Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 12 - Tentang jatuhnya air mata.

Chapter 12 - Tentang jatuhnya air mata.

Ada kolam renang di atap rumah, orang kaya memang seperti itu, bisa membuat sesuatu sesuka mereka asal ada uang, besoknya lagi akan ada ayunan dengan tali menggantung antara dua pencakar langit, amazing.

Jordan sendiri cukup lama tak pernah membenamkan tubuhnya pada kolam renang di atap rumah, pagi ini juga ia melompat tanpa basa-basi lagi dengan tubuh shirtless serta bekas sayatan punggung yang takkan pernah hilang. Ia memang bengal, tak ingin lagi mengikuti nasihat yang dokter berikan agar tak melakukan aktivitas berlebihan, tapi Jordan rasakan tubuhnya selalu kaku usai tragedi itu. Sampai hari ini pun dia belum sempat berkunjung ke Sasana Scorpio—tempatnya berlatih sebelum fighter di atas ring. Sekalipun Jordan keluar rumah, tujuannya hanya satu; menemui Rere.

Tubuh sixpack laki-laki itu terus menyelam hingga ke dasar kolam sebelum langsungkan renang gaya bebas dan naik ke permukaan, ia menepi seraya meraup wajah, perhatiannya tertuju pada gedung pencakar langit yang letaknya tak jauh dari komplek perumahan elite tempat tinggalnya.

Dari dalam rumah, seseorang mengambil alih nampan berisi segelas orange juice dari Ratih—pembantu rumah Jordan. Sarah tersenyum saat bola matanya menangkap tubuh Jordan tampak membelakangi pintu kaca menuju area kolam renang, wanita seumuran Jordan itu semakin dekat dan letakan minuman tadi pada meja berpayung di dekat kolam renang.

"Pagi, Jordan," sapa Sarah basa-basi.

Jordan lantas menoleh, ia mengernyit tatap mantan kekasihnya, sungguh me time yang ia pikir akan menyenangkan tiba-tiba berubah suram usai kehadiran Sarah. Jordan lantas alihkan pandang, kembali pada gedung pencakar langit, sepertinya lebih menarik pemandangan itu ketimbang Sarah yang kini berjongkok di dekat kolam renang, cukup jauh dari posisi Jordan.

"Kamu nggak sarapan dulu?" Sarah masih mencoba berkomunikasi, tapi Jordan tetap diam di posisinya seolah anggap Sarah tidak ada. "Aku tahu kalau salahku besar, tapi sebentar lagi kita bakal jadi keluarga. Apa nggak bisa diperbaiki?"

Jordan segera menoleh, telinganya terlalu sensitif untuk mendengar hal yang tabu. "Keluarga? Kita?" Ia tersenyum miring, kembali menyelam sebelum sampai tepat di dekat posisi Sarah. Jordan naik ke permukaan, meraih kimono handuk yang tergeletak pada kursi di samping meja sebelum memakainya, ia menyugar rambut seraya teguk jus jeruk di meja. "Siapa yang bawa ini?"

"Aku." Sarah beranjak, buru-buru ia mendekat pada Jordan, tapi sikap yang ia dapat setelahnya benar-benar membuat Sarah menelan ludah.

"Elo? Pantes asem." Jordan melempar gelas yang masih berisi air jeruk itu ke lantai hingga pecah berantakan, setelahnya melenggang lewati Sarah tanpa pernah sudi menoleh, persetan dengan hatinya yang tergores lagi, Jordan rasa semua itu sudah sangat pantas untuk perempuan yang dicap sebagai pengkhianat, bahkan pelakor untuk keluarga kekasihnya sendiri.

Saat menuruni tangga, Jordan berpapasan dengan Ratih yang terlihat membawa ember berisi alat pel. "Bi, lain kali kalau kasih makan atau minum ke gue, jangan mau nitip ke Sarah. Gue nggak bakal mau kalau tahu dia yang bawa. Oke?" Bahasa mengintimidasi itu membuat Ratih mengangguk cepat, ia tahu seperti apa Jordan jika marah di rumah, dan Ratih paling anti menghadapinya meski bukan ia alasan utama Jordan bisa sampai marah-marah.

"Iy-iya, Mas."

