Sabtu malam, tidak ada yang bagus juga untuk dilakukan, delapan bulan sendiri di Jakarta perlahan membuat Rere terbiasa dengan rasa sepi di sekitarnya. Tak ada acara pesta kebun, bakar jagung atau barbeque yang sering ia lakukan dengan teman-teman saat di Bandung, bahkan ia sengaja memblokir nomor mereka semua agar tak perlu lagi mengetahui kabarnya, bukan karena Rere membenci, tapi lebih pada dunia yang tak sama lagi. Semua yang telah ia alami saat itu membuat dada terasa sesak, cukup sampai di sana, Rere ingin memulai kehidupan baru meski sendiri. Katanya, live must go on, bukan?
Sejak pukul tujuh hingga sekarang jarum jam menghampiri angka sembilan terdengar motor di luar kost bersliweran tiada henti, mungkin ada yang pergi pun datang sekadar apel malam minggu pada teman pun kekasih. Sedangkan Renita Hakim? Tentu saja sendiri, benar-benar tak ada yang spesial.
Tadi, saat jam kerja masih berlangsung pun teman-temannya mengajak gadis itu hang out ke tempat-tempat kongko di Jakarta mumpung mereka masih tanggal muda, hanya saja Rere menolak halus. Ia lebih suka jadi gadis anti sosial jika Sabtu malam selalu menjadi momok yang menyenangkan bagi banyak orang, termasuk jomlo sekalipun.
Gadis yang semula bersandar pada tembok bercat tosca di belakangnya tampak beranjak membuka laci kecil di sisi single bad, ia meraih kaleng bundar yang beralih fungsi menjadi celengan kecilnya. Ia raih beberapa lembar uang yang tergeletak di permukaan laci sebelum membuka penutup kaleng dan letakan uang sisa jajan hari ini di sana. Ia simpan lagi ke dalam laci sebelum rebahkan tubuh di ranjang, suara petikan gitar dari kost sebelah sedikit memperdengarkan melodi yang cukup apik meski suara si penyanyi tak keruan. Jika Sabtu malam, area kost Rere tinggal memang selalu ramai.
Gadis itu raih ponsel yang tergeletak di permukaan bantal, ia masih berharap salah satu pihak keluarga sekadar mengirimkan SMS, tapi hasilnya nihil. Helaan napas berat baru saja berlangsung, ia tersenyum getir tatap layar ponselnya, sama sekali merasa tak pernah berharga.
"Bawa dia pergi setelah lulus SMA! nggak ada kuliah buat anak pelacur!" Rere menelan ludah, mengingat dialog itu ternyata tak baik untuk kesehatan pikirannya, tak seharusnya Rere stres berkepanjangan, ia yang telah putuskan pergi dan baik-baik saja hingga hari ini.
Demo dari alam lain membuat gadis itu teringat kalau ia belum makan apa pun sejak pulang kerja sekitar pukul tiga sore, Rere beranjak tinggalkan ponselnya di bantal. Ia keluar kamar hampiri dapur, membuka kulkas sekadar mencari sesuatu.
"Ah iya, aku kan nggak pernah beli snack. Nggak mungkin juga makan petai doang," gumam Rere sebelum menutup lagi kulkasnya, ia mengusapi si perut yang semakin meronta. "Mungkin aku harus ngalah sama kamu, kita malam mingguan sendiri."
Ya, gadis itu masuk kamar lagi dan keluarkan celana panjang serta sebuah cardigan. Tak lupa ponsel serta uang yang kini bersembunyi di balik saku celana, ia putuskan keluar kost bersama sepasang swallow putih biru. Persetan dengan mereka yang langsungkan malam minggu dengan flat shoes, high heels atau sepatu balet sekalipun. Rere lebih mencintai sepasang sendal jepitnya, lagipula ia hanya ingin mencari makan, bukan cari pasangan.
