Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 26 - Ibu.

Chapter 26 - Ibu.

Beberapa kali bola matanya berkedip takut-takut indra penglihatannya itu salah, isi kulkas mendadak dominan hijau oleh sayuran. Makhluk sialan mana yang mengisi kulkasnya dengan sayuran, Jordan bahkan tak menyukainya, tapi jika ia sudi memutar waktu ke belakang—mungkin akan menemukan si pelaku sialan yang membeli begitu banyak sayuran di supermarket hingga isi kulkas didominasi warna hijau, dari atas ke bawah sampai ia meneliti berulang kali. Sialnya, saat baru sadar ia menutup kulkas begitu saja, meraup wajah rasakan kekonyolan yang dibuatnya sendiri. Bukankah memang Jordan yang membeli hampir seluruh jenis sayuran di supermarket hari itu?

Ia menyesal kali ini, menyesal karena tak menyukainya, tak tahu harus diapakan, dan tak ada yang memasaknya. Jika saja Renita berada di apartemen setiap hari, pasti hijau-hijau yang bukan uang itu bisa lekas sirna dari kulkasnya. Jordan mendesah, ia buka lagi kulkas sekadar meraih sebotol air dingin, meneguknya hingga habis sebelum tarik salah satu kursi di balik meja makan dan duduk di sana.

Minggu pagi pukul sembilan, ia teringat Renita, apa kabarnya hari ini? Jordan keluarkan ponsel dari saku celana, tapi pucuk dicinta ulam pun tiba—meski bukan nomor baru Renita yang menghampiri, teman lamanya itu tiba-tiba menelepon, membuat Jordan menatap layar ponselnya lebih lama. Jika Guntur menelepon pasti ada hal penting, apalagi mereka lama tak saling memberi kabar.

Sayangnya, Jordan tetap diamkan panggilan itu hingga berakhir sendirinya, lantas sebuah chat masuk dari nomor Guntur.

Lo lagi di mana?

Dicariin ke sasana.

Ia menarik napas panjang, hobi lama yang sekaligus menjadi pekerjaannya itu—apa datang lagi? Jordan juga sudah lama tak pernah menyentuh samsak, terakhir kali ia berkelahi dengan Bara, tenaga Jordan untuk adu jotos seperti telah kembali, ia bahkan mengalahkan rival abadinya itu.

Suara bel dari luar pintu utama membuat lamunan Jordan buyar, ia beranjak seraya simpan ponselnya ke saku celana, tanpa alasan wajah itu berubah sumringah, rona cerry seolah menempel di tulang pipi Jordan. Ia bergegas membukakan pintu utama, tapi ekspresinya berubah sekejap begitu tanggapi rupa manusia yang kini berdiri seraya perlihatkan senyum tulus, sebuah tote bag berada di tangan kanannya.

"Pagi, Jordan," sapa perempuan yang kini berstatus sebagai ibu tiri Jordan, alasan mengapa ia tinggal di apartemen benar-benar untuk menghindari interaksi dengan Sarah dan ayahnya jika berada di rumah, tapi tiba-tiba pagi ini wajah itu muncul di depan mata.

"Kenapa lo tiba-tiba ada di sini." Kentara rasa tak suka Jordan yang ia perlihatkan, ia bahkan tak membiarkan tamunya masuk lebih dulu.

"Aku mau jengukin kamu, kenapa nggak pulang sebentar ke rumah, papa kamu pengin ketemu." Sebisa mungkin Sarah bersikap lembut meski benar-benar sulit membedakan antara mantan kekasih serta anak tiri, juka bukan karena konflik di keluarga serta sakit yang diderita ibunya mungkin saja kisah mereka berbeda, Sarah akan berdiri di depan Jordan dengan status yang berbeda juga.

"Gue udah punya rumah, gue tinggal di sini. Sekali lagi, lo ngapain ke sini?"

"Ini." Sarah mengulurkan tote bag tadi. "Aku keluar cari sesuatu, terus ketemu makanan favorit kamu, ini buat kamu, Jordan." Senyum tulusnya masih ia pertahankan, tapi lantas sirna begitu Jonas merebut tote bag darinya dan membanting pintu. Seketika Sarah terhenyak, jantungnya berdegup kencang rasakan kaget tiba-tiba. Jordan yang dulu lembut kini bisa sekasar itu, dulu ia bisa melihat binar penuh kasih di bola mata Jordan, tapi sekarang hanyalah sorot penuh amarah.

Tanpa membukanya lebih dulu, Jordan buang begitu saja tote bag pemberian Sarah ke tempat sampah di dekat meja ruang tamu. "Gue lebih suka nasi goreng petai sama mie rebusnya Rere yang pakai cabai sepuluh," gumam Jordan seraya memasuki kamarnya, rasa rindu pada Renita makin berlipat-lipat tebalnya. Ia rebahkan tubuh di ranjang seraya keluarkan ponsel dari saku celana, nomor Renita adalah tujuan utama, tapi hingga lima kali panggilan terhubung—tak ada satu pun diangkat, tanpa Jordan tahu ponsel baru Renita tergeletak di permukaan ranjang saat pemiliknya pergi keluar dari tempat kost.

Telur balado serta tumis buncis menjadi pilihan Renita sebagai sarapannya pagi ini, ia baru saja menerima sebungkus nasi dengan isian lauk yang dipilihnya tadi usai membeli di sebuah warung makan tepi jalan tak jauh dari tempat kost. Ia melangkah santai menyusuri trotoar yang akan membawanya menemui gang menuju tempat kost, tapi langkah Renita terhenti saat ia melihat dari kejauhan sepasang suami istri bertengkar, tapi ada satu lagi perempuan muda keluar dari rumah besar tempat berlangsungnya konflik.

