergeming tatap arunika yang mulai menyorot semesta dari ufuk timur, begitu tenang dan damai, berbeda dari perasaan Renita yang menjadi satu dari sejuta saksi bisu pagi ini. Wajah sayunya makin sendu, ia sama sekali enggan beristirahat meski demam masih memeluk tubuhnya, apalagi enggan makan apa-apa, obat dari Dokter Alvin pun tak disentuhnya. Keinginan Renita hanya satu; dipulangkan ke tempat kost. Sejak semalam ia tak bisa terlelap, pikirannya sama sekali tak tenang, gadis itu hanya duduk di tepi ranjang seraya memikirkan banyak hal. Kalau Jordan, tentu saja terlelap bersama bunga tidurnya.
Untuk kesekian kali, ia hela napas panjang, menatap arunika yang mulai pudar saat angkasa semakin terang seiring berlalunya waktu, bersama jarum jam yang terus bergerak. Renita berharap jika Jordan miliki sedikit saja rasa kemanusiaan terhadapnya, membiarkan ia pulang dan jalani hidup tenang.
Seseorang baru keluar dari kamar, tetap menuruni anak tangga meski tubuhnya shirtless, ia bahkan tak meraih kaus di lemari lebih dulu saat rasa khawatirnya jauh lebih besar. Namun, langkahnya melambat begitu dapati Renita masih berdiri di balik railing balkon sisi ruang tamu.
Jordan mendekat, dan Renita enggan menoleh meski telinganya mendengar jejak langkah si pemilik rumah, ia bahkan menggeser posisinya saat Jordan ikut berdiri di sebelah—sengaja memberi jarak untuk mereka.
"Jordan, aku mau pulang." Kalimat sama yang Renita lontarkan mungkin sudah ke-seribu kalinya Jordan dengarkan, ia benar-benar jenuh meyakinkan Renita agar tetap tinggal. "Kamu nggak mikirin gimana nanti asumsi tetangga apartemen kamu kalau tahu ada perempuan yang nggak punya status apa-apa, tapi tinggal sama kamu. Gimana tanggapan negatif mereka nantinya?"
"Re, hidup itu jangan berpacu sama omongan orang. Kalau mereka mau urusin hidup kita, langsung aja suruh kasih makan gue, kasih duit jajan gue. Beres, kan?" Jordan mengedik bahu, santai menanggapi.
"Maksud aku, kita nggak ada ikatan apa-apa, pulangin aku ke kost."
"Jadi, lo butuh ikatan buat tinggal di sini?" Jordan menoleh, raih tangan kiri Renita sebelum menariknya tinggalkan balkon, ia dudukan gadis itu pada sofa ruang tamu. Jordan berdiri di depannya seraya keluarkan ponsel dari saku celana, ia ulurkan benda itu pada Renita. "Lo hafal nomor keluarga lo di Bandung, kan? Telepon mereka pake nomor gue, kalau nggak mau pakai telepon rumah. Bilang kalau kita bakal ke sana, gue bakal minta elo secara resmi, gampang, kan?" Ponselnya masih mengambang di tangan, Renita tak meraihnya, gadis itu justru menunduk seraya remas sisi sofa, ia makin tak mengerti dengan jalan pikiran Jordan.
"Mau kamu apa, sih, Jo. Aku nggak mau kayak gini, aku punya kehidupan sendiri di luar sana." Ia mendongak dengan tatapan memelasnya.
"Tadi lo yang bilang, kita perlu ikatan buat tinggal sama-sama. Lo mau kita nikah, kan? Oke, gue siap kapan pun itu. Sekarang telepon keluarga elo, apa perlu kita langsung ke sana aja?"
Renita yang makin kesal perlihatkan ekspresi berbeda, ia raih ponsel Jordan sebelum melemparnya sembarang arah seraya beranjak, menunjuk Jordan tetap di dada tanpa kaus itu. "Kamu nggak ngerti apa-apa! Kamu nggak usah sok tahu hidup aku, Jordan!"
"Gimana gue bisa tahu kalau lo diam aja! Marah kayak gini, masalah bisa diselesaikan sama-sama. Gue mandi, ya. Kita ke Bandung sekarang, gue mau cara terbaik buat dapatkan elo, gitu kan harusnya?" Jordan melangkah pergi, tapi Renita bergerak cepat raih tangan laki-laki itu, membuat langkah Jordan terhenti seraya memutar arah, tatap Renita dengan dahi berkerut. "Apa?"
"Aku nggak mau ke Bandung."
"Mau lo itu gimana, gue nggak ngerti."
"Aku nggak mau pulang ke Bandung! Aku nggak punya siapa-siapa di sana, nggak ada yang cinta sama aku. Ayah benci, bahkan ibu yang lahirin aku pun nggak pernah cinta sama putrinya." Mata Renita terasa panas, mati-matian ia membendungnya agar air hujan itu tak meluncur, tapi tetap saja meluruh semestinya. "Aku, aku ini anak tanpa cinta, aku cuma anak pelacur, Jordan. Aku anak pelacur." Ia lepaskan tangan Jordan, alihkan pandang seraya memutar tubuh dan peluk kedua lengannya, terisak lagi tanpa ingin dilihat Jordan.
Laki-laki itu bergeming sejenak, mendekat sebelum lingkarkan tangannya di pinggang Renita, memeluk perut tanpa lupa sandarkan dagu di bahu kiri gadis itu, ia kecup pipinya tiba-tiba, membiarkan air mata menyentuh bibirnya. "Gue bakal selalu cinta sama elo, nggak kayak mereka. Gue janji buat seluruh dunia ini, cuma gue yang paling sayang sama elo, Re. Terserah lo mau cinta apa enggak sama gue, intinya lo harus tetap di sini apa pun yang terjadi, stay here with me."
