Seseorang tampak meneguk kopi buatan sendiri seraya perhatikan gadis yang masih terlelap di sofa panjang ruang tamu apartemennya, begitu tenang berselimutkan pelengkap ranjang milik Jordan. Ia sendiri berdiri di dekat jendela, menoleh tatap awan pekat saat Jordan belum sempat menutup tirai jendela tempat itu, membiarkan suasana pencakar langit lain kala malam menjadi lukisan yang begitu nyata.
Saat Rere pingsan dalam dekapannya, laki-laki itu bergegas membawanya ke apartemen, meminjam baju perempuan pada pemilik apartemen di sebelah meski baru tadi Jordan memperkenalkan diri sebagai penghuni baru, hal itu terpaksa ia lakukan saat memikirkan tubuh Rere yang menggigil meski pemiliknya terlelap, untungnya juga si pemilik baju sudi meminjamkannya—bantu mengganti pakaian Rere, jika gadis itu hanya pingsan biasa pasti langsung sadar tubuhnya disentuh orang lain. Hanya saja Jordan justru menyuntikan obat tidur pada lengan Rere, membiarkannya terlelap lebih lama hingga malam menjelang.
"Aku di mana." Suara lirih itu membuat Jordan segera menoleh, mendekat hampiri Renita saat gadis itu beranjak duduk seraya singkirkan selimut yang sempat hangatkan tubuhnya, ia memijat kening yang terasa begitu berat oleh pengaruh obat tidur. Jordan letakan gelas kopi di permukaan meja sebelum duduk di sebelah Rere. "Kamu? Ini di mana lagi?" Ia memperhatikan sekitar, lagi-lagi berada di tempat asing. Buru-buru Rere beranjak, melangkah pergi tinggalkan Jordan yang justru bergerak lebih cepat menghadang langkah gadis itu sebelum mencapai pintu utama.
Jordan tarik kunci yang menggantung di lubangnya, memasukan ke saku celana pendek sebelum tatap lurus gadis di depannya, mengernyit tak mengerti dengan tingkah laku Jordan.
"Kamu mau apalagi, Jordan? Belum puas buat yang tadi!" Rere tak sabar memaki. "Kasih kuncinya, aku mau pulang!"
"Mending lo jelasin dulu semua omongan lo sebelum kita ada di sini, Barra itu pacar elo, kan?"
"Aku nggak pacaran sama Barra, aku cuma tolongin dia aja, puas kamu!"
"Tolongin dia? Atas dasar apa? Lo kenal dia sejak kapan, kenapa elo mau aja dibonceng sama dia, disentuh-sentuh sama dia. Hal itu bikin gue yakin kalau kalian emang pacaran! Belum lagi temen lo yang bilang kalau dia sering jemput elo pas pulang. Pantas aja gue udah jarang lihat elo naik busway, jadi itu alasannya."
"Jadi, kamu mau jawaban? Aku cuma punya satu buat jawab semua pertanyaan kamu."
"Jawab sekarang."
Renita mendekat, menunjuk dada Jordan seraya berkata, "Apa pun urusan dalam hidup aku, kamu nggak berhak ikut campur, Jordan. Kamu bukan siapa-siapa."
"Oh, cuma itu jawabannya." Jordan langsung mencekal pergelangan tangan Rere, menariknya ikuti langkah Jordan yang kini mengarah pada dapur.
"Kamu mau apa lagi, Jordan! Jangan keterlaluan!"
"Lo yang keterlaluan! Main-main pas gue udah kasih tahu aturannya!"
"Aku bukan pacar kamu!"
Keduanya berdiri di dekat meja makan tepat setelah Jordan meraih sebilah pisau dari tempatnya, memaksa kedua tangan Rere agar mencengkram benda itu dan mengarahkannya ke perut Jordan.
"Kamu gila!" Rere mendelik tak percaya, ia dipaksa membunuh seseorang oleh korbannya sendiri. "Lepasin aku, Jordan!"
"Ayo tusuk, ini kan yang lo mau? Jangan cuma samar aja di punggung gue, tusuk dari belakang. Sekarang langsung aja di depan gue. Tusuk sampai mati, Renita! Tusuk gue sekarang!" Jordan terus mengarahkan tangan Rere agar menusuknya tanpa rasa takut sedikit pun, amarah benar-benar merajai sang jiwa, melenyapkan akal sehat hingga berakhir nekat. "Apa lo nggak tahu Barra itu siapa? Barra itu rival gue, Barra yang udah bikin sayatan di punggung gue. Semua itu ulahnya Barra, pacar elo!"
