"Bu, apa di dunia ini nggak ada satu aja yang bisa setia kayak Ibu?" Jordan mendekap erat Mawar dari sisi, sandarkan kepalanya di bahu sang ibu yang duduk di tepi ranjang seraya tersenyum tatap langit-langit kamar, tengah mengaplikasikan ilusinya di sana. "Apa permintaan Jordan terlalu berlebihan? Semua orang jadi pengkhianat, Bu."
Laki-laki itu tampak rapi dengan setelan jas hitam yang melekat sempurna di tubuhnya, ada mawar putih terselip di saku jas, tapi ada juga sebuket mawar warna sama yang kini tergeletak di dekat bantal milik Mawar. Jordan sendiri yang sengaja membelinya dalam perjalanan menuju panti rehabilitasi sang ibu, meski benda itu sama sekali tak berarti apa-apa bagi Mawar, melihatnya mungkin juga enggan. Pernah Jordan membawa sekotak pizza, makanan yang selalu Mawar suka saat wanita itu masih dihinggapi pikiran yang waras, tapi tanggapan yang Jordan terima cukup menyakitkan saat Mawar membuang kotak pizza ke lantai sebelum diinjak-injak di depan mata Jordan.
Di atas luka-luka yang Jordan rasakan, ada orang lain yang begitu bahagia usai berlangsungnya pernikahan hari ini. Jordan melakukan tugasnya sebagai putra yang baik dengan hadir di acara pemberkatan pernikahan saat di gereja pagi tadi, sekuat tenaga tetap diam meski jiwanya mengamuk ingin menghancurkan segalanya. Setelah pemberkatan usai pun ia langsung pergi menuju panti rehabilitasi, tak ingin menyambut para tamu yang memberi doa pada sang ayah serta ibu tiri barunya. Persetan dengan mereka semua, persetan dengan tanggapan miring orang-orang ketika ungkapan negatif mereka sematkan pada Jordan yang dianggap tak sopan setelah pergi begitu saja tinggalkan acara meski belum benar-benar selesai.
Bagi Jordan semua terasa sudah cukup saat ia menyaksikan Januar serta Sarah mengucapkan sumpah pernikahan mereka di hadapan pendeta serta tamu yang datang, menyematkan cincin sebelum berciuman sebagai akhir dari pemberkatan. Setelahnya Jordan bangkit dari kursi, melangkah seraya kepalkan tangan lewati white carpet di mana sisi kanan kiri dipenuhi kursi para tamu, siapa yang takkan terkejut dengan sikap Jordan saat itu, toh Jordan akan tetap keukeuh kalau perlakuannya itu pantas. Apakah dia tak cukup baik membiarkan ayahnya menikahi perempuan seusia Jordan?
Satu hal yang Jordan pikirkan setelahnya bahwa sumpah pernikahan pun sama sekali takkan berarti apa-apa jika hanya berarti sebagai angin lalu, hanya diucapkan tanpa dibuktikan, semua tampak seperti seonggok sampah. Sumpah pernikahan Januar dan Mawar hanyalah bukti dari sebuah tikaman tajam sebelum diakhiri pengkhianatan.
"Ibu baik-baik ya di sini, Jordan harus pergi sekarang, masih banyak hal yang perlu diurus. Salah satunya—" Jordan angkat kepalanya, menatap hujan di halaman tempat itu dari pintu kamar yang terbuka lebar. "Orang yang baru berkhianat ke Jordan, sehat-sehat, ya, Bu." Ia kecup kening Mawar sebelum melangkah pergi keluar dari sana, menyusuri koridor bersama derasnya rintik hujan.
Hari ini Jordan tak menangis, biar saja langit yang menangis. Hari ini Jordan ingin lebih kuat lagi, seperti kilat petir yang membuat banyak orang ketakutan.
"Renita Hakim, tunggu gue sejam dari sekarang," ucap Jordan seraya benarkan posisi jas hitamnya dengan tatapan lurus ke depan, tiada wajah memelas lagi seperti saat berada di dekat Mawar, tak ada yang perlu dikasihani setelah pulang dari tempat itu.
***
Gadis itu bertopang dagu di balik jendela ruang depan kost yang berembun oleh cipratan air hujan dari halaman depan, ia mendesah keluhkan cucian yang takkan mungkin kering hari ini, padahal cucian Rere cukup banyak. Sia-sia juga ia bangun pagi di hari Minggu untuk membereskan hampir seluruh pekerjaan rumah termasuk mengepel lantai, bagian beranda jadi begitu kotor oleh tanah usai rintik hujan jatuh dari bagian atap menuju permukaan paving block yang sedikit dilapisi tanah kering serta rerumputan liar.
