"Jordan, kita balik aja mumpung belum masuk pintu tol." Tiga puluh menit berlalu sejak terakhir kali Renita bertutur kata, resah membuatnya bungkam lebih cepat, dan laki-laki yang mengemudi di sebelahnya dipaksa peka serta wajib memahami apa yang Renita rasakan—meski tak pernah benar-benar tahu, tapi sejak Renita menghubunginya tadi—cukup membuat Jordan mengerti kalau kekasihnya sedang tidak baik-baik saja.
"Putar balik? Maksud kamu enggak jadi ke Bandung, Re?" Jordan bertanya-tanya, sebentar lagi mereka akan memasuki area pintu tol yang mengarah menuju Bandung.
"Iya, kita pulang aja."
Jordan mengangguk memahami tanpa perlu bertanya, apa pun yang kini Renita pikirkan pasti yang terbaik. Jika saja segala hal yang dipikirkan kekasihnya bisa mudah terbaca, maka Jordan tak perlu menyimpan tanda tanya. Ia kesal setengah mati karena Renita tak mudah mengatakan masalahnya sejak Jordan datang menjemput di dekat area kost, Renita hanya berkata jika ia ingin pulang ke Bandung untuk mencari seseorang. Namun, kini Renita berputar haluan untuk keresahan dalam benaknya.
Jordan mengalah untuk memutar balik arah dari jalur seharusnya, untung saja mereka menemukan persimpangan. Kini mobil tak lagi mengarah ke Bandung setelah Renita memutus keinginannya dalam sekejap, yang jelas ia berpikir cukup lama untuk meyakinkan diri akan benar-benar pulang ke Bandung atau tidak.
"Kalau boleh tahu, kenapa enggak jadi, Re?" Jordan memulai rasa ingin tahunya.
"Nggak apa-apa, mending kita jenguk ibu kamu aja, Jordan. Kasihan dia selalu kesepian."
"Oke, tapi kamu enggak ada niat cerita sesuatu sama aku?"
Renita menggeleng. "Lain kali aja, ya. Nggak apa-apa, kan?"
Tangan kiri Jordan terulur menyelipkan anak rambut Renita yang terurai bebas, ia tersenyum tipis seraya mengangguk mencoba memahami keputusan kekasihnya. "Nggak apa-apa, kapan pun kamu cerita aku pasti siap kok, Re."
Renita ikut tersenyum, menyakitkan memang jika mengingat kejadian pagi tadi, rasanya seperti deja vu seolah Renita kembali pada masa lalu. Suara-suara Selina seakan berdengung di telinganya tiada henti.
***
"Tante, kita cari udara segar, ya. Pasti bosan kan kalau di dalam terus," tutur Renita seraya mendorong kursi roda yang diduduki Mawar—ibunda Jordan. Perempuan itu mengajak Mawar menyusuri lorong panti hingga tiba di sebuah taman yang tak terlalu luas, tapi rimbunnya pohon serta warna-warni rupa bunga cukup membuat nyaman tempat yang Renita pilih sebagai pemberhentian kursi roda Mawar. "Udara di sini segar banget kan, Tante. Cuacanya juga lagi bagus, langitnya cerah."
Mawar bergeming dengan tatapan kosong, tapi setelahnya seperti orang linglung saat bola matanya memperhatikan ke segala arah seolah tengah meneliti sesuatu. Renita sendiri duduk pada kursi besi panjang bercat putih yang tersedia di taman, sedangkan posisi Mawar berada di sisi kanannya. Di seberang taman adalah trotoar serta jalan raya, pagar besi menjadi pembatas antara dua tempat berbeda tersebut.
Jordan sendiri berdiri tak jauh dari posisi sang ibu serta kekasihnya, ia bersandar pada pilar di koridor seraya memperhatikan interaksi Renita yang masih berusaha berkomunikasi dengan Mawar—meski kedengarannya seperti tidak mungkin, tapi cara perempuan itu berbicara dengan rona berseri-seri di wajah cukup membuat Jordan senang. Paling tidak perempuan yang ia cintai kini juga bisa menerima kondisi ibunya, berbeda dengan Sarah yang justru membuat psikis Mawar makin tak keruan.
"Kalau Tante sembuh. Jordan pasti yang paling bahagia." Renita menatap Mawar seraya mengusap lembut kepala wanita itu. "Rere juga sayang sama Tante, semoga Tante lekas sembuh, ya."
Mawar menoleh menatap Renita dengan ekspresi yang masih sama, linglung kebingungan, tapi perlahan telempap kanan Mawar terangkat menyentuh sisi wajah Renita. Tak ayal kekasih Jordan tersenyum menanggapi perlakuan Mawar, bahkan bola matanya mulai berkaca sekarang.
