"Kamu serius?" Renita menganga seraya tunjuk isi kantung plastik berisi sayuran yang dibeli Jordan, sebuah handuk melingkari mahkota basah gadis itu, ia baru selesai mandi dengan air panas dan kenakan baju yang Jordan belikan—tergeletak pada ranjang kamar Renita, barulah gadis itu keluar—dapati begitu banyak sayuran di kantung belanjaaan.
"Ya, iya." Jordan duduk di meja. "Tadi suruhnya beli sayuran, kan? Salah, ya? Kalau sayuran bentuknya nggak kayak gitu?" Ia garuk dagunya, menatap Renita yang kini berkacak pinggang sebelum meraup wajah, mengeluarka satu per satu sayuran yang Jordan beli di atas meja.
"Maksud aku bukan yang sebanyak ini juga, Jordan. Kamu mau buka warteg apa gimana? Kan kita cuma berdua." Renita menggeleng, bingung menanggapi perilaku Jordan yang agak menjengkelkan itu, tapi si pelaku justru tersenyum saat mendengar kalimat terakhir yang Renita ucapkan; kita kan cuma berdua, seolah kalimat itu menjadi satu hal yang cukup berharga bagi Jordan.
"Ya kan masih ada kulkas, simpan aja di sana, muat sebulan. Coba aja masakin sayur, siapa tahu gue jadi doyan sayur." Ia turun dari meja, melangkah keluar dapur. "Selain buatan ibu pastinya." Menoleh seraya tersenyum miring, berkedip menggoda Renita.
"Barudak gelo, sia." Renita berdecak, ia mengalah dan masukan separuh sayuran ke dalam kulkas, separuhnya lagi siap Renita masak, karena Jordan membeli cukup banyak, maka ia yang harus menghabiskannya juga, seketika senyum licik muncul di wajah Renita. "Biar pikirannya sehat, jadi harus makan yang sehat-sehat, Jordan."
Laki-laki itu memasuki kamar, duduk di tepi ranjang sebelum keluarkan ponsel dari saku celana, tapi setelahnya dering ponsel lain membuat Jordan beranjak hampiri nakas, ia keluarkan ponsel Renita yang sengaja disembunyikannya setelah gadis itu pingsan tempo hari.
Alis Jordan menyatu saat tanggapi nama seseorang yang hubungi Rere kali ini, Barra. Ia mendiamkan panggilan itu sejenak, membiarkan panggilan berakhir tanpa diangkat. Namun, setelahnya masih ada panggilan kedua, membuat Jordan mengalah dan angkat panggilan, mendekatkan ponsel ke telinga kanan.
"Hallo, Re? Lo baik-baik aja, kan? Mbak Arista bilang katanya lo nggak masuk hari ini, kenapa?"
Suara Barra benar-benar kentara, lebih jelas lagi saat rivalnya itu mengkhawatirkan keadaan Renita sampai tangan Jordan refleks mencengkram ponsel itu, ada amarah tertahan yang terlihat di bola matanya.
"Re, lo nggak apa-apa, kan? Apa perlu gue ke tempat kost lo sekarang?"
Jordan makin kesal, dadanya terasa sesak saat isi kepalanya mulai menerka-nerka sedekat apa Barra dan Renita tanpa sepengetahuannya, bahkan sampai gadis itu rela menolong. Oke, Renita gadis baik, bahkan bukan hanya Barra yang ditolong, tapi Jordan juga—meski mereka tak saling mengenal, jika Renita tak mati-matian menahan rasa takutnya malam itu, mungkinkah Jordan masih ada sampai hari ini?
"Re, Renita?" Suara Barra masih terdengar saat tak ada jawaban, tapi setelahnya Jordan berdeham. "Kok cowok?"
"Gue emang cowok." Akhirnya Jordan sudi berbicara. "Lo siapa?"
"Renita mana? Lo yang siapa, gue pacarnya."
"Mending kita ketemu daripada lo ngaku-ngaku pacarnya Rere, anjing! Kalau lo pacar dia, nggak mungkin dia ada sama gue."
"Kenapa suara lo mirip—" Ada jeda sejenak yang membuat Jordan tersenyum miring. "—Jordan, ini Jordan?"
Tanpa katakan apa-apa lagi, Jordan langsung matikan panggilan, mengganti mode senyap sebelum masukan lagi ponsel Renita ke nakas. Ia lepas satu per satu kancing kemeja tartan, melemparnya ke ranjang sebelum melangkah keluar kamar.
Renita sendiri sibuk mencuci beras yang baru Jordan beli, berdiri di balik tempat cuci piring sebelum menoleh dapati Jordan yang kini masuk dapur lagi, membuka kulkas dan raih sebotol air mineral dingin, meneguknya hingga habis. Tangan kiri berkacak pinggang saat perhatikan Renita yang kini bergerak hampiri penanak nasi, meletakan beras di sana seraya tambahkan air, menutupnya dan tekan ke bawah tombol magic warmer tanpa lupa colok stop kontak.
Gadis itu beralih hampiri meja makan, beberapa sayuran yang dipilihnya terhidang di sana, ia mulai kupas bawang merah dan putih tanpa menoleh pada Jordan yang masih memperhatikannya.
