Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 19 - Rumah untuk Rapunzel.

Chapter 19 - Rumah untuk Rapunzel.

Jordan sempat pergi ke rumah sakit untuk mengobati luka di tengkuknya usai dilempar vas bunga oleh Renita, bagian yang terluka telah ditutup kain kasa serta plester luka. Kali ini ia sudah pulang, kedua kakinya bergerak cepat hampiri kamar di lantai utama—tempat Renita terbaring di sana, ia masih ingat kondisi terakhir gadis itu sebelum ditinggalkan.

Jordan membuka pintu kamar, dapati Renita yang masih terbaring, tapi kali ini kelopak matanya terpejam. Ia mendekat, perdengarkan suara ketukan boots dari sepasang kaki yang melangkah. Jordan membungkuk perhatikan wajah Renita, tak ada peluh sama sekali saat AC di kamar itu tak pernah ia matikan. Jordan mengusap wajah Renita, berharap pemiliknya akan membuka mata, tapi tak ada gerakan sama sekali.

"Hey, bangun." Jordan mengguncang bahunya, tetap tak ada pergerakan. Ia arahkan telunjuk di depan lubang hidung Renita, masih ada napas di sana, tapi kenapa gadis itu tak lekas membuka mata. "Ini nggak lucu sumpah, ayo bangun." Jordan mulai kebingungan, meski diguncang sekuat tenaga pun tubuh gadis itu tetap tak bereaksi.

Ia lepaskan lakban yang membungkam bibir Renita, tangannya singkirkan surai yang tutupi wajah terpejam itu, mengusap pipinya hingga tepukan pelan, tapi hasilnya nihil.

"Apa jangan-jangan dia dehidrasi!" Jordan mulai panik, ia mulai lepaskan tangan Renita dari lilitan lakban, setelah itu beralih lilitan pada pergelangan kakinya. Namun, setelah itu hal yang tak diterka Jordan terjadi, tanpa aba-aba kaki kanan Renita menendang dada Jordan hingga pemiliknya tersungkur jatuh ke lantai.

Gadis itu berhasil menipunya, Renita beranjak cepat keluar dari kamar, berlari hampiri pintu utama. Sayangnya, meski sekuat tenaga ia menggerakan kenop pun pintu tetap tak terbuka, tak ada kunci yang menggantung di lubangnya.

"Pintar banget kibulin orang, diajarin sama Barra, ya?" Suara laki-laki itu terdengar bersama kemunculan sosoknya yang kini melangkah dekati Renita, gadis itu lantas meraih sebuah vas dari permukaan nakas, ia angkat sebagai senjata.

"Kamu nggak usah dekat-dekat, atau aku lempar vas ini biar muka kamu rusak sekalian," ancam Renita tak main-main, ia berdiri di sudut pintu, menatap Jordan penuh dendam.

"Serius? Lempar aja nggak apa-apa, rumah sakit buka 24jam kok. Apa perlu gue kasih barang lain yang lebih extrim? Pisau misalnya, lo bisa tusuk-tusuk orang pakai itu, lebih cepat matinya ketimbang dilempar pakai vas." Jordan berdiri di sisi nakas, begitu santai menanggapi Renita seraya bersidekap.

"Salahku apa sih. Aku udah jelasin semua ke kamu, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Barra. Aku kenal dia setelah kenal kamu, Jordan. Semua tuduhan yang kamu arahkan ke aku itu nggak ada yang benar, kita nggak ada hubungan apa-apa, dan aku berhak berteman sama siapa pun."

"Menurut lo begitu? Gue kasih tahu konsekuensi kalau Barra sampai tahu lo itu perempuan yang udah tolongin gue malam itu, gue jamin hidup lo bakal lebih rumit dari ini, lo bakal jadi inceran dia setelah gue. Paham?"

"Kamu nggak usah provokasi orang, Barra baik sama aku!"

"Iyalah, dia aja belum tahu antara lo sama gue ada apa. Dia itu rival terbesar gue selama tiga tahun terakhir, dia selalu ingin gue mati. Salah satunya usaha malam itu, paham lo?" Jordan memutar tubuh, melangkah pergi. "Nggak ada jalan buat lo keluar dari tempat ini, kalau mau ya ... lompat aja dari balkon." Ia tertawa mengejek, langkahnya baru terhenti di dapur, lebih tepatnya di balik kulkas. Jordan keluarkan susu cokelat cair dingin seraya raih sebuah gelas dari kabinet atas, ia bergerak membawa semua benda itu ke area ruang tamu. Meletakannya di permukaan meja sebelum duduk di sofa.

Renita sendiri masih di sudut pintu, tubuhnya meluruh sebelum peluk kedua lututnya tanpa melepaskan vas dari tangan. Ia tak mengerti kenapa dunianya semakin memburuk saja setelah mengenal laki-laki iblis itu, akan banyak penyesalan yang menjadi mimpi buruk bagi Renita setelahnya. Percuma saja ia pura-pura tak sadarkan diri tadi, toh usahanya sia-sia, ia tak bisa pergi ke mana-mana.