Renita diam, entah ia harus mengatakan apa usai mendengar pengakuan Jordan yang cukup mencengangkan itu, tapi rasa takut lebih mendominasi Rere kali ini, membuatnya lebih mementingkan cara agar lolos dari tangan Jordan, melepaskan pisau berujung lancip yang begitu mengerikan.
"Kenapa diam, hm? Kenapa cuma diam? Ayo tusuk!" Barra menarik tangan Rere mengarahkan pisaunya ke perut, tapi sekuat tenaga gadis itu menariknya ke belakang. "Atau jangan-jangan elo emang sekongkol sama dia buat ngejebak gue, lo sengaja tolongin gue, padahal Barra yang minta."
"Kamu gila!" Ia makin memberontak saat tindakan Jordan bisa dikatakan brutal, tangan mereka saling tarik-menarik, enggan mengalah hingga pisau akhirnya menukik salah sasaran, menggores lengan kiri Rere sebelum benda tajam itu benar-benar jatuh ke lantai bersamaan darah yang kini menetes tiada henti.
Jordan tatap nanar lengan terluka gadis itu, dadanya terasa sesak usai tak sengaja melukai Rere. Gadis itu diam menutupi bekas sayatannya, membiarkan cairan merah memenuhi telapak tangan Rere.
"Dengar ya, Jordan. Kalau aku emang sekongkol sama Barra, lebih baik malam itu nggak pernah tolongin kamu, biarin kepala kamu pisah dari badan waktu orang-orang itu angkat katana. Aku nggak bakal telepon teman kamu, biarin kamu mati aja waktu itu."
***
Keheningan tercipta setelah Renita mengatakan dialog terakhirnya, detak jarum jam terdengar cukup keras saat keduanya sama-sama bergeming dalam kerumitan isi kepala masing-masing. Tadi Jordan sempat ingin mengobati lengan Renita, tapi gadis itu merebut kotak P3K yang dipegang Jordan, lebih sudi melakukannya sendiri.
Kini luka Rere telah dibalut perban, ia duduk di ujung sofa seraya peluk kedua lututnya dengan tatapan kosong mengarah ke depan. Jordan sendiri dihinggapi rasa bersalah, bukan karena telah memaki serta menuding Rere lakukan hal yang sama sekali tak pernah gadis itu jalankan, tapi karena menggores lengan Rere hingga berdarah-darah.
Rasa perih memang ada, tapi Rere sama sekali tak ingin menghayatinya saat sakit hati justru jauh lebih menyiksa. Ia kesal difitnah, dituduh macam-macam, bahkan diminta membunuh orang lain.
"Re—" Tangan Jordan terulur hendak menyentuh gadis itu, tapi Rere merapatkan tubuhnya, tak sudi dengan tangan kotor Jordan. Baginya, laki-laki itu terlalu jahat untuk dihadapi.
"Kalau aku tahu sikap kamu kayak gini, aku mending nggak pernah kenal kamu," sesal Rere tanpa sudi menatap lawan bicaranya.
Jordan meneguk ludah. "Gue nggak sengaja, gue minta maaf." Ia geser posisi duduknya, memangkas jarak mereka, tapi Rere langsung beranjak.
"Aku mau pulang, Jordan. Jangan buat rasa kecewa aku ke kamu makin besar, aku mau pulang." Wajahnya mengiba, tampak berkaca, ia sudah terluka luar dalam meski waktu belum berputar selama 24jam, tapi luka yang Jordan bagi sudah sangat lengkap.
"Oke, gue antar pulang sekarang." Jordan beranjak. "Gue ambil kunci mobil dulu." Ia melangkah tinggalkan Rere menuju kamarnya di lantai dua, setelah itu kembali saat Rere sudah berdiri di dekat pintu utama seraya meniupi lengan yang terluka meski telah ditutup perban.
"Lo mau maafin gue, kan?" Jordan masih mengharapkan terbukanya pintu maaf.
"Untuk perilaku kamu yang mana?"
"Nggak sengaja bikin lengan elo berdarah."
"Cuma itu? Kamu nggak minta maaf buat semua tuduhan kamu yang gila itu. Harusnya aku lapor ke polisi atas tuduhan penganiayaan, biar kamu dipenjara."