"Butuh bantuan nggak? Bantu berantakin maksudnya." Jordan terkekeh sendiri.
"Ya nggak apa-apa diberantakin, kan kita bagi tugas." Ia menoleh, hampiri lemari etalase dan raih sebuah mangkuk kecil. "Aku yang masak, kamu yang beresin. Benar, kan?" Ia pindah potongan bawang ke mangkuk tadi, berganti raih wortel yang tersedia, mengupasnya.
"Kok—"
"Iyalah, kan harusnya kayak gitu."
"Gue mau bantuin potong aja." Jordan mendekat, ambil alih pisau yang Renita pegang untuk memotong wortel, pertama kalinya ia melakukan tugas perempuan di dapur, jika di rumah—melirik saja enggan, ia hanya akan memaki-maki pembantu jika masakan yang dibuatnya tak cocok bagi Jordan, lantas sekarang ia harus mengeksekusinya sendiri, tapi melihat Renita yang berada di sisi mungkin bisa membuat Jordan berlama-lama di dapur, setidaknya warna-warni sayuran yang ia beli tampak begitu cantik ditambah kehadiran gadis itu.
Ada-ada saja.
"Itu jangan gede-gede, dong. Nanti nggak matang, masaknya kelamaan," tegur Renita saat dapati potongan wortel Jordan tak keruan, besar kecil berantakan. "Ini kayak gini coba." Renita rebut pisau tadi, membiarkan Jordan menyingkir seraya perhatikan gadis itu mengajarinya potong wortel dengan ukuran yang pas.
"Jangan terlalu tebal, jangan terlalu tipis, kita kan mau buat capcay sayur." Renita meliriknya, mengulurkan pisau sebelum bergerak hampiri kabinet atas, tadi pagi ia sempat melihat celmek tersusun di sana, kini diraihnya satu sebelum menepuk bahu Jordan yang mulai sibuk memotong wortel lagi, perlahan mengikuti instruksi Renita tadi. "Kamu pakai celmek dulu coba."
Laki-laki itu memutar arah, membiarkan Renita sedikit berjinjit saat kalungkan tali celmek di lehernya, lalu tampak seperti memeluk saat kedua tangan Renita melingkari pinggang Jordan, mengikat tali celmek di balik punggung. Jordan menunduk, tersenyum simpul memperhatikan wajah Renita dari dekat, bola mata yang tak terlalu bulat, tidak juga sipit, bulu mata lentik dan panjang, hidung mancung serta bibir yang tipis tanpa polesan lipstik sedikit pun, dia polos dan menarik.
Jordan berdeham, membuat Renita menengadah, mempertemukan iris mata mereka dalam satu orbit lurus, tapi cepat-cepat ia alihkan pandang dan mundur saat degup jantungnya tiba-tiba lebih cepat, menginstruksikan rasa gugupnya. Jordan terseyum miring.
"Eum, nanti kalau udah selesai potong wortel, terus brokoli sama kembang kol, ya. Tadi pagi kayaknya aku lihat ada bakso di kulkas kamu, sama goreng nugget aja kali, ya." Ia tersenyum pias sekadar menghapus rasa gugup yang menyerang tanpa diduga itu, ia bergerak membuka kulkas seraya lirik Jordan yang menunduk selesaikan potongan wortelnya.
Renita letakan bakso yang masih utuh dalam kemasannya, tampak Jordan sibuk menyugar poni ketika mahkota pendeknya mengusik bagian wajah, membuat konsentrasinya membantu Renita beberapa kali terganggu.
Renita berpikir sejenak, ia bergerak hampiri panel bawah, membuka laci di bawah sana dan temukan beberapa karet gelang. Ia mendekati Jordan, menarik lengannya sebelum Renita duduk di meja agar bisa meraih rambut laki-laki itu dengan mudah.
"Makanya, melihara rambut itu jangan panjang-panjang, jadinya kan kayak gini, ganggu aktivitas," ujar Renita saat ia mulai kumpulkan poni Jordan, mengikatnya dengan karet gelang seraya terkekeh geli tanggapi hasilnya.
"Apa yang lucu?"
"Nggak apa-apa." Saat Renita hendak turun dari meja, Jordan menghalanginya, menatap wajah itu tanpa kedip, padahal degup jantung Renita sudah netral seperti sedia kala, tapi kali ini marathon kembali berlangsung, membuatnya kesal setengah mati. "Kamu ngapain? Ini nanti masaknya nggak selesai-selesai, aku juga belum sarapan, katanya suruh minum obat." Ah ya alasan yang tepat, Jordan mengalah biarkan Renita turun.
"Elo kapan mau jatuh cinta sama gue?"
***
Lagi dan lagi, kaus yang Renita kenakan pasti oversize. Oke, Renita berusaha paham kalau Jordan tak hafal pada size kaus yang muat di tubuh Renita, lagipula ia tak pernah memintanya, Jordan sendiri yang inisiatif agar gadis itu tetap di sana, agar Renita tak miliki alasan—kenapa ia harus pulang ke tempat kost, Jordan tak ingin kecolongan, membuat gadis itu berkeliaran di luar wilayah teritorinya.
