Malam memang mengerikan, semua orang tahu itu, tapi bagi Jordan lebih mengerikan keterdiaman Renita terhadapnya sekarang, ia tak memiliki daya saat kekasihnya itu keukeuh untuk pulang meski Jordan sudah memohon. Alasannya Renita akan memaafkan Jordan jika diantarkan pulang ke kontrakan, tapi di sepanjang jalan Renita membeku, dinginnya melebihi udara yang singgah menyapa orang-orang di luar ruangan malam ini.
Ada banyak hal Jordan katakan untuk memancing Renita, tapi perempuannya sama sekali tak menggerakan tubuh seolah sensor motorik sudah kaku untuk menanggapi, seolah telinganya tak berfungsi lagi sebagai indra pendengar. Bagaimana pun Renita merasa kecewa berat atas tingkah laku Jordan terhadapnya, mereka memang sudah melangkah terlalu jauh, tapi bukan berarti Jordan bisa meneruskannya sesuka hati.
Jeep akhirnya berhenti di tepi jalan depan pintu masuk menuju lorong tempat kost Renita, perempuan itu sudah membuka pintu, tapi Jordan menahan lengannya—membuat Renita menoleh.
"Re, aku benar-benar minta maaf, jangan diemin aku terus-terusan, Re. Aku takut." Kentara cemas menghiasi rupa kuarsa laki-laki 24 tahun itu.
"Beri aku waktu, Jo. Sekarang biarin aku pulang dan istirahat, besok aku mau kerja, lebih baik kamu merenungkan kecewanya aku hari ini," tutur Renita sebelum menepis tangan Jordan dan turun dari mobil tanpa lupa menutup pintu, ia lantas melenggang begitu saja meski meninggalkan jejak keresahan yang semakin meradang dalam benak Jordan.
"Sial!" Tangan kanan Jordan mengepal dan memukul kemudi. Terdengar ponselnya berdering, Jordan meraihnya dari permukaan dashboard, terlihat nama Guntur di layar ponsel. "Hallo, kenapa?"
"Kapan main ke sasana? Lo beneran ditungguin nih, Jo."
"Besok aja, kenapa sih."
"Ada urgent."
"Ya udah besok gue ke sasana pagi-pagi." Panggilan berakhir, Jordan meletakan lagi ponselnya di permukaan dash board, ia menoleh pada lorong tempat menghilangnya Renita seraya mendengkus pasrah, ia hanya berharap jika besok Renita sudi berbicara lagi dengannya. Mungkin benar jika Jordan kelewat batas, caranya keterlaluan. Hal sebesar itu seharusnya dilakukan karena cinta, bukan paksaan apalagi tipuan seperti yang sudah terjadi. "Maafin aku ya karena belum jadi pacar yang baik buat kamu, Re."
***
Aktivitas normal hari Senin kembali berlangsung entah di mana pun tempatnya, seperti yang kini Renita jalani ketika ia duduk di dalam busway, atau lebih tepatnya di kursi favorit yang berada di dekat pintu depan, sepasang headset menggantung di telinga. Sekadar menepis kejenuhan ia mendengarkan musik seperti biasa seraya menunggu busway berhenti di BRT yang dituju, penumpang busway cukup ramai dan didominasi oleh anak sekolah serta pekerja seperti dirinya. Bahkan beberapa orang sampai berdiri seraya memegang hand strap untuk menjaga keseimbangan.
Sebenarnya Jordan sudah menjemput Renita di kontrakan, tapi perempuan itu menolak sebab rasa kecewa masih bercokol dalam dada, ia tetap memberi alasan yang sama untuk memberi waktu pada Renita. Untungnya Jordan mengalah, alhasil ia merelakan kekasihnya menaiki busway dan Jordan pergi ke tujuannya yang kedua—Sasana Scorpio tanpa Renita tahu.
BRT pertama membuat beberapa anak sekolah turun, lantas busway kembali melaju sampai beberapa BRT lagi hingga tiba di BRT tempat turunnya Renita. Perempuan itu melepas headset setelah turun dari busway, ia menyimpannya pada ransel kecil seraya melangkah menyusuri trotoar yang akan membawanya menemui tempat kerja.
Namun, saat langkah Renita semakin dekat dengan tempat kerjanya, ia menemukan sosok Barra bertengger di motor yang posisinya berada di sisi jalan depan swalayan, laki-laki tersebut hanya sendirian.
Mungkin dia habis antar tetehnya, batin Renita. Ia tetap melangkah biasa saja tanpa memedulikan sosok Barra, melewatinya tanpa menyapa, tapi laki-laki itu ternyata turun saat melihat Renita datang.
"Re! Rere!" Barra menghadangnya, ia tersenyum kecil.
"Ada apa, Bar?" Renita menatap sekitar, ada rasa takut menyelinap menghadapi laki-laki di depannya, sebab Barra adalah rival Jordan, perkelahian terakhir kali malam itu sudah membuat Renita pening. "Aku mau masuk, mau kerja." Ia lebih takut jika Jordan tahu Barra menghadangnya, sungguh Renita tak ingin menciptakan masalah baru, siapa tahu Jordan mengikutinya hingga ke swalayan sebab Renita menolak diantar bekerja.
Barra mengikuti arah pandang Renita yang berkali-kali menatap ke segala penjuru. "Lo lagi lihatin siapa, Re? Nggak ada siapa-siapa selain kita."
