Tok-tok-tok!
Tangan kurus berbalutkan sweater kini menarik kenop, membiarkan pintu terbuka saat seseorang menunggu dengan sabar di luar rumah, ia hanya tetangga sebelah, tapi kecemasannya tak bisa disingkirkan setelah dua harian Renita tak ada kabar, nomor gadis itu tak bisa lagi dihubungi, membuat pikiran dipenuhi banyak pertanyaan.
Wajahnya melukis senyum begitu penghuni kost yang malam ini ia datangi membuka pintu, perlihatkan wajahnya meski tampak pucat, satu hal yang membuat Alam mengernyit adalah kain kasa membalut lengan kiri Renita, gadis itu langsung sembunyikan lengannya di balik punggung saat menyadari keingintahuan yang belum disampaikan tetangga sebelah berjenis kelamin laki-laki itu.
Mereka saling tatap untuk beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing pada hal yang berbeda, jika Alam lebih condong pada rasa cemas yang kian membuncah, beda lagi dengan Renita—ia justru mengkhawatrikan pertanyaan yang mungkin terlontar dari bibir Alam.
"Hai, Re," sapa Alam, "elo udah makan?" Ia ulurkan kantung putih dalam genggam, sebuah styrofoam berada di dalamnya.
"Makasih, Bang." Renita meraihnya, rona di wajah itu memang telah berubah akhir-akhir ini, tak ada merah muda lagi, tapi sendu dalam abu-abu. "Abang sendiri nggak makan?"
"Udah kok." Ada canggung yang merajam, banyak pertanyaan—tapi entah bagaimana mengutarakan, salah tidak jika bertanya sebab cemas meski mengarah pada privasi seseorang?
"Mau masuk?" tawar Renita.
"Enggak, gimana kalau ngobrol di sini aja."
"Ngobrol, ya?" Renita mulai menelisik sesuatu, pasti banyak dialog akan mengudara meski entah bagaimana merangkai ekspresi saat mengatakannya.
"Oke." Renita hanya diam saat Alam bersila di dekat pintu, lebih tepatnya di permukaan lantai, untung saja Renita sudah mengepelnya sore tadi setelah keadaan cukup berantakan di bagian depan kost—sebab ia tinggal beberapa hari. Renita akhirnya ikut bersila di ambang pintu, ia letakan kantung tadi dalam pangkuannya, sungguh jika ia bisa membaca pikiran Alam—inginnya menyingkir dengan cepat.
"Lo pulang ke Bandung?" Pertanyaan pertama akhirnya mengudara, Alam menelisik lebih jauh jawaban yang tersimpan di sudut mata Renita, atau gadis itu tengah merangkai segala alasan sesungguhnya.
Gadis itu menggeleng. "Aku nggak ke mana-mana."
"Tapi dua hari nggak ada, dari hari Minggu kayaknya jemuran di luar terus, pintu di kunci. Terus ke mana?" Alam langsung pada intinya, siapa yang tak cemas jika teman kost sebelah yang notabene anak gadis baik-baik lenyap tanpa kabar, anehnya jika Renita sengaja pergi—pasti jemuran di depan kost harusnya dirapikan, meski hari itu hujan, tapi Renita tetap menjemurnya di teras—lebih tepatnya di bawah atap beranda.
"Aku ada urusan, Bang." Renita menunduk tak ingin berlama-lama bertatapan dengan Alam, ada sedikit rasa takut bercampur canggung yang terus mendominasi atmosfer di sekitar mereka. Sungguh, Renita tak ingin mengakui apa pun, tapi ia tak tahu caranya menjelaskan atau bercerita perihal kepalsuan.
"Penting banget?" Alam mendesah. "Maaf kalau malah kayak sensitif banget sama lo, gue cuma—cemas aja, Re. Nomor lo aja susah dihubungi, apa ada yang gangguin elo?"