Awalnya hanya satu dua orang yang melihat, tapi lambat laun keadaan jadi semakin ramai saat wanita yang lebih dewasa memaki si perempuan muda, tak tanggung-tanggung ia mencakar leher sampai sang suami sibuk melerai. Renita makin penasaran, alhasil ia mendekat sekadar ingin melihat lebih jelas apa yang terjadi.

"Minggir kamu suami nggak tahu diri! Kamu mau jadikan pelakor itu istri kedua dan melahirkan anaknya di rumah saya, apa kamu gila!" Si wanita terus saja memberontak agar lepas dari cekalan suaminya, meski tangannya seperti terpenjara, tapi kaki wanita itu bebas, ia tak segan menendangi simpanan suaminya yang sudah terduduk di trotoar sejak tadi. Lucunya, orang-orang hanya jadi penonton seperti saat Bara berkelahi dengan Jordan tempo hari. Apa masyarakat sekitar tak miliki rasa empati?

"Sabar, Ma. Sabar, dia udah mengandung anak papa." Sang suami terus saja menarik istrinya agar menjauh dari sana, tapi emosi yang merangkak justru memberi tenaga lebih untuk terus melawan, wajah beringas wanita itu membuat Renita terdiam. Siapa pun takkan sudi menerima jika suaminya menghamili perempuan lain, menjadikannya istri kedua dan lahirkan anak di rumah istri pertama. Beda jika semua diawali dengan kisah normal alias poligami, konflik yang disaksikan Renita murni dari sebuah pengkhianatan, tak ada izin dari istri pertama.

"Sabar! Dari sebelah mana saya harus sabar! Anak di dalam perut dia anak kamu! Pasti jadi pembawa sial!"

Renita memang bukan salah satu dari mereka, ia hanya seorang penonton, tapi perkataan wanita itu membuat relung hatinya seperti ditusuk sesuatu, terasa sesak dan begitu pedih. Ia bergegas melewati kerumunan orang-orang, meninggalkan kisah yang entah apa akhirnya itu.

"Harusnya kamu nggak di sini! Kamu jadi pelacur seperti ibumu, suka menggoda perempuan lain."

"Dandan yang cantik, mumpung masih muda nanti saya ajak ke rumah bordil, kamu bisa cari ibumu, lumayan kan kerja bareng-bareng."

"Besok kamu nggak usah makan! Cari duit buat saya—baru bisa makan! Masih perawan harganya mahal!"

Renita makin mengerti alasan luka lama mengapung tiba-tiba, serangkaian dialog di masa lalu membuatnya kian tersayat, ia tak segan menjatuhkan air mata saat langkahnya masih terus berlangsung. Renita mempercepat langkah begitu ia memasuki gang area tempat kostnya, ia bahkan kerepotan memasukan kunci pada lubang pintu saat tangannya bergetar hebat bersamaan air mata yang terus meluruh, ia gugup sampai berkali-kali menjatukan kunci ke lantai.

"Kamu itu lahir dari sebuah kesalahan, kamu nggak layak tinggal sama saya. Kamu bukan putri saya!"

"Ayo, Renita, cepat." Suara perempuan itu bergetar, ia berjongkok meraih kunci, masih berusaha memasukannya pada lubang sampai berhasil, Renita membanting pintu tepat saat Alam baru keluar dari kost, laki-laki itu jelas terhenyak tanggapi kegaduhan yang dibuat Renita, belum lagi sekarang masih pagi.

Seluruh tubuh Renita seperti lemas saat mengenang memori lama yang begitu menyakitinya, sang ayah bahkan tak pernah mengharapkan kehadirannya, tapi kenapa mereka begitu mudah melakukan hal yang salah, mendesak Tuhan agar menghadirkan Renita di dunia.

"Re, elo nggak apa-apa, kan?" Ketukan pintu dari luar diiringi suara Alam bisa didengar Renita, perempuan itu terduduk lemas di balik pintu seraya lanjutkan tangisannya. Mungkin konflik suami istri yang dilihatnya tadi sama seperti apa yang dialami orangtuanya dulu saat sang ayah berselingkuh dengan seorang PSK hingga lahirlah Renita—anak tanpa cinta.

Pasti amarah yang diperlihatkan ibu tirinya akan sama persis seperti amarah wanita tadi, ibu kandungnya bahkan pergi usai melahirkan Renita, meninggalkannya di depan pintu rumah laki-laki yang Renita sebut sebagai ayah.

Apa ia benar-benar tak layak dicintai?

"Re? Renita." Suara Alam masih terdengar di luar sana, ia jelas cemas tanggapi perilaku Renita tadi. "Oke kalau enggak mau buka pintu, tapi semoga lo baik-baik aja, Re." Alam mengakhirinya, ia kembali ke tempat kostnya meski tanda tanya masih belum temukan jawaban.

Renita beranjak tinggalkan ruang depan, ia hampiri kamar dan menyambar ponsel di permukaan ranjang, kini tampak jelas beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Renita hubungi balik nomor Jordan, wajah basah itu kini diusapnya meski tetap terlihat sembap.

"Jordan, kamu di mana?" Suara Renita begitu lirih. "Kamu bisa kan ke tempat kost sekarang, aku butuh kamu." Tak tahukah Renita jika perkataannya itu membuat seseorang di sebrang sana seperti melayang jauh ke awan. "Aku butuh bantuan kamu, aku pengin cari seseorang."

"Siapa?"

"Ibu."

***