Malam ini tak terpikirkan oleh Renita jika seseorang sudi membawanya menuju sebuah pasar malam, yang membuat Renita merasa rancu adalah sikap Jordan seolah kontradiksi, laki-laki itu bahkan mengaku baru pertama kali mengajak perempuan ke pasar malam, biasanya laki-laki akan mengajak kekasihnya ke mall, berkeliling di sana seharian seraya habiskan uang—asal pasangan senang.
Berkali-kali Renita mengajak Jordan untuk pulang jika merasa tak nyaman berada di sana, tapi berulang kali juga Jordan meyakinkan diri jika ia akan tetap di sana hingga Renita bosan. Cinta itu seperti bunglon, selalu bisa belajar beradaptasi dengan sesuatu serta tempat yang baru. Jordan hanya ingat semasa kecil sebelum ibunya benar-benar kehilangan akal sehat mereka pernah datang ke taman bermain yang cukup megah, lebih tepatnya di Singapura.
Kora-kora, komedi putar, rumah hantu hingga bianglala yang begitu sempit pun telah keduanya masuki. Apa pun yang Renita ingin coba, Jordan juga ingin mencobanya meski sikap laki-laki itu pada euforia sekitar terlihat kaku. Untungnya, genggam tangan Renita mampu merelaksasikan syaraf motoriknya yang menegang.
"Kamu mau permen kapas nggak?" tawar Renita saat mengajak Jordan duduk pada kursi kayu panjang di depan pedagang sosis bakar.
"Kalau Rere mau, aku juga mau." Ia benar-benar mengikuti perintah, terdengar manja dan menggemaskan.
"Oke, tunggu sebentar, ya." Renita melenggang hampiri penjual permen kapas tak jauh dari tempat Jordan ditinggalkan, tak perlu menunggu lama Renita kembali seraya membawa gumpalan permen kapas merah muda cukup besar lengkap dengan plastik pembungkusnya. "Kamu tahu dari siapa ada tempat kayak gini?" Ia duduk di sisi Jordan seraya buka plastik, mencubit sedikit demi sedikit permen kapasnya.
"Waktu mau ke kost kamu, Re. Kalau kamu mau tempat yang lebih baik dari ini, aku bisa bawa kok. Mau ke mana? Jepang, Paris, New York bakal aku turuti asal kamu senang."
Rere menggeleng, ia mencubit lagi makanan merah muda itu dan menyuapkannya ke bibir Jordan. "Kita nggak perlu ke mana-mana, cinta itu bukan tentang seberapa jauh kamu bisa bawa pasanganmu keliling dunia, tapi seberapa jauh kamu bisa membuatnya tetap bertahan di samping kamu."
"Aku senang ketemu kamu, maaf ya, Re."
Renita menyuapkan lagi permen kapasnya. "Kita pulang, yuk. Udah makin malam, besok aku harus kerja." Ia beranjak seraya raih tangan Jordan, menariknya keluar dari tempat itu, akhir-akhir ini sikap Renita semakin berubah, ia lebih lunak dan lembut pada Jordan.
***
Mobil melaju pergi meninggalkan pasar malam yang semakin ramai meski angka jarum jam sudah menunjuk pukul sembilan malam, mungkin karena jarang sekali ada, jadi orang-orang bisa lebih lama menikmati waktu di tempat itu bersama keluarga atau pasangan mereka.
Renita masih sibuk menghabiskan permen kapasnya seraya sesekali menatap Jordan. Akhir-akhir ini cukup banyak yang Renita sadari, mereka memiliki kesamaan, rahasia kecil yang sudah tak menjadi rahasia lagi, keterbukaan mungkin membuka pintu yang lama tertutup rapat. Setiap pertemuan akan meninggalkan kesan, entah pahit atau manis, tapi Renita mengerti jika pertemuannya dengan Jordan mungkin masih meninggalkan sesuatu yang samar. Renita juga tak tahu, apa Jordan hanya sekadar singgah atau benar-benar menetap hingga esok lagi.
Sejak Renita pulang lagi ke tempat kost, sikap Jordan juga berubah, ia tak lagi kasar dan memaksa. Mungkin karena Renita yang sudah bersedia membuka pintu, ia klaim menjadi milik sendiri.