"Jordan, aku takut Jordan lagi awasin aku, cukup ya, Bar. Aku nggak mau ada masalah lagi antara kamu sama Jordan."
"Masalah nggak akan pernah berkahir, Re."
"Kenapa? Mau dibawa mati!" sarkas Renita yang tak habis pikir.
"Bisa jadi, kan dendamnya abadi."
"Terserah kamu aja, Bar. Sekarang aku mau masuk, bisa kan jangan ganggu lagi? Aku pacarnya Jordan, dan dia rival kamu."
"Bukan dia yang berhak mengatur kehidupan gue, Re. Lagian apa salahnya sih ngomong sebentar, gue bisa jamin kalau Jordan nggak ada di sekitar sini, kalau emang ada pasti dia udah samperin kita sambil emosi." Barra tersenyum miring. "Gue tuh sengaja nungguin elo, Re."
"Biar apa?"
"Mau kasih ini." Barra meraih tote bag yang tergantung di pengait motor. "Sandwich, pasti lo belum sarapan, ini gue buat sendiri." Ia mengulurkannya, tapi Renita hanya diam menatap benda itu tanpa menggerakan tangan sebagai tanda akan menerima. "Demi Tuhan gue nggak kasih racun atau guna-guna di makanan ini, Re. Otak gue masih waras."
Renita meraihnya dengan terpaksa sebagai bentuk menghargai pemberian orang. "Kenapa nggak kamu kasih aja ke orang lain, ke perempuan lain, kan banyak yang kerja di sini, semua suka sama kamu."
"Tapi, gue sukanya sama elo, jadi terserah gue dong."
Renita tak habis pikir dengan karakter Barra yang terlihat keras kepala dan teguh pendirian. "Makasih, aku mau masuk."
"Semangat kerjanya, Re!" Barra melambai tangan saat Renita melenggang pergi seraya sesekali menoleh sebelum sosoknya menghilang di balik pintu kaca swalayan. "Mungkin benar, perempuan kayak Rere itu enggak bisa didekati pakai paksaan atau bahkan ancaman, tapi harus pakai sikap yang santai dan perhatian-perhatian kecil. Lo lihat aja, Jordan. Gue bakal ambil semua yang lo punya, satu per satu." Ia menyeringai seraya mengangkat sebaris alisnya.
***
Renita baru saja memasuki ruang karyawan dan menyimpan ranselnya di dalam loker, ia mengangkat tote bag pemberian Barra tadi dan menatapnya seraya memikirkan sesuatu. Renita memang belum sarapan pagi ini, tapi menikmati makanan dari Barra bukankah sama saja berkhianat di belakang Jordan? Membayangkan amarah Jordan saat mengamuk pada Barra malam itu membuatnya bergidik ngeri lagi.
Renita memutar tubuh menatap sekitar, beberapa crew store yang lain sibuk berbicara dengan teman mereka, ia belum melihat Vita di ruangan tersebut, tapi saat seseorang menyentuh bahunya dari belakang—membuat senyum Renita merekah.
"Pagi, Re," sapa Vita, ia membuka pintu loker di sisi loker Rere seraya melepaskan jaket denimnya, ia simpan benda tersebut bersama ransel kecil yang tak lagi menggelayut di punggung.
"Pas banget kamu datang."
"Ada apa sih, kok kayaknya senang banget gue datang. Dapat bonus ya?"
Renita mengernyit. "Bonus apa? Mungkin bonus buat kamu kali ya maksudnya, ini aku punya sandwich." Ia mengulurkan tote bag pada Vita.
"Wah! Buat gue, Re? Kok tahu aja gue belum sarapan." Ia meraih tote bag dari tangan Renita dengan senang hati, Vita memutuskan duduk pada kursi besi panjang di dekat loker dan mengeluarkan kotak makan dari sana. "Ini pasti enak banget, ya, Re. Kok tumben banget buat sandwich, lagi banyak duit, ya."
Renita menggeleng, ia ikut duduk di samping Vita. "Bukan kok, itu dari Barra."
Vita menganga mendengarnya. "Ser-serius, Re! Ini dari Barra, kok gue enggak lihat dia ya di depan. Apa udah balik ya, Re."
"Mungkin. Aku udah sarapan, Ta. Jadi, itu buat kamu aja, ya. Kamu tetap mau kan biarpun itu dari Barra, kan?"
"Makin mau dong, kan lo tahu gue suka Barra. Ih gemes banget." Semangat Vita untuk menikmati sandwich tersebut bertambah setelah mendengar penuturan temannya, ia begitu lahap mengunyah tanpa peduli keadaan sekitar. Renita juga merasa senang sebab makanan yang Barra beri bisa dinikmati meski bukan olehnya, paling tidak Renita tak membuangnya. "Oh ya, Re. Barra perhatian banget, ya. Padahal udah putus dari lo, kayaknya dia bucin banget sama lo."
"Eng—hah?" Renita menelan ludah, ia mengernyit. "Udah nggak usah dipikirin, aku mau ke belakang dulu, ya. Hari ini kan ada supplier barang yang datang, jadi pasti bakal sibuk banget."
"Oke, Re. Sekali lagi makasih banyak ya sarapannya, anggap aja cinta Barra lagi beralih buat gue." Vita senang bukan main, Renita hanya mengangguk seraya tersenyum sebelum keluar dari ruangan itu menuju pintu belakang yang jaraknya tak terlalu jauh dari ruang istirahat karyawan.
***