"Tumben keluar, mau ke mana?" tanya Alam—penghuni kost sebelah, usianya lebih tua dua tahun dari Rere, masih sibuk bersolo karir seperti Rere. Alam terlihat duduk di teras bersama dua temannya, salah satu dari mereka memetik senar gitar seraya bersenandung tanpa arah. Alam yang paling paham kalau Rere jarang sekali keluar saat Sabtu malam, sebab yang sering dilakukan bujangan itu adalah nongkrong di depan kost bersama teman-teman.
"Mau cari makan aja, Bang," sahut Rere seraya tersenyum tipis, "permisi, ya."
"Iya, hati-hati jangan pulang kemaleman," seru Alam saat langkah Rere mulai menjauh, gadis itu menoleh seraya mengangguk.
"Eta awewe geulis pisan nya." Fikri—teman Alam—yang sibuk dengan gitarnya terus menatap punggung Rere tanpa kedip.
"Haish, jangan jadi barongan. Udah punya pacar di pabrik masih mau ngembat yang lain juga." Dian—teman Alam juga—tampak meraup wajah Fikri sebelum terkekeh bersama Alam.
"Tau, dia ke sini nggak cari pacar, tapi cari duit," tutur Alam, "jangan godain cewek kalem kayak dia, gue yang kost di sebelahnya aja nggak beranin."
"Lah, kunaon?" Fikri mulai kepo.
"Emang lo nggak pernah dengar pepatah kalau cewek baik pasti jodohnya cowok baik-baik, terus yang buruk ya sebaliknya," ujar Alam bijak.
"Emangnya elo orang jahat, Lam?" Dian sesap batang rokoknya, jangan lupakan soal tiga gelas kopi hitam yang hanya sisa setengah.
"Ya bukan juga, gimana gue mau deketin cewek kalau kasih duit ke emak bapak aja belum bisa setiap bulan." Ya begitulah, dilema manusia perantauan, banyak yang dipusingkan, dan uang adalah prioritas untuk selesaikan segala persoalan. Prinsip Alam, jika ada yang menyukainya maka syukuri saja, jodoh takkan ke mana.
Dian menoyor kepala Fikri. "Dengar nggak tuh, elo siapa-siapa diembat, ganteng juga kagak, duit pas-pasan."
"Barudak gelo maneh. Boga batur kos kiye, nyeri hate aing." Fikri pasang raut sok sedih sebelum kembali lantunkan tembang yang begitu booming. "Entah apa yang merasukimu, hingga kautega mengkhianatiku yang tulus mencintaimu."
Meninggalkan keributan tiga bujangan tadi, Rere masih melangkah sendirian telusuri trotoar di sisi jalan besar, rupanya di luar sana euforia Sabtu malam lebih terasa. Berkali-kali ia lihat sepasang kekasih berboncengan motor, si gadis memeluk laki-lakinya dengan mesra dari belakang. Rere hanya bisa mengernyit, bukan karena iri, tapi ngeri.
Sekalipun hanya berpakaian sederhana—bahkan menjadikan sandal jepit sebagai pelindung kaki, tapi banyak juga laki-laki yang memperhatikannya saat gadis itu lewat, bahkan tak segan untuk bersiul. Hanya saja jangan salahkan Renita yang selalu mengabaikan hal tak penting di sekitarnya, sebab itu ia jarang sekali keluar malam jika tak ada keperluan mendesak, ia malas menanggapi godaan laki-laki.
Rere masih terus melangkah tanpa memedulikan siulan atau seseorang yang memanggilnya dengan sebutan Eneng, ia menulikan telinga, kebutuhannya untuk melayani perut, bukan melayani para laki-laki itu.
Sudah banyak warung angkringan yang ia lewati, terkadang Rere ingin mampir sekadar membeli gorengan, tapi saat melihat banyak laki-laki duduk di depan—langsung membuatnya urungkan niat mendekat, kini kakinya harus melangkah lebih jauh lagi, untung saja keadaan sekitar begitu ramai.
"Nasi padang ajalah, murah meriah," gumam Rere saat bola matanya menangkap warung nasi padang yang terlihat sepi, piring pada etalase tinggi itu juga banyak yang kosong. "Mungkin sebentar lagi mau tutup." Gadis itu lebih mempercepat langkahnya.