Suara musik RnB mengalun selama perjalanan. Permen kapas Renita sudah hampir habis, tapi sosok di sebelahnya sama sekali tak berucap sepatah kata, hanya fokus pada jalan raya seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Nanti hari Minggu kita jenguk ibu kamu, ya." Renita mengawalinya.
"Boleh. Aku tanya boleh?"
"Tanya aja."
"Kamu kasihan sama aku atau karena apa?" Wajahnya serius, ia bahkan memelankan laju mobilnya.
"Aku bukan perempuan yang bisa bilang dengan gampang aku cinta kamu, Jordan. Aku cuma ngerasa kalau kita itu lengkap, kurang lebihnya sama aja." Renita tak ingin menatapnya, ia juga kehilangan selera untuk habiskan kembang gula itu. "Kamu yang ajak. Kamu yang bawa masuk, terus tiba-tiba kamu tanya alasan kenapa aku mau masuk?" Ia menoleh. "Aku bisa jawab karena aku bersedia masuk, mengerti?"
"Ingat ini ya, Re. Di seluruh dunia, cuma aku yang paling cinta sama kamu, jadi—" Jordan tak melanjutkan dialognya, ia mengernyit tatap motor yang terparkir di tepi jalan dekat gang masuk tempat kost Renita berada, seseorang yang bertengger di jok motor membuat Jordan mendidih dalam hitungan detik. Ia lantas menginjak rem hingga mobil terhenti tepat beberapa centi di depan motor.
BARRA? Renita menjerit dalam hati, ia tak habis pikir bisa melihat sosok itu saat Jordan bersamanya, bahkan kejadian saat Barra menemuinya tempo hari usai pulang kerja pun tak Renita katakan pada Jordan, ia tak ingin lagi ada konflik antara keduanya.
Belum sempat Renita menetralkan degup jantungnya, Jordan sudah lebih dulu turun dari mobil dan melangkah cepat hampiri Barra yang justru tersenyum menatap rival lamanya, ia seperti menanti apa yang terjadi sekarang.
"Jordan!" Renita melepas sabuk pengaman, buru-buru turun saat tanda-tanda bahaya seakan menghiasi tempat itu, dan ia tak bohong. Jordan menarik paksa Barra agar turun dari motor sebelum layangkan tinju yang lama ia simpan sebagai hadiah, tapi Barra tak tinggal diam, ia beranjak dengan cepat dan membalas pukulan Jordan. Tak pelak hal itu semakin membuat keduanya terbawa dalam arus keributan di tepi jalan yang masih ramai, lucunya beberapa orang di tepi jalan sama sekali tak melerai, mereka hanya diam menjadi penonton yang baik.
"Jordan, berhenti!" Renita hanya bisa berteriak, ia bingung menghadapi situasi yang selalu dicemaskannya usai mengetahui konflik mereka. "Kalau nggak berhenti aku lapor polisi!" Sayangnya, ancaman itu tetap tak berpengaruh apa pun, Jordan dan Barra tetap saja adu jotos hingga wajah masing-masing lebam dan mengeluarkan darah di beberapa titik.
"Lo kalau mau gue mati! Bunuh gue langsung! Jangan jadi banci nyuruh orang!" maki Jordan usai ia menendang tulang kering Barra hingga rivalnya itu tersungkur di aspal, setelahnya perlakuan Jordan lebih brutal saat ia menendang pinggang Barra berkali-kali meski lawannya sudah terkapar tak berdaya. Setelah kejadian sayatan punggung malam itu, baru hari ini Jordan bisa melihat lagi wajah Barra dan memukulinya tanpa berpikir panjang lagi, kobar amarah semakin membesar dari netra kekasih Renita itu, dendam yang lama terpendam sedikit bisa direalisasikan. Singa yang lama terlelap akan menyerang mangsa dengan brutal jika ia sudah sangat kelaparan.
"Jordan! Berhenti!" Renita mendekatinya, menarik lengan Jordan agar menjauh dari Barra yang sudah begitu mengerikan keadaannya.
"Tolong jangan halangi aku, Re. Kamu tahu kan kalau dia yang mau bunuh aku, kamu tahu, kan, Re. Jadi, tolong ngerti." Wajah Jordan mengiba dan berkaca, ia tepis begitu saja tangan Renita sebelum dekati lagi Barra yang sama sekali belum beranjak, setiap sendi tubuhnya terasa sakit oleh amuk singa yang kini duduk di perut Barra dan kembali melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajah lawan. Barra lantas melindungi wajah yang sudah babak belur itu. "Lo mau gue mati, lo bahkan mau ambil Renita dari gue. Sekarang lo yang bakal gue bikin mati!"
