Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 13 - Hadiah atau hukuman?

Chapter 13 - Hadiah atau hukuman?

Panas matahari ternyata lebih ganas ketika beraktivitas di luar ruangan meski masih pukul sepuluh pagi, tapi sudah seperti tengah hari. Baskara mengintai orang-orang di bawah naungannya, menguliti siapa-siapa tanpa pandang bulu termasuk pramuniaga yang sibuk mengangkat barang dari truk box berisikan aneka macam cereal serta susu bayi merek terkenal.

Posisi truk box berada tak jauh dari pintu bagian belakang, hanya crew store laki-laki yang diperbolehkan angkut semua barang-barang tadi, memboyongnya ke bagian gudang setelah didata lebih lanjut, hanya ada dua perempuan di antara delapan laki-laki di sana termasuk supir truk box yang kini duduk santai di balik kemudi seraya seruput teh botol dingin setelah melewati perjalanan cukup panjang, belum lagi merasakan macet di jalan.

Arista berdiri di dekat pintu masuk, satu tangannya mengangkat sebuah map untuk menutupi kepala dari sengatan matahari. Rere juga berada di sana dengan keadaan yang jauh memprihatinkan, kening serta leher gadis itu dipenuhi peluh hingga kerah seragamnya tampak basah meski rambut sudah dicepol tinggi. Seperti Arista, ia juga memegang map lengkap dengan bolpoin merah yang beberapa kali sempat menggores tanda kotak pada kertas. Ia berdiri persis di sebelah pintu truk box, banyak crew store laki-laki berlalu-lalang di dekatnya, mondar-mandir membawa dus barang.

Sesekali Rere mengusap peluh menggunakan punggung tangannya, ia hanya berharap kalau urusan di luar ruangan kali ini akan lekas berakhir agar Rere bisa menikmati sejuknya AC saat bekerja di dalam.

"Minum dulu, Re," ucap Dimas—teman sesama pramuniaga, ia ulurkan kaleng softdrink dingin di depan Rere.

Gadis itu tersenyum, meraihnya dengan senang hati. "Makasih, ya, Mas." Kini bolpoin berpindah ke saku seragam, map diapit pada ketiak kiri saat kedua tangan Rere sibuk membuka penutup kaleng hingga air dingin berperisa leci meluncur lewati kerongkongannya.

"Kalau puasa kerjaannya di luar terus kayak gini, kemungkinan gue batal setiap hari." Dimas terkekeh, ia sesap minumnya sendiri.

"Kalau itu sih tergantung niat, Mas. Asal niat mau puasa dari shubuh sampai maghrib pasti bisalah, masa kalah sama anak SD." Rere ikut terkekeh.

"Iya sih, makanya nanti puasa lo masuk terus, ya. Kan bagi gue cuma lihat elo aja udah adem."

"MODUS TERUS." Arista menyambar saat memperhatikan dua bawahannya itu. "Si Rere banyak yang naksir, Dimas mundur aja."

"Yaelah, Mbak. Usaha sedikit nggak apa-apa kali," timpal Dimas sebelum membuang kaleng kosongnya ke tempat sampah di dekat Arista. Ia berbisik, "Bantuin saya deketin Rere lah, Mbak. Jomlo kan dia?"

Arista terkekeh geli. "Astaga, laki emang nggak kayak cewek ya. Kemarin aja si Rere jadi pusat perhatian semua karyawan di sini gara-gara adik gue ngakuin kalau dia pacarnya, lo nggak tahu?"

Dimas menganga, pasang ekspresi cengo. "Maksud Mbak Arista itu si Barra? Serius, Mbak?" Ia menoleh tatap Renita yang langsung alihkan pandang, kembali lanjutkan pekerjaannya mendata barang masuk.

Arista menepuk bahu Dimas dua kali. "Jadi, gini ya, Bro. Gue nggak pernah ikut campur urusan asmara si Barra, mending lo tanya langsung sama pemeran utamanya. Keep smile, don't cry, Man." Ia kembali terkekeh sebelum berlalu di balik pintu belakang, membuat dada Dimas terasa sesak sadari cintanya bertepuk sebelah tangan—bahkan sebelum berjuang.

***

Jika harus menghadapi sengatan matahari, Rere sanggup. Mendorong troli yang dipenuhi beragam macam barang dan cukup berat, Rere sanggup. Memberi pengertian pada ibu-ibu militan yang ingin membeli minyak goreng promo tak boleh melebihi dua pouch sampai mulutnya berbusa pun Rere masih sangat sanggup. Namun, jika harus menghadapi laki-laki sialan yang terdeteksi bernama Barra, gadis itu angkat kedua tangannya, bahkan kaki-kakinya.