"Bagus, jangan diulang lagi." Jordan melenggang setelahnya, laki-laki itu langsung membersihkan diri dan berniat pergi lagi hari ini, toh tidak ada yang bisa mencegahnya termasuk sang ayah sendiri. Seribu ancaman akan Jordan lawan, meski seratus bodyguard yang Januar siapkan pun Jordan masih mampu mengerahkan teman-temannya berkelahi dengan mereka semua. Jordan ingin tetap jadi manusia, bukan burung yang sering berdiam dalam sangkar, bukan tahanan atau manusia terpapar virus yang perlu dikarantina.

Laki-laki itu keluar kamar dengan pakaian casual, ia membawa kunci mobil dalam genggam tangan kanan, sudah berapa lama kendaraannya itu tak pernah lagi tersentuh, jika ada yang memanasinya pun bukan Jordan, tapi Amri—tukang kebun. Ia memasuki garasi yang terbuka lebar, menarik lepas kain penutup jeep kesayangannya sebelum membuka pintu sisi kanan dan duduk di balik kemudi. Kunci mobil telah ditancapkan, memutarnya hingga suara mesin terdengar, ia tarik perseneling sebelum kemudikan mobilnya tinggalkan area rumah lewati gerbang tinggi yang terbuka lebar.

***

Madani Mental Health Center adalah panti rehabilitasi mental yang kini Jordan kunjungi, mobilnya sudah menepi di area parkir, sejak tragedi malam itu baru hari ini ia bisa datang ke tempat yang sering ia kunjungi sekali seminggu, jadi selama enam bulan proses pemulihan usai operasi bekas katana di punggung benar-benar memupuk rasa rindu Jordan pada seseorang yang sudah dua tahunan berada di tempat itu.

Jordan melangkah penuh semangat mencari ruang rawat seseorang, menelusuri lorong panjang hingga beberapa kali berpapasan dengan penderita gangguan jiwa yang duduk di kursi roda. Terkadang dari mereka duduk sendirian di taman, menatap kosong tanpa ekspresi, agak mengerikan. Beberapa didampingi oleh sanak keluarga yang sengaja datang berkunjung, mengajak bicara meski si penderita hanya diam atau bahkan tertawa menanggapinya meski hal yang ditanyakan bukanlah sebuah lelucon.

Akan banyak kesedihan yang harus dihadapi setiap pengunjung saat datang ke sana, akan banyak doa dirapalkan agar siapa pun lekas sembuh dan berkumpul lagi di rumah yang hangat, agar tiada lagi sang penderita rasakan sepi sendirian jika malam menjelang.

Seperti Jordan kali ini, ia mematung sebelum kakinya sempat lewati ambang pintu, menelan ludah berkali-kali menatap seorang wanita yang duduk pada brankar ukuran single bad berseprai putih tulang, wajahnya tampak pucat dengan tatapan yang mengarah ke langit-langit kamar, tapi sesekali tersenyum seraya menggerakan tangan ke atas seolah tengah meraih sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada.

"Mas Jordan, lama nggak ke sini." Suara itu menyadarkan lamunan Jordan, ia menoleh pada wanita berjilbab yang biasa dipanggil Dokter Salma—dokter khusus yang tangani psikosis Mawar—ibu kandung Jordan.

"Eum, ya. Akhir-akhir ini banyak urusan, jadi baru hari ini sempat jenguk ibu." Jordan lirik lagi sang ibu yang masih perlihatkan sikap sama, selalu aneh dan tak bisa dimengerti.

"Oh, gitu. Masuk aja, Bu Mawar baru dimandikan kok. Saya tinggal dulu, ya. Ada pasien baru," tutur Dokter Salma sebelum melenggang pergi.

Jordan melangkah pelan masuki ruang rawat ibunya, ulu hati terasa nyeri acapkali melihat sikap wanita itu.

"Apa kabar, Bu?" Jordan tersenyum pias, ia raih tangan kanan Mawar yang sedari tadi sibuk menggapai sesuatu tak terlihat di atasnya, kini wanita itu menoleh saat seseorang mengusik kesibukannya. "Apa kabar?" Suara Jordan seperti tercekat, matanya memerah saat ekspresi mengerikan ibunya berhasil ia lihat lebih jelas.