"Tante, cepat sembuh, ya. Jordan butuh ibunya." Kaca yang ditahan agar tak retak akhirnya luluh lantah juga dan berakhir menjadi aliran air yang terjun menyapa wajah Renita. "Setiap anak pasti butuh ibunya, Rere juga. Jordan cukup beruntung karena masih bisa melihat ibunya setiap hari, tapi Rere?" Suaranya mulai tercekat, nyeri yang selalu bercokol di dada kembali terasa. "Ibu Rere nggak tahu di mana, apa dia nggak mencintai Rere?"
Ibu jari Mawar juga tak segan mengusap air mata Renita, wanita itu menggeleng sebelum tangan lainnya turut serta menyentuh wajah kekasih Jordan. Sayangnya, tangisan Renita makin meradang diperlakukan selembut itu.
"Tante pasti sayang banget kan sama Jordan, pasti Jordan adalah anak yang penuh cinta di mata Tante." Renita memaksakan diri terus berbicara meski kerongkongan terasa sakit, tangannya ikut menyentuh tangan Mawar yang masih bergrilya di wajahnya.
Jordan masih memperhatikan mereka dari jauh, awalnya ia sanggup melukis senyum tatkala sang ibu sudi menyentuh orang asing yang baru dua kali menemuinya, tapi air muka Jordan mulai berubah ketika menyadari kalau Renita menangis di sana. Ia bergerak cepat menghampiri mereka sebelum berjongkok di depan kursi roda Mawar.
"Re, kamu kenapa?" tanya Jordan ikut khawatir.
"Jangan menangis cantik." Suara Mawar terdengar juga.
"Aku nggak apa-apa." Renita menjauhkan tangan Mawar darinya sebelum menyeka seluruh air mata menggunakan tangan sendiri. "Aku terharu sama sikap ibu kamu, Jordan. Dia lembut, kalau dia nggak di tempat ini pasti sifat aslinya lebih kelihatan. Ibu kamu penyayang banget, kan?"
"Iya." Jordan beralih menatap sang ibu yang enggan beralih dari wajah Renita. "Ibu itu paling istimewa, kalau suruh pilih antara ayah atau ibu, aku ada di barisan paling depan untuk memilih ibu."
"Aku mau ke toilet sebentar ya, Jo. Nggak enak kalau dilihat orang-orang malah lagi nangis di sini," izin Renita sebelum beranjak meninggalkan mereka, tatapan Mawar masih mengarah mengikuti ke mana perginya kekasih Jordan.
Begitu sampai di toilet setelah sempat bertanya pada suster di koridor, Renita menutup pintu rapat sebelum menghampiri wastafel, menatap wajahnya yang sembap berlinang air mata. Renita terlalu sering menangisi ibunya, entah Selina—sang ibu tiri—atau ibu kandung yang entah di mana rimbanya hingga sekarang. Apa mereka juga pernah menangis untuk Renita? Apa ibu kandungnya tak pernah mencari keberadaannya?
Jika dipikir-pikir lagi setiap perkataan kasar yang dilontarkan Selina ada kebenaran terselip, terkadang sebuah kejujuran bak belati yang siap menikam. Jika ibu kandungnya mencintai Renita, tak mungkin ia ditinggalkan—sampai Renita seringkali berpikir buruk tentang alasan mengapa ia harus dilahirkan dan dipaksa menikmati dunia yang tak pernah ramah untuknya.
Renita menyalakan kran wastafel sebelum membasuh wajahnya menggunakan air yang mengalir, ia meraih tisu yang tersedia di sana untuk mengeringkan wajahnya. Kini air mata telah benar-benar samar, tangannya merogoh ponsel dari saku celana. Meski ponsel barunya hanya diisi nomor Jordan saja, tapi Renita selalu mengingat nomor Selina di luar kepala.
Ia memberanikan diri memasukan nomor Selina pada ponsel barunya, mencoba menghubungi wanita itu meski tiada kalimat rindu yang mungkin Renita dengar tatkala sang putri jauh dari pandangan.
Renita menunggu dengan sabar panggilannya diangkat saat ponsel tersebut ia tempelkan di telinga kanan, ujung telunjuk kiri Renita terlihat mengetuk permukaan wastafel bersama tatapan mengarah pada kaca oval di depannya.
"Hallo, siapa nih?" Suara Selina akhirnya terdengar, tapi Renita memutuskan diam, ia hanya ingin mendengar suara ibu tirinya. "Eh, ini siapa kok enggak mau ngomong? Salah sambung apa gimana?" Jeda beberapa detik yang kosong tanpa suara, hanya desah napas masing-masing. "Dasar nggak jelas, gue matiin nih." Akhirnya panggilan itu berakhir sepihak, Renita tak menyesal saat ia tak mengeluarkan sepatah kata pun tadi, setidaknya ia masih bisa menarik napas lega menyadari ibunya baik-baik saja.