***
"Di sini aja, ya. Gue mau cari baju buat lo sama cari keperluan lainnya. Lo mau nitip apa?" Jordan sudah rapi dengan kemeja tartan merah di tubuhnya, ia berdiri di dekat Renita yang kini duduk pada sofa ruang tamu seraya tatap layar televisi, wajah gadis itu masih saja pucat seolah tak dialiri darah.
"Hp aku mana?"
"Hp lo? Ah iya gue lupa." Jordan kembali ke kamarnya di lantai dua, saat ia kembali membawa sebuah paper bag dan meletakannya di permukaan meja. "Ini hp baru buat lo sekaligus nomor sim card yang baru, cuma gue yang boleh tahu nomor lo. Gue udah cek kontak di hp lo, ada nomor Barra kan di sana? Jadi, setuju nggak setuju lo harus pakai hp itu." Jordan menunduk kecup kening Renita sebelum melenggang pergi, gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah, mimpi apa tempo hari sampai tiba-tiba dijadikan tahanan rumah seperti rapunzel di televisi.
Jordan pergi cukup lama, sejam lebih. Gadis itu mulai bosan dengan televisi yang ia tonton, terlebih saat perutnya mulai melilit perih, ia bahkan baru ingat kalau sejak kemarin malam tak makan apa-apa, nasi goreng yang Jordan beli sama sekali tak tersentuh. Gadis itu beranjak hampiri dapur, membuka kulkas dan temukan sedikit bahan makanan di sana, ada telur, nugget serta beberapa snack. Tangannya meraih susu cokelat cair sebelum memindahkannya pada gelas kosong, membiarkan air dingin berperisa itu melewati kerongkongannya.
Renita memperhatikan dapur, ia dekati penanak nasi, membuka penutupnya sebelum berdecak sebal, benar-benar kosong seolah tak disentuh sama sekali. Kini ia makin jelajahi tempat itu, mengecek setiap isi kabinet atas, lemari etalase tempat rak piring dan tetap tak temukan sesuatu yang seharusnya ada, padahal hanya bahan makanan sederhana, tapi semua orang wajib memakannya. Sedangkan di dapur Jordan? Nihil.
Renita meraup wajah, ia putuskan kembali ke ruang tamu, meraih paper bag berisi ponsel di meja, ia duduk di sofa seraya keluarkan isi paper bag tadi. Mengaktifasi nomor ponsel barunya sebelum masukan nomor Jordan dari kertas kecil yang sengaja diselipkan di sana. Renita lantas mengetik sesuatu, meyakinkan diri untuk benar-benar mengirimnya.
Jordan, harusnya kamu beli beras sama sayuran.
***
Chat masuk dari Renita benar-benar membuat Jordan pusing setengah mati, sepanjang hidupnya di dunia pun belum pernah Jordan sampai datang ke supermarket dan memilih sayuran seperti yang ia lakukan sekarang, lebih tepatnya masih bergeming kebingungan perhatikan display sayuran di depannya, troli di dekat Jordan baru diisi karung kecil berisi beras sekitar 10KG.
Jordan garuk kepalanya dengan gemas, ia benar-benar tak tahu sayuran apa yang harus dibelinya, tapi tak mungkin harus menolak permintaan Renita, apalagi ia sudah berdiri di depan bahan yang harus segera ia bawa pulang. Jordan berdecak, ia putuskan semua terserah pada urusan tangan, terserah ingin meraih apa saja—yang penting trolinya lekas penuh.
Kini tangan-tangan itu meraih asal sayuran di depan mata, ada yang oranye, merah, kuning, hijau seperti pelangi semua dimasukannya pada troli. Bahkan meraih paprika tak cukup satu warna, tapi semua warna yang ada, belum lagi jenis cabai yang ada seolah Jordan akan buka warung di apartemennya, atau buka warteg mungkin.
"Ini kayak gini aja kali, ya." Ia mengacak gemas rambutnya. "Argh biarin lah, yang penting udah gue beli, terserah benar apa enggak." Ia arahkan troli tinggalkan tempat itu, menuju kasir yang tersedia sebelum keluarkan semua belanjaannya di permukaan meja kasir.
Kasir yang berjaga adalah seorang gadis, sesekali ekor matanya melirik Jordan yang kini sibuk memainkan ponsel seraya tunggu total belanjaannya.
Beberapa orang—khususnya ibu muda yang antre di belakang laki-laki itu ikut memperhatikan, cukup bingung melihat isi troli Jordan adalah segala macam jenis sayuran.
"Mas, istrinya suka banget ya makan sayuran?" celetuk seorang wanita hamil di belakang Jordan, ia mencolek pinggang laki-laki itu.
Jordan menganga, tapi setelahnya mengangguk cepat. "Iy-iya." Ia langsung gugup.
"Bagus sih kalau orang hamil makan sayur-sayuran, tapi kalau bisa jangan cuma sayuran aja, Mas. Sama protein hewani juga, emang istrinya nggak minta dibeliin daging atau ikan?"
Lagi-lagi Jordan dibuat menganga, kasir yang masih hitung total belanjaan Jordan tersenyum kecil.
"Ng—tadi istri saya cuma minta ini aja."
"Oh, semoga anaknya lahir sehat, ya, Mas. Ini saya juga lagi hamil, udah bulannya." Wanita itu usapi perut besarnya, membuat Jordan menelan ludah.
"Mas, totalnya 250ribu," ucap si kasir.
Buru-buru Jordan keluarkan uang cash dari dompet untuk membayarnya, ia bawa dua kantung besar berisi sayuran serta beras. Ia tersenyum saat membayangkan percakapannya tadi. "Gue punya bayi, terus jadi papa muda? Boleh juga," gumam Jordan.
***