Kepala Renita mendongak, ia tatap Jordan yang duduk membelakanginya di sofa, iblis itu justru tampak santai seolah tak miliki beban setelah menyandera seorang perempuan di apartemennya. Jordan malah sibuk mainkan game playstation dari televisi di ruang tamu, ia tampak seperti anak kecil yang sesekali tertawa setelah kalahkan lawan, Renita seperti tak terlihat kali ini.

Gadis itu beranjak, ia tatap telepon yang tergeletak di permukaan nakas, berada di sisi vas yang kini ia letakan di posisi semula. Kepalanya menoleh pada Jordan yang kebetulan masih sibuk dengan urusan konsol, Renita mengambil kesempatan untuk meraih gagang telepon. Sejak ia pingsan di dekat kebun pisang pagi tadi, ia tak temukan ponselnya di mana pun, mungkin Jordan telah merampasnya tanpa berkata.

Semoga kali ini mereka peduli, batin Renita seraya tekan beberapa digit nomor, ekor matanya sesekali awasi pergerakan Jordan yang belum sadari tingkah laku Renita kali ini.

"Hallo, ini siapa?" Terdengar suara wanita yang membuat Renita menelan ludah.

"Ini, ini Renita, Bu." Bibir itu gemetar untuk sekadar bicara.

"Renita yang mana, ya." Ada jeda keheningan sejenak. "Oh, Renita yang bikin hidup saya hancur, yang bikin rumah tangga berantakan. Ngapain kamu telepon saya, udah pergi dari rumah itu cukup buat semua orang di sini tenang. Jadi, nggak usah ganggu siapa-siapa lagi. Satu hal, jangan panggil saya ibu." Panggilan itu langsung berakhir, air mata Renita langsung lolos setelahnya, tangan bergetar memegangi gagang telepon bersama tatapan nanar yang mengarah entah ke mana, pikirannya mulai berkeliaran menjauhi sang raga.

Sensor motoriknya langsung lemah bersamaan tangan yang kini meloloskan gagang telepon begitu saja hingga suara benda jatuh membuat Jordan langsung beralih fokus pada gadis yang kini terduduk di selasar, menunduk sesenggukan, ada gagang telepon di dekatnya. Jordan letakan konsol di permukaan sofa, ia beranjak hampiri Renita yang kini makin perdengarkan suara tangisannya, menyayat sembilu.

"Lo habis telepon siapa?" Jordan membungkuk raih gagang telepon, ia letakan pada tempatnya sebelum berlutut di depan Renita, angkat dagu gadis itu agar ia bisa lihat lebih jelas wajah yang kini basah oleh air mata. "Kenapa nangis?"

Renita tepis kasar tangan itu, kedua tangannya lantas mencengkram kaus Jordan. "Aku mau pulang, antar aku pulang sekarang, aku mau pulang." Ekspresinya benar-benar membuat siapa saja bisa langsung iba, termasuk Jordan sendiri, laki-laki itu mematung tak bereaksi saat suara tangis Renita lebih kencang seperti orang yang kesakitan. Detik berikutnya tubuh Renita tumbang, untung tangan Jordan lebih sigap menahan tubuhnya agar tak tersungkur ke lantai.

***

"Pokoknya jangan bilang ke ayah saya kalau ada perempuan di apartemen ini, ya, Dok." Untuk kesekian kalinya Jordan mengatakan hal yang sama pada Dokter Alvin—dokter keluarga sekaligus dokter yang menangani Jordan—selama laki-laki itu lewati masa pemulihan setelah luka sayatan di punggung. Ia datang ke apartemen setelah Jordan menghubunginya, cukup terkejut saat ia harus memeriksa gadis asing yang Jordan akui sebagai pacar. "Biarin ayah sibuk sama urusan honeymoon." Mereka berdiri di ambang pintu utama saat Jordan antar Dokter Alvin keluar.

Pria berkacamata yang hanya kenakan kaus serta celana jeans itu mengangguk paham, ia masih tampak begitu muda, jika ditafsir usianya masih sekitar tiga puluhan. "Emang kamu apain dia sampai pingsan begitu?" goda Dokter Alvin, saat Jordan mati gaya menanggapinya ia tertawa mengejek. "Halah, ya udahlah saya langsung pulang sekarang. Jangan lupa vitaminnya suruh diminum biar nggak drop lagi, ya."

"Iya." Setelahnya Jordan menutup pintu bersamaan Dokter Alvin yang melenggang pergi, ia melangkah hampiri kamar ruang utama, gadis itu terbaring di sana dengan mata terpejam. Jordan lantas duduk di dekatnya, mengusap wajah kuarsa Renita yang terlihat begitu pucat. "Lo tadi pingsan kenapa, sih?"

