"Keluar dari sini! Kamu bilang nggak akan ganggu aku lagi!" Rere semakin mundur hingga punggungnya menyentuh bagian rak piring, buru-buru ia menoleh seraya raih gelas kaca—memecahkannya di lantai dan raih salah satu pecahan sebelum menodongkannya pada laki-laki bertindik yang kini berdiri di ambang pintu dapur bersama ekspresi tak terbaca, entah diam karena sedang marah atau mengamati pun Rere tak bisa menerka. Intinya, diamnya Jordan bukanlah hal yang bagus terlebih jika alis mata hitamnya telah menyatu seperti sekarang. "Kamu maju selangkah! Aku bunuh diri sekarang!" Rere tak ingin bermain kejar-kejaran lagi, ia lelah dan menyerah, kini pecahan gelas tadi diarahkannya pada urat nadi tangan kiri, hanya tinggal menggores saja sampai ia lupa segalanya.
"Re, ini yang terakhir, aku nggak akan minta lagi." Ekspresi muram Jordan tiba-tiba berubah memelas.
"Kamu gila! Aku nggak mau! Mending aku mati sekarang!" Oh ayolah, Rere benar-benar tak ingin bernegosiasi lagi dengan keadaan yang begitu mendesaknya, ia ingin bebas dari tangan para orang gila yang seolah memperbudaknya. Bisakah ia menjalani kehidupan dengan nyaman di sisa hidupnya? Bisakah mereka lenyap sejenak saja.
Kaki yang terbalut cutterpillar cokelat itu melangkah pelan hampiri Rere yang masih utuh di posisinya, tapi ia semakin mendekatkan pecahan gelas pada urat nadi, bahkan menyentuhkannya tanpa ragu. Artinya, Rere sungguh lelah dengan roda kehidupan yang dianggapnya terlalu gila.
"Re, percaya sama aku. Setelah ini aku lepasin kamu."
"Bohong! Kamu pembohong, Jordan! Silakan kamu bermain sama perempuan kamu yang lain, jangan aku." Air mata perlahan turun menemani keringat yang sudah melekat pada kulit berbalut kaus abu-abu serta celana pendek itu. "Aku capek ... aku mau hidup tenang, Jordan. Kalau kamu nggak mau lepasin, biar aku yang nekat menghilang."
"Lakukan." Satu kata bersama smirk muncul di wajah Jordan, kini jarak mereka hanya beberapa langkah lagi agar Jordan bisa meraih Rere, tapi ia putuskan berhenti dan menginstruksikan setuju pada keinginan konyol Rere.
Tubuh Rere sesaat menegang kala mudahnya Jordan berucap sesuatu yang terasa mustahil didengar Rere, bukankah selama ini laki-laki itu bertaruh nyawa demi Rere, rela melakukan apa pun asal Rere sudi bertahan bersamanya. Semoga bibir Jordan salah berucap, atau indra pendengaran Rere yang sedang bermasalah.
"Silakan lakukan apa yang kamu mau, Renita Hakim. Biar aku yang jadi saksi detik-detik terakhir kamu, seenggaknya kalau kamu mati—ada aku yang temuin mayat kamu—saat orangtua atau saudara kamu sekalipun nggak pernah sudi ngelihat kamu lagi."
"BAJINGAN kamu, diam, Jordan!" Tangis Rere semakin deras, ia semakin terkoyak di malam saat rintik hujan datang bersama pasangannya; gelagar petir.
"Iya, kan? Aku salah ngomong emangnya? Benar, kan? Lakukan aja, bunuh diri sekarang! Cukup aku yang jadi saksi, Renita! Cukup aku! Karena aku yang paling sayang kamu di dunia!" Suara Jordan yang meninggi pun tetap tak mampu kalahkan betapa pongahnya dentum petir malam ini.
Pecahan gelas tadi meluruh begitu saja hingga terdengar bunyi yang khas menyentuh lantai dapurnya, si pemilik tubuh juga terduduk lemas seolah tenaganya ikut terhisap bersama jatuhnya pecahan gelas tadi.
Rere peluk kedua lututnya seraya tenggelamkan wajah yang penuh oleh air hujannya di sana. Meringkuk penuh sesal sekaligus amuk dendam yang kian menjalar, harusnya sosok iblis merasuk sekarang agar ia bisa lakukan apa pun tanpa perlu berpikir panjang.
Jordan merasa menang, ia mendekat tanpa memedulikan pecahan gelas di sekitarnya. Laki-laki itu berlutut di depan Rere, menyentuh lengan yang basah oleh keringat setelah berlarian menghindari Jordan.
"Re, aku yang paling sayang kamu di dunia, nggak ada lagi. Kamu dengar, kan?" Suara Jordan begitu lirih, nyaris samar oleh rintik hujan. Ia menunduk kecup puncak kepala Rere, mendekapnya salurkan semangat.
"Kamu iblis, Jordan. Kamu iblis." Suara Rere juga tak kalah lirih di sela isakannya.
"Iya, iblis yang jatuh cinta sama kamu." Tangan kanan Jordan tak lagi mendekap punggung Rere, beralih posisi pada saku celana hingga keluarkan sebuah suntikan lengkap dengan cairan pengisinya. Kepala Jordan terangkat, ia menarik penutup jarum dengan gigi sebelum sentuhkan ujung lancip menyakitkan itu pada lengan kanan Rere.
"Jodran." Rere langsung angkat wajah, tatapannya nanar memelas pada laki-laki yang selalu anggap mereka adalah sepasang kekasih.
"Maaf, Renita." Jordan melempar suntikannya usai cairan mengalir pada tubuh Rere, ia mulai mereguk bibir Rere tanpa perlu buang tenaga lagi. Sekarang Jordan yang akan lebih pongah dari dentum petir, sebab ia yang berkuasa lagi kali ini.
***