Rere langsung memutar arah begitu melihat motor trail putih yang kemarin sempat mengantarnya pulang bersama si pemilik berada di seberang jalan tepat ketika jam pulang kerja berlangsung, Rere bisa membaca niat si pemilik motor yang belum sadari keberadaan gadis itu.

"Aku harus lari ke mana coba," gumam Rere seraya melangkah lewati barisan motor di parkiran, sesekali ia menoleh pada Barra yang sibuk sesap batang rokoknya.

Tak sampai sepuluh detik, sebuah siulan terdengar, bahkan berulang kali saat Rere terus melangkah tanpa ingin menoleh lagi.

"RENITA!"

Gadis itu mendelik, semakin gemas dengan keadaan rumit yang dihadapinya, paling tidak selama bekerja seharian ini hanya beberapa orang yang membahas soal Barra kemarin. Nana juga bungkam seolah melupakan kejadian kemarin, lalu kehadiran Barra sore ini seolah menjadi judul cerita baru yang akan dibahas besok, apalagi karyawati lain sudah melihat Barra di seberang jalan seraya menyerukan nama Renita.

"Gusti Nu Agung," gumam Rere seraya terus melangkah, persetan dengan burung bernama Barra yang masih saja bersiul, tapi jika didengar lebih jelas siulan itu seolah makin dekat sampai sebuah tangan menarik lengan Rere dari belakang.

"Gue siulin udah, dipanggil namanya juga udah. Maunya diapain biar ngerti?" Barra terlihat lelah, tapi gadis yang kini menepis tangan Barra dari lengannya lebih lelah lagi untuk melakoni drama yang takkan pernah tayang di televisi.

"Apa lagi, sih? Aku kan udah bilang, kamu nggak usah datang lagi ke sini, urusan kita udah selesai."

"Urusan yang mana?" Satu alis Barra terangkat, begitu menjengkelkan di mata Rere. "Kalau gue ke sini jemput elo, itu karena ajang balas budi udah bantuin elo kemarin."

"Tapi orang lain nggak mungkin berpikiran kayak gitu, mereka pasti mikirnya aku dijemput pacar. Udahlah, aku mau naik busway aja."

"Terus, jok belakang gue siapa yang dudukin?"

"Ya urusan kamu, di sini banyak orang, kok. Kenapa aku musti ikutan pusing." Rere memutar bola matanya, ia bisa bersikap lembut atau judes kapan saja.

"Eum, gini aja sih kalau elo nggak mau, kita bisa balik ke aturan awal." Barra menerawang. "Gue bisa suruh teman-teman gue buat gangguin teman lo sekarang, gimana?"

Rere mendelik. "Kamu!" Ia menunjuk Barra, tapi meluruh usai merasa kalah oleh permainan yang dibuat Barra. "Kamu nyebelin!"

"Nggak apa-apa. Kalah kan lo." Barra merangkum tangan Rere, menggenggamnya erat-erat seraya menariknya hampiri sebrang jalan, persetan dengan karyawan lain yang kini memperhatikan mereka dari parkiran, Rere hanya berharap semoga semua orang yang melihat adegan itu akan lupa ingatan hari esok.

"Dasar setan!" umpat Rere.

"Terus?" Barra santai menanggapinya.

"Monyet!"

"Aha."

"Babi!"

"Oke."

"Kudanil!"

"Good!"

"Barra! Kamu nyebelin!" Renita memekik saat Barra memasangkan helm pada kepalanya, menunduk sejajarkan wajah saat memasang pengait helm di bawah dagu.

"Nggak apa-apa nyebelin, tapi besoknya cinta, ya?"

***

Pengemudi jeep hitam itu mengernyit saat bola matanya menangkap sosok yang duduk di motornya dengan posisi membelakangi mobil Jordan, jarak mereka masih sekitar dua meter lagi, tepat ketika mobil Jordan hendak menepi rupanya motor trail putih dengan plat nomor yang begitu familier dalam ingatan Jordan telah menjauh pergi, si pengendara motor kenakan jaket jeans bergambar bordiran kepala elang pada punggung.

"Barra? Kenapa dia bisa ada di dekat kost si Rere," gumam Jordan sebelum menginjak pelan rem mobilnya, ia tak langsung turun saat pikirannya menyebar ke mana-mana, tapi Jordan menggeleng. "Mungkin kebetulan, nggak mungkin Rere kenal sama dia."