Ada, tapi aku nggak tahu cara ngomongnya. Bola mata Renita terasa panas tiba-tiba, ia beranjak sebelum berkata, "Maaf ya, Bang. Kayaknya aku mules, nanti kita bicara lagi." Ia langsung masuk dan menutup pintu, membiarkan Alam semakin kesal saat segala pertanyaannya belum menemukan sebuah jawab.
***
Ia berdiri di depan cermin usai kenakan seragam kerjanya, Renita bahkan telah melepas kain kasa dan menggantinya dengan dua buah plester yang kini tetap menutupi goresan pisau di lengan kiri, ia tak ingin membuat teman-temannya kian curiga setelah menghilang tanpa kabar tempo hari.
Gadis itu lantas keluar kost setelah urusan rapi-rapinya selesai, tak lupa ia kunci pintu sebelum bergerak pergi menjauh dari sana. Hari ini Renita benar-benar melihat mentari masih bersinar, ia mungkin naif dan putus asa menghadapi hari di mana Jordan begitu mengerikan di matanya, hari di mana Jordan merebut paksa satu hal yang selalu Renita pertahankan setiap detiknya. Entah harus apa ia sebut Jordan setelahnya, mungkinkah serigala jahat?
Bahkan saat langkah kakinya terus mengarah hampiri halte busway, pikirannya sesekali ditarik paksa dan jatuh pada memori lama, ia tak suka mengingat segala hal yang membuatnya rasakan nyeri di ulu hati, tapi melupakan memang butuh waktu meski sekali bisa saja menenggelamkan memori buruknya hingga ke dasar, lantas esok tiba-tiba mengapung begitu mudah saat orang lain sengaja memancingnya naik ke permukaan. Seperti yang Jordan lakukan.
Tak ada binar semangat di wajah gadis itu, ia juga tak tahu musik jenis apa yang harus didengarnya saat berada di busway, Renita hanya melamun dan melamun ketika berada di antara kerumunan orang-orang, semua suara di sekitar seakan tak mampu menembus gendang telinga, tak sanggup mengusik lamunan panjangnya.
"Lo kenapa kemarin-kemarin enggak masuk, nggak ada surat dokter lagi. Pergi ke mana?"
Renita bahkan tak mendengar suara Vita yang begitu cempreng di telinga, jika orang lain lawan bicaranya mungkin mereka sudah marah-marah agar Vita menurunkan volume suaranya. Gadis itu masih menyamai langkah Renita meski si pemilik raga sama sekali tak menoleh, mengeluarkan sepatah kata saja tidak, mereka masuki area supermarket, berjalan di antara banyaknya rak berisikan jenis-jenis barang.
"Re, pacar lo kemarin nyariin." Vita menepuk bahu gadis itu, membawa pemiliknya hingga menoleh. "Lo kenapa, sih? Dari datang ngelamun aja. Banyak masalah, ya?"
"Eum—kamu tadi tanya apa?" Renita mencoba biasa saja.
"Kemarin-kemarin si Barra cariin lo ke sini, dia jemput pas sore—terus tanya ke orang-orang, dia cemas banget cariin lo. Emang nggak kasih kabar ke dia, Re?"
Renita ingin terbahak kencang kali ini, separuh pikiran warasnya meronta agar disingkirkan, terdengar begitu lucu saat Vita menganggap kalau Renita dan Barra sepasang kekasih. Sedangkan kenyataan? Bahkan apa pun yang baru Renita alami adalah segala hal tentang Barra, laki-laki itu menjadi alasan utama iblis merasuk dalam jiwa Jordan.
"Aku, aku sama Barra udah putus," aku Renita, biar saja awal kebohongan juga diakhiri kebohongan. Mereka letakan tas di loker masing-masing.
"Serius putus, tapi kenapa?" Vita semakin ingin tahu, ia bahkan menahan lengan Renita saat temannya hendak keluar ruang karyawan. "Gue mau dengar, Re."
"Karena udah nggak cocok aja, kebanyakan orang pasti kayak gitu, kan?"
"Iya, sih. Tapi banyak orang yang iri sama lo, kan banyak yang suka sama Barra, kalau lo putus sama Barra artinya lo bebasin siapa aja dekatin Barra, kan?"