Renita duduk di tepi ranjang, meraih segelas air putih bersama beberapa butir obat dari Dokter Alvin tempo hari, tapi suara gedoran dari luar kamar membuat Renita urungkan niat, ia lirik jam weker pada laci kecil di dekat ranjang yang perlihatkan pukul sepuluh malam.
"Itu Jordan? Baru pulang?" Renita letakan gelas dan obat di tempat semula, ia beranjak hampiri pintu yang sama sekali tak dikunci, menarik kenopnya hingga terbuka, saat itulah Jordan langsung menangkup wajah Rere, mengecup bibirnya tiba-tiba. "Kamu ngapain, sih! Bau alkohol!" Rere mendorongnya hingga punggung Jordan menyentuh tembok di dekat pintu. "Mending balik ke kamar sendiri, kamu mau tidur."
"Nanti dulu dong, gue kan mau tanya." Senyum Jordan terlihat menjengkelkan, belum lagi aroma alkohol yang menguar dari bibirnya, tubuh sempoyongan serta sikap kurang ajar yang membuat Rere terus mendorongnya agar keluar dari kamar, tapi tenaga Jordan masih lebih kuat sekalipun ia mabuk kali ini.
Jordan mencengkram kedua lengan Renita, mendorongnya hingga tersungkur di ranjang dengan tatapan sayu yang bagi Renita begitu mengerikan, gadis itu ketakutan—terutama saat Jordan loloskan hoodie yang perlihatkan tubuh telanjangnya, ia sama sekali tak kenakan kaus, kini mengungkung tubuh Renita yang terus memberontak bersama pukulan yang terus dilayangkannya pada Jordan.
Suara alarm tanda bahaya terus memenuhi pendengaran Renita saat Jordan menciuminya dengan brutal, tak memberi ruang barang sedikit saja agar ia memberontak, teriakan Renita pun tak memberi efek apa-apa, ia terus saja diserang tanpa ampun, membuat air mata Renita mulai meluruh bersama rasa takut menggelepar, bayangan masa lalu berputar seperti kaset rusak ketika bola mata Jordan menemui maniknya.
"Kalau kamu bosan sama saya, perkosa aja anak perempuan itu, saya masih bisa cari laki-laki yang mau nafkahi saya dengan benar."
"Ampun, Bu. Renita minta maaf, Renita nggak akan ulangi kesalahan lagi, ampun, Bu. Jangan bawa Renita ke sana, Renita takut." Erangan gadis SMP itu tetap saja tak membuat Selina mundur untuk menyeret anak gadisnya memasuki sebuah rumah bordil—tempatnya biasa mencari pelanggan, ia sudah lelah mengurusi anak yang entah siapa ayahnya hingga setiap hari harus beradu mulut dengan sang suami yang kerjanya juga hanya mabuk-mabukan, berjudi dan main perempuan, jadi mereka tak ada bedanya.
"Diam kamu! Atau mau dipukul lagi? Mau disundut rokok lagi, nih!" Selina arahkan ujung batang rokok yang menyala ke wajah Renita, untung gadis itu refleks mundur, sudah banyak luka di sekujur tubuh Renita setelah dipukuli orangtuanya, menjadi anak yang tidak pernah dicintai adalah satu hal paling menyiksa Rere seumur hidup, menjadi anak yang terlahir tanpa diinginkan benar-benar membuatnya diperlakukan semena-mena bagai binatang, dan sekarang Selina memaksanya menjadi pelacur seperti sang ibu, benar-benar manusia tak bermoral!
"Anak pelacur pasti jadi pelacur! Jadi, nggak usah nggak nurut!"
"Anak pelacur pasti jadi pelacur!"
"Anak pelacur pasti jadi pelacur!"
Lamunannya terhenti saat rasa sakit terus saja menghunjam, tubuh gadis itu menegang hebat saat diserang sengatan listrik bersamaan nyeri di bagian intimnya, membuat kedua tangan yang terlentang di bawah kungkungan Jordan ikut meremas seprai bersama tarikan napas panjang. Ia hanya dapati Jordan melepas pagutannya, menatap Rere dalam hening yang berkabut, iba pada air mata yang terus saja mengaliri wajah kuarsa itu.
Jordan seperti baru menyadari sesuatu, perkataan Barra tadi tidak benar sama sekali, ia dibohongi dan nekat lakukan hal yang tak pernah dipikirkannya. Kepala gadis itu mendongak tatap langit-langit kamar yang menjadi saksi bisu malam ini, menutup teriakan Renita dari banyak orang, membuatnya semakin terdesak dalam keadaan mengerikan di bawah laki-laki yang baru tersadar dari kegilaannya, merenggut paksa satu hal berharga yang Renita miliki.
"Apa anak pelacur juga akan jadi pelacur, Jordan?" Suara Renita tercekat, ia meringis rasakan perih akibat efek paksaan di bawah sana, tapi Jordan bergeming tanpa kata.
"Gue salah, tapi semua udah terjadi Re, gue mau semua bagian yang Barra sentuh—hilang sama bekas gue."
***