Rere masih saja berdecak rasakan kesal yang memuncak, tangan kanan yang sempat menopang dagu kini meluruh terlipat dengan tangan kiri di permukaan kusen jendela, Rere letakan dagunya di sana seraya tatap rintik hujan yang entah kapan berhentinya, Februari masih belum menentukan akhir. Untungnya ada segelas teh hangat di sisi gadis itu, masih bumbungkan asap yang mengepul hingga jendela bagian dalam ikut berembun.
Dahi Rere mengernyit bersamaan kepala refleks terangkat saat bola matanya melihat sosok yang kenakan setelan jas hitam melangkah di tengah derasnya hujan tanpa sebuah payung, mendekat hampiri tempat kost Rere. Gadis itu langsung beranjak membuka pintu utama, menatap Jordan yang basah dari ujung kaki hingga kepala, laki-laki itu menyugar rambut basahnya ke belakang sebelum raih tangan Renita.
"Gue butuh bantuan elo," ucap Jordan.
"Bantuan apa?"
"Ikut aja, nanti juga tahu."
"Ini lagi hujan."
"Udah nggak apa-apa, gue bawa mobil di depan."
"Bentar, aku kunci pintu dulu." Jordan lepaskan tangan Rere, membiarkan gadis itu masuk kenakan jaket sebelum keluar seraya kunci pintu dan menyimpannya di saku celana. "Emang apaan, sih?"
"Nanti lo bakal tahu." Jordan tarik Rere begitu saja menembus guyuran air hujan, mereka berlari kecil menuju mobil Jordan yang terparkir di tepi jalan.
Mobil mulai melaju setelah keduanya masuk, kini keheningan mulai tercipta saat mereka sama-sama bungkam. Rere diam bersama pertanyaan yang hinggap di kepala, sedangkan Jordan diam menahan amarahnya.
Mobil membawa mereka semakin jauh, bahkan tempat yang kini mereka lewati tampak asing di mata Rere, ia belum pernah melaluinya sejak tinggal di Jakarta. Lebih aneh dari itu saat mobil lewati area pemakaman, menggilas jalanan yang lebih sempit dengan sebagian aspal telah rusak hingga beberapa kali posisi duduk keduanya tampak tak nyaman.
Rere menatap keadaan di luar jendela, masih hujan disertai dentum petir menggelepar, jika ia bisa membaca pikiran Jordan saat ini—mungkin Rere bisa mengerti kalau awan kelabu yang datang adalah ungkapan kekecewaan, langit menyelimuti kegundahan benak Jordan setelah kejadian kemarin.
"Sebenarnya kita mau ke mana? Terus ini di mana?" tanya Rere pada akhirnya, ia menoleh pada laki-laki yang justru diam seribu bahasa, meliriknya saja enggan. "Jordan, ini di mana?"
Mobil lantas berhenti usai Jordan menginjak rem, ia menyugar rambut seraya tarik napasnya, menoleh pada Rere yang mengharapkan jawaban pasti.
"Kenapa lo nggak pernah bilang ke gue kalau lo pacaran sama Barra?"
"Kamu tahu Barra?"
"Jawab pertanyaan gue!" Suara Jordan meninggi bersamaan tangan kanan memukul kemudi, membuat Rere refleks berkedip saat dentum petir ikut menggelepar.
"Kalau aku jawab, hubungannya sama kamu itu apa?" Gadis itu terlalu anggap enteng lawan bicaranya.
"Gitu? Jadi nggak mau jujur?"
"Aku harus jujur apa kalau sebenarnya sama Barra—"
"Keluar dari mobil gue." Tatapan Jordan lurus ke depan.
"Turun? Ini lagi hujan, terus aku nggak tahu ini di mana." Sekeliling mereka hanya diisi oleh rimbunnya pohon pisang serta tanaman singkong yang menjulang tinggi, mereka basah oleh derasnya air hujan. "Ini di mana, Jordan?"
"KALAU GUE MINTA ELO KELUAR YA KELUAR!!!" bentak Jordan seraya pukul kemudi lagi, kilatan amarah tak bisa dibendung lagi.
Degup jantung Rere semakin kencang setelah kata-kata kasar itu keluar, ia menunduk pasang wajah sendu sebelum membuka pintu mobil dan berdiri di sisi mobil Jordan, membiarkan dirinya disentuh lagi oleh air langit tanpa penghalang.