"Jordan, jangan!" Renita berteriak kencang, ia tarik Jordan agar berdiri bagaimana pun caranya, ia tak sudi jika harus menyaksikan adegan pembunuhan di depan mata. "Demi aku, Jordan! Demi aku!"
Jordan berhenti memukuli Barra, ia tatap Renita yang menarik lengannya sebelum berdiri dan menjauh dari sosok Barra. Napas keduanya sama-sama tersenggal, Renita terlihat menangkup wajah Jordan, menatapnya dengan mata berkaca. "Jangan kayak gini, demi aku, Jordan. Kamu jangan kayak gini, demi aku."
"Dia harus mati, Re." Jordan menunjuk ke arah Barra yang tak lagi berkutik. "Dia nggak bisa rebut kamu dari aku, dia udah cukup ngerusak semuanya."
"Nggak ada yang bakal rebut aku." Ia tarik Jordan menjauhi tempat itu, membawanya memasuki area kost agar Jordan bisa lebih lunak, bukan seperti manusia kerasukan setan.
Mereka sudah masuk ke dalam kost, Renita menutup pintu rapat dan menguncinya, ia mendudukan Jordan di karpet sebelum bergerak cepat memasuki kamar, meraih alkohol swab serta kapas dari laci.
"Kamu tahu kenapa dia di sana, Re. Dia sengaja mancing aku biar cemburu," ucap Jordan saat Renita mengusapkan kapas yang sudah ditetesi alkohol swab pada ujung bibir Jordan yang robek. Laki-laki itu bersandar pada tembok di belakangnya.
"Terus kamu terbakar? Kamu jangan emosional kayak tadi, nggak akan ada masalah yang selesai kalau pakai otot terus. Aku tahu kamu marah, tapi dendam itu nggak baik."
"Kamu punyaku, Re. Kamu punyaku." Karakter posesifnya bahkan kembali ditunjukan, rasa takut Jordan tentang dikhianati kembali muncul, ia tak ingin lagi rasa percayanya dihancurkan oleh siapa pun yang dicintainya, Jordan trauma.
"Kalau kamu berantem lagi, aku pergi." Renita refleks mengucapkan itu, ia sekadar mengancam, tapi berhasil membuat Jordan menahan tangan Rere yang masih sibuk mengobati luka di wajahnya. Tatapan laki-laki itu persis seperti saat berkobar menatap Barra, ia tampak tak terima.
"Aku harap kamu nggak akan ngomong kayak gitu untuk yang kedua kalinya, Re. Aku bisa lebih dari waktu itu, aku bisa bawa kamu jauh dari Jakarta biar nggak ada yang ngusik lagi, karena cuma aku yang boleh kamu cinta di dunia ini."
Renita membeku, ia takkan bohong kalau rasa takut merambat di sekujur tubuhnya, cara berbicara serta tatapan Jordan membuat syaraf motorik Renita melemah, ia langsung bisu dalam sekejap, belum lagi saat ingatan Jordan mencekiknya di dekat kebun pisang hari itu. Apakah Jordan diciptakan dalam kombinasi iblis dan manusia?
Perlahan sorot mata Jordan meredup, ia bisa membaca ketakutan dalam diri kekasihnya, ia lepaskan tangan Renita sebelum mengusap pelan wajahnya. Tatapan Jordan kembali bersahabat. "Maaf, aku kebawa emosi, Re. Aku nggak mau kamu sama siapa-siapa, kamu punyaku." Sayangnya, Renita tak bereaksi apa-apa, gerak tubuhnya seakan mati, hanya desah napas serta kedip mata yang mengartikan kehidupannya, ia benar-benar takut menghadapi Jordan. Sikapnya bisa sebringas itu saat melihat Barra, membuat Renita mulai berpikir bagaimana kelak ia akan menjalani kehidupan dengan Jordan.
"Aku cinta kamu, Re. Akan selalu begitu." Jordan menarik tengkuk Renita, secepat kilat ia mereguk bibir kekasihnya, menyalurkan rasa takut kehilangan sekaligus menegaskan jika Renita hanya bisa dimiliki Jordan.
***