Jordan beranjak, tapi sentuhan di tangan membuatnya menoleh, bola mata Renita telah terbuka, kini tangan kanannya benar-benar meraih milik Jordan, begitu hangat oleh suhu tubuh yang meningkat. Renita demam sekaligus drop karena efek kehujanan pagi tadi.

"Jordan." Suara Renita lirih dan parau, hampir tercekat. "Aku mau pulang."

Jordan putuskan duduk, ia sentuh kening Renita yang terasa panas. "Pulang ke mana? Lo lagi sakit, kalau lo pulang—nanti siapa yang bakal urus lo, malah makin drop. Di sini aja, biar gue yang jagain."

"Aku mau pulang."

"Bahaya kalau lo tetap di kost sendirian, gue udah bilang konsekuensinya tadi, kan? Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

"Kenapa?"

"Lo penting buat hidup gue." Ia alihkan pandang usai mengatakannya, beranjak tanpa berani menatap Renita. "Gue mau cari makan, lo juga harus makan sebelum minum obat." Ia melenggang begitu saja tanpa menutup pintu, membiarkan Renita pasrah dengan kondisinya.

***

Saat Jordan kembali, ia mengernyit tanggapi posisi Renita berada sekarang. Gadis itu seharusnya terbaring bersama selimut di kamar utama, bukannya duduk di sudut sofa ruang tamu seraya memeluk lutut dan sandarkan kepala pada bahu sofa dengan mata terpejam, terlihat jika Renita masih menolak tempatnya berada.

Jordan letakan kantung berisi sesuatu di permukaan meja ruang tamu, ia perhatikan Renita sebelum duduk di sebelahnya, tangan kanan terangkat sentuh dahi Renita, rasakan suhu yang sama sekali belum turun. Gadis itu membuka mata saat sesuatu menyentuh kulitnya, mata sipit Renita yang lelah menangis sekaligus efek demam mengarah pada Jordan.

"Kamu, sekarang bisa antar aku pulang, kan?" Ia masih saja keukeuh dengan permintaan yang sama.

Jordan berdecak. "Bisa nggak bahas yang lain aja. Jangan bikin gue marah lagi, bisa?"

"Jordan, aku punya tempat tinggal sendiri."

"Mending sekarang lo makan aja, terus minum obatnya biar cepat sembuh. Gue juga yang salah udah biarin lo hujan-hujanan tadi, sorry." Wajah Jordan begitu polos dan tenang, tatapannya meneduhkan, mungkin iblisnya sudah pergi.

Ia beranjak masuk dapur sebelum keluar membawa sebuah piring ceper serta sendok, ia letakan benda itu di permukaan meja, tangannya bergerak keluarkan sebungkus paper wrap cokelat berisi nasi goreng, ia memindahkannya ke piring sebelum sendok makanan itu dan mengarahkannya ke bibir Renita.

"Makan, ya." Sayangnya, Renita bungkam. Ia mengunci bibirnya rapat seraya alihkan pandang. "Re, gue yang bawa lo ke sini. Gue yang harus tanggung jawab."

"Kalau gitu pulangin aku. Biar aku urus diri sendiri, kamu nggak perlu repot-repot begini."

"Gue nggak bisa."

"Kenapa?"

"Mending makan dulu." Tangan Jordan masih mengambang di depan wajah Renita, tapi gadis itu tetap enggan buka mulut, membuat Jordan berdecak letakan piring di meja. "Bisa nurut nggak, dikit aja. Gue nggak akan kasar lagi ke elo." Nyatanya, Renita tetap keukeuh dengan pendiriannya, keras kepala. "Apa perlu gue cium biar elo mau makan, Renita?"

Detik berikutnya Jordan membuat ucapannya menjadi nyata saat ia berdiri dengan lutut di sofa, menangkup wajah hangat Rere sebelum reguk bibirnya seraya langsungkan gerakan lembut hingga suara seperti kecapan bibir terdengar. Gadis itu tak miliki tenaga untuk mendorong Jordan, ia juga tersudutkan oleh ruang yang dipilihnya sendiri, tangan-tangan Rere hanya bisa mencengkram erat kaus yang Jordan kenakan saat laki-laki itu justru kian mabuk oleh perbuatannya.

Tak ingin membuat Renita lebih lemas lagi, Jordan mundur lepaskan bibir itu perlahan, bisa ia rasakan panas di dalam sana. Wajah mereka masih begitu dekat saat Jordan masih menangkup wajah Renita, menatap lekat bola matanya yang sayu sebelum tempelkan dahi serta pangkal hidung mereka.

"Gue nggak bisa biarin lo pergi ke mana pun, karena gue mau lo di sini sama gue, selamanya."

***