Satu kekonyolan kembali terdengar, Renita merasa berdiri di depan panggung opera—di mana semua pemainnya melangsungkan kebohongan meski setiap penonton tahu. "Ya nggak apa-apa, semua orang bebas dekati dia."
"Terus lo pacaran sama siapa sekarang?"
"Aku, sama ...." Renita berpikir matang-matang, bola matanya bergerak ke kiri dan kanan. "Jordan."
***
Renita mempercepat langkah saat laki-laki yang kini mengejarnya terus menyerukan nama, harusnya Renita sadar kalau hal itu juga akan terjadi, seperti hari-hari sebelumnya—di mana Barra datang menjemput dan bertingkah seolah mereka memang sepasang kekasih, jika saat itu semua terasa mudah dilakoni, kali ini benar-benar mengerikan. Renita tak ingin terjebak di apartemen Jordan dan bertingkah menjadi rapunzel yang baik saat si pemilik rumah mengurungnya.
Renita harus menghindari Barra!
Sayangnya, laki-laki itu terlalu batu untuk memahami, sebab tak ada suara penjelasan yang terlontar dari bibir Renita, jadi jangan salahkan Barra yang masih mengejarnya, menarik lengan Renita hingga mereka berhadapan.
Barra lantas terpaku pada sikap Renita yang baru saja menepis kasar tangannya. "Gue tahu yang terjadi sama lo, kok."
"Terus ngapain masih ngejar kayak gini?" Kepala Renita mulai mendidih, jika sudah tahu mengapa bersikukuh melakukan, Barra sebenarnya tolol atau memang ingin Renita mati secepatnya? Barra menekan Renita memasuki kandang iblis jika terus saja mengusik gadis itu—padahal sudah tahu inti permasalahan mereka.
"Gue mau kita negosiasi, Re."
"Negosiasi apa?" Mereka berdiri di tepi jalan, tak jauh dari tempat kerja Renita, Barra meninggalkan mobilnya persis di tepi jalan depan supermarket.
"Mending lo tinggalin Jordan, dia nggak baik buat lo, gue nggak ngerti alurnya sampai kalian saling kenal, tapi serius—tinggalin Jordan sebelum lo nyesal." Barra berkata dengan yakin.
Renita tersenyum kecut, menyesal? Sudah tempo hari ia mengutuki nasib buruknya.
"Mending kamu pergi, sebentar lagi Jordan bakal ke sini, aku nggak mau ada ribut-ribut." Renita menyingkir, tapi Barra menghadangnya. "Jangan batu, kamu nggak bisa ikut campur privasi orang lain, dan selama ini kita nggak ada hubungan apa-apa."
"Terus Jordan siapa elo, Re!" Bola mata Barra menyala saga, amarah langsung bertahta.
"Pacar! Dia pacar aku! Sekarang ngerti kamu! Terserah apa pun masalah kalian di masa lalu, aku nggak mau terjebak di tengah-tengahnya. Aku pilih Jordan, jadi kamu yang mundur." Renita kembali menyingkir, saat Barra lagi-lagi menghalangi langkahnya—ia tetap melangkah sebelum dorong laki-laki itu menjauh, menerobosnya tanpa canggung lagi.
"Re! Lo harusnya tinggalin Jordan! Temperamen dia tinggi, lo bisa mati kalau terus-terusan sama dia."
Langkah Renita terhenti saat mendengar seruan itu, ia sudah mengalaminya jauh sebelum Barra mengatakan, hampir mati tercekik bersama rasa sakit. "Kamu tahu segala hal tentang Jordan, dan aku juga tahu satu hal tentang kamu Barra. Si laki-laki kejam yang berusaha bunuh orang lain malam itu."
Dua detik berikutnya Barra langsung membeku di tempat, ia tak mampu berkutik atau sekadar menyela perkataan Renita tadi, ia hanya mampu mengembuskan napas seraya tatap kepergian Renita yang kian menjauh.
***