"Jordan, aku nggak tahu ini di mana." Rere masih memohon, tapi Jordan sama sekali tak acuh, justru ia injak lagi gas—membawa mobilnya menjauh dari Rere.
Gadis itu mendelik menyadari ia ditinggalkan. Rere berlari sekuat tenaga di tengah guyuran hujan, disertai rasa takut yang terus menggelayut tatkala petir semakin sombong akan kehadirannya.
"JORDAN!!!"
Tak ada belas kasih sama sekali, Jordan justru menginjak gas dan naikan kecepatan mobilnya, ia tak peduli pada gadis yang masih berlari di belakangnya dengan jarak cukup jauh, tak peduli pada teriakan malang gadis itu.
"JORDAN!!!" Tergopoh-gopoh berlari menyusuri tempat asing yang kini semakin mencekam saat ia menyadari mobil di depannya begitu jauh. "Aku salah apa sama kamu, aku salah apa." Air mata jatuh pada akhirnya, tapi hujan masih sanggup samarkan ketika Rere mengusap wajah basahnya. Laju kakinya perlahan melambat saat kaki-kaki itu terasa sakit, terasa begitu berat untuk bergerak lebih jauh lagi, tenaga Rere mulai berkurang.
Ia putuskan melangkah seraya peluk lengannya, menatap keadaan sekitar dalam suasana kebun pisang serta singkong yang begitu sepi, tak ada orang yang sudi beraktivitas di tempat seperti itu saat turun hujan.
"Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh Rere!" Ia berteriak menatap langit, menyesali perbuatannya tadi. "Kamu jahat, Jordan! Kamu gila!"
Semuanya benar-benar basah, rasa dingin semakin mengulitinya, membuat wajah pucat disertai bibir yang kebiruan. Hanya desah napas yang terasa hangat, gadis itu melangkah cepat saat melihat sebuah pohon besar di tepi jalan, ia berlindung di bawahnya sembari lanjutkan isak tangis yang enggan redam. Sampai kapan Rere harus berdiam di tempat asing itu, langit saja tak sudi memberitahu kapan berhentinya tangisan mereka.
Kini terlihat jeep yang sempat membawa Rere ke tempat itu perlahan menepi di dekatnya, si pengemudi turunkan kaca seraya pasang smirk perhatikan Rere dalam kondisi yang begitu memprihatinkan.
Jordan putuskan turun, mendekat meski setelahnya Rere menyingkir agar jarak mereka makin tercipta. Namun, tanpa aba-aba Jordan menarik pinggang Renita hingga menempel dengan tubuhnya, gadis itu refleks mendorong Jordan sekuat tenaga meski hasilnya ia tetap kalah saat laki-laki gila itu justru mendekapnya dari belakang, mengunci pergerakan Renita.
"Jordan, kamu gila! Aku salah apa!" Suara Renita terdengar parau, matanya memerah rasakan air mata yang terus saja menetes.
"Lo nggak sadar salah lo apaan?" Jordan melepas rangkulannya, menarik Rere hingga punggung gadis itu membentur batang pohon di belakangnya, bahkan kini tak segan mencekik leher Rere tanpa merasa kasihan.
"Lep-pas, Jo—" Rere kesulitan berucap sekaligus bernapas, kedua tangannya berusaha loloskan tangan Jordan dari leher, rasanya degup jantung Rere semakin melemah saat Jordan tak sudi mengalah—memberi jeda napas padanya.
"Gue bilang jangan berkhianat! Kenapa elo ngelakuin itu, bahkan sama Barra! Kenapa!" Bola matanya mendelik, tampak mengerikan saat sekuat tenaga Jordan mencekik leher itu. Desah napas Rere makin sulit dikeluarkan bersama tangan yang mulai mengendur dari tangan Jordan, kesadaran gadis itu separuhnya seperti melayang, ia benar-benar lemas.
Jordan kendurkan cekikannya saat wajah Rere makin pucat, tubuhnya lunglai hingga ia luruhkan tangan dari leher gadis itu, menopang pinggangnya agar tubuh Rere tak ambruk ke tanah.
"Aku salah apa, Jordan." Suara Rere semakin parau, begitu lirih saat dentum petir menyamarkannya. "Aku nggak pacaran sama Barra." Mata Rere sayu menatap laki-laki yang kini arahkan tangan pada tengkuk Rere sebelum miringkan wajan dan melumat perlahan bibir gadis itu, menjalarkan sedikit rasa hangat meski setelahnya raga Rere benar-benar tumbang tak sadarkan diri.
***