"Kamu tahu? Mereka semua terbang, saya diajak buat ikut ke sana, ke langit." Mawar berucap penuh semangat tanpa mengerti makna dari setiap perkataannya, ia tersenyum sebelum bertepuk tangan. "Saya diminta jadi ratu mereka." Setelahnya tertawa cekikikan hingga ludah mengalir begitu saja lewati bibir.

"Bu—" Jordan buru-buru meraih beberapa helai tisu yang tergeletak di permukaan laci dekat brankar. "Coba lihat Jordan dulu." Ia mengusap pelan air liur dari ujung bibir Mawar, wanita itu masih terkekeh tanpa bisa memahami kesedihan sang putra.

"Terus, nanti kalau saya jadi ratu, saya bisa terbang juga seperti mereka." Mawar menengadah, tangannya kembali menggapai udara, tapi Jordan luruhkan dengan paksa—membuat Mawar menoleh perlihatkan ekspresi sedih. "Kamu nggak suka ya kalau saya senang? Kamu nggak suka, ya?" Tiba-tiba saja wanita itu menangis tersedu-sedu, membuat Jordan refleks memeluknya erat-erat seraya usapi kepalanya.

"Bu, ini Jordan. Cepat sembuh biar Ibu bisa pulang." Kini Mawar takkan lagi menangis sendirian, sebab Jordan meluruhkan air matanya cuma-cuma, dan hanya di depan wanita itu ia bebas melepaskannya, setiap rasa sedih yang selalu Jordan sembunyikan di depan banyak orang. Laki-laki harus kuat dan tegar, tapi semua itu langsung terelakan jika Jordan datang menemui Mawar, ia akan cengeng dan terus menangis sampai putuskan pulang.

Mawar alami psikosis pasca kebakaran hebat yang menewaskan kedua orangtuanya di kampung halaman dua tahun silam. Mawar mulai suka berhalusinasi, berdelusi seolah ia akan diangkat menjadi ratu seperti dongeng yang sering almarhum ibunya ceritakan semasa ia kecil, hanya dongeng sederhana sebelum tidur, tapi menjadi sesuatu yang mengerikan saat Mawar merealisasikannya lewat mental serta pikiran yang tak lagi waras.

Beberapa kali datang ke psikiater tetap tak mengubah trauma Mawar sama sekali, ia menjadi lebih depresi setelah tahu Januar bermain dengan perempuan lain di belakangnya, menjadi alasan selanjutnya kenapa Mawar bisa tinggal di panti rehabilitasi mental sampai hari ini. Namun, setelahnya tak ada usaha lebih bagi Januar agar istrinya lekas pulih, tapi justru meninggalkannya untuk bermain dengan perempuan di luar rumah, menjadikan depresi Mawar sebagai alasannya berkhianat sebelum akhirnya putuskan untuk menikahi Sarah.

Hal paling gila yang tak pernah Jordan bayangkan ketika kekasihnya sendiri justru bermain dengan sang ayah di belakangnya, membuat Jordan mulai memahami tentang status sosial, harta serta tahta seseorang. Ia tak miliki apa-apa, sedangkan sang ayah bisa memberikan segalanya untuk Sarah. Alhasil Jordan yang mengalah dengan senang hati, tapi takkan pernah melupakan rasa sakit yang ia terima bertubi-tubi. Mengingat sang ibu yang sakit jiwa ditambah pengkhiantan di belakangnya telah membuat Jordan menjadi pribadi yang lain. Dulunya Jordan adalah sosok yang lembut, penurut meski sedikit manja. Setelah rangkaian pengkhianatan itu membuat Jordan tenggelam dalam dunia hitam, menjadikan nyawa sebagai taruhan.

"Saya cuma mau senang, biarkan saya bahagia," rintih Mawar di sela isakannya, ia masih direngkuh erat sang putra. Jordan sendiri sembunyikan wajah basah itu di ceruk leher ibunya, ketegaran seseorang memang tak bisa diukur dari seberapa banyak air mata yang bisa mereka tahan, tapi dari seberapa kuat mereka mencoba sabar menghadapi setiap badai yang menerjang, semakin tinggi badai—semakin kuat mengokohkan pertahanan.