Ekspresi tenang Jordan langsung berubah, ia masukan kunci mobil ke saku celana. "Gue berubah pikiran, mending lo nggak usah pulang, nanti kalau gue masuk penjara pasti lo sama Barra bebas senang-senang di luar sana, ngetawain kegoblokan gue. Iya, kan?"
Renita mendelik. "Kamu gila, Jordan! Aku nggak kayak gitu! Aku mau pulang."
"Sini gue kasih tahu cara biar elo bisa pulang." Ia langsung menarik lengan kanan Rere, membawanya hampiri jendela ruang tamu sebelum berakhir di balik railing balkon. "Coba lo lihat keadaan di bawah dari atas sini. Lo bisa lompat dari sini kalau mau bebas, gampang, kan?" Ia tersenyum miring seolah puas dengan ucapan sarkasnya, Jordan melenggang pergi biarkan Rere yang kini bergeming tatap pencakar langit di depannya sebelum memutar arah, bergerak lewati jendela geser. Berhenti sejenak saat bola matanya dapati sebuah vas kecil terbuat dari keramik, benda itu terletak di permukaan nakas dekat jendela, Rere meraihnya sebelum lempar vas hingga menyentuh bagian belakang kepala Jordan saat laki-laki itu masih melangkah membelakanginya.
Suara vas pecah memenuhi ruangan itu, seketika darah juga mengucur dari tengkuk Jordan. Laki-laki itu bergeming menelan ludah, membiarkan tangannya menyentuh bagian tengkuk yang terasa sangat sakit sebelum rasakan basah di telapak tangan. Lantas diarahkannya tangan itu sebelum bola mata Jordan bisa melihat jelas cairan merah pekat miliknya.
Ia menarik napas dalam-dalam seraya terpejam sejenak, membiarkan sang iblis kembali merasuk. Jordan memutar tubuh tatap tajam Renita, gadis itu refleks mundur saat rasakan bahaya kembali mengancam.
"AKU NYESEL KENAL KAMU, JORDAN!!! LEBIH BAIK AKU BIARIN KAMU MATI MALAM ITU!!!" teriakan lantang Rere justru membuat iblis dalam tubuh Jordan makin liar, sang pemilik tubuh bergerak cepat tanpa melepas tatapan elangnya, tapi Rere langsung berlari menuju balkon, berdiri di balik railing. "Kalau kamu sakitin aku lagi, mending aku lompat dari sini."
"Oh, ya? Lakukan aja, biar gue yang jadi saksi kalau polisi tanya-tanya nantinya."
"Mundur, Jordan! Aku benci kamu!" Rere menyingkir ke sudut railing saat Jordan justru nekat mendekat, tanpa aba-aba lagi ia membungkuk angkat pinggang Rere sebelum menggendongnya ala karung beras di lengan kiri. "Jordan, lepasin aku!" Pukulan bertubi-tubi Rere arahkan pada punggung tegap itu, darah yang keluar dari tengkuk Jordan tampak meluruh basahi leher hingga kaus putih yang tutupi punggungnya begitu merah.
Laki-laki gila itu enggan mengidahkan permohonan Rere, ia tetap melangkah, membawanya menuju kamar di lantai utama. Tanpa menurunkan Rere, ia tarik laci nakas di dekat ranjang, meraih sebuah lakban sebelum lempar tubuh gadis itu ke permukaan ranjang.
Rere berusaha bangkit, tapi Jordan lebih cepat menyerangnya lagi. Ia tarik kedua tangan Rere ke depan, menarik lakban menggunakan bibirnya sebelum arahkan lilitkan benda hitam itu pada tangan Rere, menjadikannya sebuah borgol.
"Jordan, kamu jahat!"
Laki-laki itu masih enggan menggubris, ia beralih pada kedua kaki Rere yang terus memberontak, meluruskannya sebelum melilitnya dengan lakban.
"Kamu iblis, Jordan!"
Jordan bergeming di ujung ranjang, ia menyeringai perhatikan Renita yang kini tak bisa lagi melakukan apa-apa, menggeliat di ranjang tanpa daya. Jordan mendekat, tarik lagi lakban sebelum angkat dagu Renita, menempelkan lakban pada bibir mungil itu.
"Sekarang lo bakal tahu, gimana rasanya setelah bikin masalah sama gue. Terus, gue pastiin nggak ada yang bakal temuin lo di sini." Ia terbahak kencang layaknya iblis, beranjak tinggalkan Rere yang kini menangis tanpa suara.
***