Jordan melepaskan sabuk pengaman, meraih dua paper bag dengan lambang merek salah restoran waralaba yang terkenal di dunia. Ia keluar seraya memperhatikan sekitar, pikirannya masih terpatri pada kemungkinan munculnya Barra di tempat itu tadi, andai ia datang lebih cepat—pasti Jordan akan menemukan semua jawaban dari pertanyaannya.

Jordan lanjutkan langkah memasuki gang tempat kost Rere, ia langsung pergi membeli sesuatu usai pulang menjenguk ibunya. Menemani Mawar hingga terlelap meski berkali-kali sempat menangis, tertawa bahkan mengucapkan beragam hal yang tak masuk di akal. Jordan terbiasa dengan semua perilaku Mawar, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, dan Jordan selalu ingin semuanya lekas berakhir. Jika bukan karena membutuhkan fasilitas dari ayahnya, mungkin ia memilih kabur ketimbang menahan kekesalan setiap hari, belum lagi debat yang sering mereka lakukan.

Rumah, bagi Jordan hanya tempat untuk tidur, bukan benar-benar menetap saat orang lain menganggapnya sebagai tempat yang hangat karena banyak orang selalu menginginkan quality time di rumah dengan orang-orang tersayang. Sedangkan bagi Jordan, siapa yang harus ia sayang? Jika ia boleh menginap di panti rehabilitasi mental tempat ibunya berada, pasti Jordan lebih memilih tinggal di sana.

Jordan terus melangkah lebih jauh memasuki gang hingga tiba di dekat kost Rere, tapi baru sore ini dia melihat penghuni kost di sebelah kost Rere, dan dia seorang laki-laki, siapa lagi kalau bukan Alam. Ekspresi keduanya sama, terkejut dalam diam. Bagi Alam, dia pertama kali melihat laki-laki semodis itu memasuki area kost tinggalnya, sedangkan bagi Jordan kenapa ia baru tahu kalau penghuni kost di sebelah Rere adalah laki-laki, hal itu membuatnya berdecak kesal.

Tanpa memedulikan tatapan Alam yang masih memperhatikannya seraya sesap batang rokok di ambang pintu, Jordan tetap mengetuk pintu kost Renita hingga pemiliknya keluar.

"Kamu? Ngapain lagi?"

"Bisa kan langsung diizinin masuk aja, bikin tambah gerah," gerutu Jordan sebelum melepas boots dengan kasar, sebelum ia masuk ekor matanya melirik Alam yang langsung alihkan pandang saat terciduk masih memperhatikan mereka. "Maksudnya apa coba."

"Kamu ngomong apa?" Rere mengalah, membiarkan Jordan tetap masuk, lagipula jika memaksa tutup pintu pun dia yang pasti kalah.

"Kok nggak bilang kalau yang kost di sebelah lo itu laki-laki?" Nada bicara laki-laki itu menyiratkan kekesalannya, Jordan bersila di permadani seraya letakan paper bag yang ia bawa.

"Lho, kenapa harus marah? Sebelum aku ke sini juga dia duluan yang tinggal di sebelah."

"Terus kenapa nggak pindah aja, nggak ngerasa bahaya udah tinggal sendirian, di sebelahnya cowok."

"Lebih bahaya yang lagi marah-marah sama aku!" Sindiran itu sukses membuat Jordan bungkam. "Diem, kan? Makanya jangan bawel, Mas Alam itu orang baik kok, kalau enggak mana mungkin aku betah di sini selama delapan bulan." Gadis itu berdiri di ambang pintu kamar seraya bersidekap.

"Ya ya ya, oke gue percaya."

"Terus, kamu ngapain lagi ke sini? Lama-lama ini tempat udah kayak basecamp aja," cibir Rere.

"Lo sendiri yang anggap kayak gitu, sini duduk." Jordan menepuk posisi sebelahnya. "Gue mau bayar hutang."

"Hutang apa?" Renita mengernyit, tapi ia tetap putuskan duduk di sebelah Jordan.

"Gue pernah dibuatin nasi goreng sama elo, terus mie rebus yang kemarin. Sekarang gue mau ganti, tapi nggak tahu kalau lo bakal suka apa enggak, kalau nggak cocok buang aja biar gue cari yang lain."

"Apa?"

Bola mata Jordan mengarah pada paper bag cokelat di depannya. "Buat lo, satu buat gue."