"Mau beli apa, Neng?" Seorang pria berambut putih terlihat menumpuk beberapa piring kotor bekas wadah lauk, ia tersenyum ramah pada Rere yang berdiri di sisi etalase.
Gadis itu melongok sisa isian etalase sejenak. "Eum, nasi sama lauknya lele aja, Pak."
"Sebentar, ya." Si bapak meraih kertas minyak yang dilapisi kertas putih di atasnya, ia membuka penanak nasi tanpa memedulikan Rere yang kini menatap ke arah jalan raya.
Gadis itu mengernyit saat beberapa pengendara motor berjaket sama terlihat menghampiri warung nasi padang tempatnya berdiri sekarang.
Apa mereka geng motor? Rere bergidik ngeri saat sekitar enam motor itu telah menepi di pelataran warung nasi padang, lima di antaranya turun seraya memperhatikan Rere yang tak bisa sembunyikan rasa takutnya. Ia ingat kalau sang nenek pernah berkisah perihal geng motor yang selalu menjadi momok menakutkan di Kota Bandung lengkap dengan berbagai kisah seramnya, bahkan sudah ada sejak lama—jauh sebelum Rere dilahirkan.
"Ini, Neng." Si bapak pelayan tadi memberikan kantung berisi bungkusan nasi milik Rere, buru-buru gadis itu merebutnya.
"Berap-berapa?" Gadis itu tergagap saat bola matanya tak sengaja beradu pandang dengan salah satu dari lima laki-laki yang kini duduk di dalam warung.
"Sepuluh ribu."
Secepat kilat Rere merogoh saku celana, memberikan uang pas tanpa menyadari kalau ponselnya ikut terjatuh, ia memutar tubuh sebelum berserobok dengan seseorang hingga kantung makanannya jatuh di selasar.
"Nasi aku!" Rere langsung memungut makanannya, untung tak sampai tumpah dan tercecer di sana.
"Sorry, nggak lihat tadi." Laki-laki berjaket hitam berlogo kepala garuda di lengan kiri menatap gadis yang baru saja membungkuk raih plastiknya.
"Maaf juga." Rere baru menatapnya, wajah laki-laki di depannya tak seseram para pria yang duduk di dalam warung. Entah siapa itu—terlihat muda, mungkin sebaya Rere, tapi tatto yang mengelilingi leher membuat gadis itu menelan saliva.
"Kalau nasinya rusak, biar gue ganti aja," ujar laki-laki itu, menatap Renita tanpa kedip.
"Nggak usah, ini nggak apa-apa, nggak tumpah juga."
"Benar? Sekali lagi sorry."
"Iya, aku permisi dulu." Rere melengos begitu saja, rasa takutnya sudah mencapai ubun-ubun, ia takut pipis di celana sebelum sampai tempat kost.
Laki-laki berambut mohawk itu mengernyit temukan ponsel di lantai, buru-buru ia meraihnya, menekan tombol di sisi sebelum wallpaper wajah seorang gadis bersama seorang wanita membuatnya tahu siapa pemilik ponsel itu, ia langsung berlari mencegat langkah Rere.
"Kenapa?" Gadis itu mendelik, detak jantungnya tak keruan.
"Ada yang ketinggalan."
"Apa?"
"Coba deh cek dulu."
Rere menatap kantung plastik, bungkusan nasinya masih utuh. Ia merogoh saku celana dan baru menyadari jika benda miliknya memang tak ada.
"Ada yang hilang, kan?" tanya laki-laki itu, memastikan.
"Iya, hape aku. Di kamu, ya?"
"Iya, jatuh di depan warung." Ia mengulurkannya, membuat Rere menyungging senyum tipis.
"Makasih." Rere hendak melenggang lagi, tapi lengannya ditahan. "Apa lagi?"
"Barra." Laki-laki itu mengulurkan tangan seraya tersenyum simpul.
***