Renita meraihnya, membuka bagian atas paper bag sebelum menemukan beberapa menu yang membuatnya putar bola mata. "Ini serius?"

"Ya iya, nggak suka? Biar gue—" Jordan hendak merebutnya, tapi tangan Rere mencegah.

"Jangan, nggak boleh buang-buang makanan. Maksud aku masa iya harus sebanyak itu."

Jordan tersenyum miring. "Masa iya satu menu aja nggak habis, kita lomba aja gimana? Yang kalah harus turutin kemauan yang menang."

"Kok gitu?" Gadis itu tampak ragu.

"Ya iya, sebagai jaminan kalau elo emang mau makan yang gue bawa. Lo nggak bohong, kan?" Jawaban Rere adalah geleng kepala. "Okey, jadi kita balapan makan." Ia rebut paper bag Rere pun meraih miliknya sendiri, meraih sesuatu yang terbungkus paper wrap putih. Jordan membukanya, memberikan setangkup burger jenis Spicy Burger With Cheese pada Rere. "Kita lomba makan burger, oke?"

"Eh, ini serius?"

"Satu, dua, tiga!" Jordan langsung menggigit miliknya, Rere gelagapan dan merebut burger lain di tangan Jordan, segera ia menggigitnya seraya tatap Jordan yang kini tersenyum penuh arti.

Rere susah payah menelan makanannya, ia terlalu gugup sampai enggan menelan lebih lembut burger tadi, membuat kerongkongannya terasa sesak. Rere membuka paper bag miliknya, meraih cup berisikan iced coffe yang kini diminumnya seraya menatap Jordan yang begitu santai menikmati burgernya, bahkan menyisakan setengah potong lagi, sedangkan milik Rere hanya berkurang beberapa gigitan saja.

"KAMU CURANG! AKU NYERAH!" Rere letakan sisa burgernya pada paper wrap sebelum angkat kedua tangan tanda menyerah. "Masa aku disuruh makan burger secepat itu, kalau keselek terus mati gimana? Kan enggak lucu."

Jordan tersenyum menang, ia letakan burgernya sebelum raih iced coffe dari paper bag, menyesap isinya tanpa melepas tatapan dari Rere.

"Jadi, elo kalah nih?"

"Tau ah! Kan kamu curang."

"Kalau orang kalah emang suka banget pakai alasan itu, klasik tahu." Jordan menoleh seraya mendorong pintu hingga tertutup. "Mau hukuman apa?"

"Lho, nggak tahulah."

Jordan pamer smirk, ia menerjang Rere seperti seekor kucing yang menerjang mangsanya hingga gadis itu terbaring di permadani seraya mendelik saat pergelangan tangannya ditahan erat oleh Jordan, laki-laki itu merangkak di atasnya, sejajarkan posisi wajah.

"Kenapa hukumannya harus kayak gini, kamu ambil kesempatan dalam kesempitan, Jordan."

"Kan itu terserah gue. Yang kalah siapa? Nggak bisa protes." Satu alisnya terangkat, tampak mengejek. "Kalau gue boleh tahu, lo pernah dicium siapa aja?"

Renita mengernyit. "Kamu gila? Ya nggak—" Tiba-tiba sekelebat ingatan saat Barra mencium puncak kepalanya di depan banyak orang pagi itu langsung melintas tanpa permisi, membuat perasaan Rere jadi ketar-ketir. "Ya semua orang pasti pernah dicium, apalagi waktu kecil. Satu RT bisa cium semua," kilahnya.

"Jadi, baru gue yang waktu itu cium elo?"

"Kok malah jadi mikir kayak gitu? Tanya tuh yang berfaedah."

"Nggak usah tahan napas," ucap Jordan sebelum membungkuk sentuhkan bibirnya di atas bibir Rere, memulai gerakan pelan yang membuat tubuh Renita menggelinjang hebat saat suhu tubuhnya ikut naik, kepala mengajak berdelusi kalau ia seperti berada di atas awan hanya karena sapuan lembut lidah Jordan menelusuri bagian dalam bibirnya, menyesap, menggigit serta mengulum berkali-kali tanpa ingin menyudahi.

Kali ini tangan Jordan tak lagi mencengkram pergelangan tangan Rere saat merasa gadis di bawahnya mulai hanyut dalam permainan, tangan laki-laki itu merambat pelan menyelipkan jemarinya di antara celah kosong tangan Rere, mereka sama-sama saling menggenggam tanpa ingin membiarkan waktu meloloskannya.

Renita, gue takut bisa lebih gila dari ini.

***