Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 9 - Ketika kita bertemu lagi.

Chapter 9 - Ketika kita bertemu lagi.

"Lo dari mana jam segini baru pulang?" Arista berkacak pinggang usai menyalakan lampu ruang tamu rumah besarnya, ia dapati Barra—sang adik—mengendap masuk rumah layaknya seorang maling, padahal rumah sendiri.

"Gue, ya—" Laki-laki itu mengusap tengkuknya, ia paling bisa pamer ekspresi bingung di depan Arista. Pukul dua dini hari, Barra baru pulang ke rumah, hal itu lumrah ketika ia biasa melakukannya.

"Gue harus ngoceh berapa kali sih sama elo, Bar? Jangan kayak gitu terus, setiap hari pulang jam segini, rumah ini bukan minimarket 24jam yang bisa lo datengin tanpa ngelihat jam." Arista benar-benar kesal, haruskah setiap hari ia mengatakan hal yang sama pada adik bengalnya itu, haruskah setiap hari ia berbohong pada orangtua mereka yang kini di LA dan mengatakan kalau Barra selalu bersikap baik di rumah? Arista lelah, ia rela menampung dosa demi kebohongannya karena ulah sang adik. "Emang lo nggak capek dengar gue ngoceh kayak gini terus setiap hari, gue aja capek ngocehin elo, Bar!"

"Ya udah kalau gitu jangan ngoceh lagi, mending tidur, istirahat kan biar nggak capek."

"BARRA!" Arista memekik lantang, terserah jika pembantu rumah atau tetangga komplek akan terbangun karena suara yang begitu cetar bisa membelah langit.

Laki-laki yang seringnya kenakan jaket hitam berlogo kepala garuda di lengan kiri itu menunduk, hanya di depan Arista-lah ia bisa menunduk takut seperti itu, atau pura-pura sok polos usai mengulang lagi kesalahan yang sama.

"Nanti lo antar gue ke tempat kerja!"

"Tapi, Mbak—"

"Gue nggak mau tahu, Bar!" Arista melengos hampiri tangga. "Mati lo besok kalau nggak ikutin kemauan gue!" Lugas dan tegas, nada bicaranya begitu mengancam, sedangkan Barra seolah mengecil menjadi kutu usai mendengar perkataan Arista tadi. Harusnya Arista yang paling tahu kalau Barra paling tak suka datang ke swalayan tempat Arista bekerja, seseringnya dia hanya akan digoda oleh gadis-gadis di sana, dan hal itu adalah lelucon paling menyenangkan bagi Arista saat ekspresi kesal Barra tertahan di antara banyaknya orang. Hanya saja beberapa bulan ini Barra tak pernah lagi mengantar Arista ke swalayan, sekitar empat bulan terakhir Barra selalu mengontrol diri untuk tak keluar terlalu jauh, dan empat bulan berikutnya kebiasaan pulang pagi kembali dilakukan.

Barra menarik napas berat, ia menatap punggung Arista yang kini menghilang di balik pintu kamarnya. Jika bukan Arista, siapa lagi yang akan menjaganya, sejak usia 17 hingga sekarang menginjak 24 tahun ia selalu bersama Arista setiap harinya ketika orangtua mereka selalu bolak-balik LA ke Indonesia, itu pun hanya beberapa bulan sekali.

Arista yang selalu melindunginya meski kelakuan nakal Barra tak pernah bisa ditolerir, wanita itu bahkan pernah menjamin dirinya pada polisi saat Barra tertangkap dalam sebuah adu jotos ilegal di atas ring, belum lagi ketika Barra terlibat balapan liar, hampir masuk dalam lingkaran narkoba, semua masalah tadi Arista yang selalu menjadi tameng atau pasang badan untuk adiknya, sudah se-lelah apa wanita itu sejak lama, tapi Barra tak pernah mau berubah sedikit saja.

Di usia yang menginjak kepala tiga pun Arista belum sempat menikah, sebab fokusnya hanya untuk Barra, Barra dan Barra. Ia berjanji pada diri sendiri kalau Barra menjadi sosok yang lebih baik suatu hari, saat itu juga Arista akan menikah dengan seseorang. Sayangnya, entah kapan hari itu datang. Barra masih terjebak dalam dunia hitam yang dipenuhi nafsu setan, bahkan hampir membunuh rivalnya tanpa Arista tahu meski bukan tangan Barra sendiri yang melakukannya.

***

Pagi yang indah saat suara nyanyian merdu Arista memenuhi kamar sang adik, ia tak segan menarik selimut yang menutupi tubuh shirtless Barra. Sekalipun ia tahu kalau adiknya baru tidur beberapa jam saja, tapi Arista tetap memaksa kalau Barra harus bangun dan mengantarnya ke tempat kerja, anggap saja semua itu adalah hukuman bagi Barra yang tak pernah mengikuti aturan sang kakak.

"Kalau lo nggak bangun sekarang, gue siram lo pakai air!" ancam Arista seraya menarik tirai hingga cahaya matahari pagi menembus masuk tanpa penghalang lagi, menyorot wajah Barra yang kini mengganti posisi tidurnya. Arista langsung membuka jendela selebar-lebarnya, ia bahkan sudah kenakan seragam lengkap, tapi adik bengalnya enggan turun untuk sarapan bersama.

Arista bergeming sejenak, bersidekap tatap sang adik yang masih nyaman dengan posisinya. Ia terpaksa memasuki kamar mandi, meraih segayung air sebelum membawanya keluar—mencipratkannya sedikit pada wajah Barra, setelah dipikir-pikir kasihan juga jika harus menyiram adiknya di tempat tidur.

"Bangun, blekok!" Arista masih terus menciprati Barra dengan air yang dibawanya sampai laki-laki itu mulai meraup wajah, membuka mata perlahan dan beranjak duduk.

"Hujan, ya? Atapnya bocor?" Ekspresi polos Barra benar-benar membuat niat Arista untuk menyiramkan air digayung cepat-cepat dilakukan.

"Iya hujan, segar kan, ya?" Arista tersenyum miring, ia masih saja mencipratkan air meski sang adik sudah membuka matanya lebar-lebar.

"Sialan, lo! Gue kira hujan beneran." Barra merebut gayung saat Arista tertawa jahat.

"Makanya bangun, blekok! Lima belas menit dari sekarang, gue tunggu lo di bawah buat sarapan, lo harus antar gue kerja!"

"Mobil lo kenapa?"

"Dia capek dan perlu istirahat, jadi adik kesayangan gue yang nakal ini harus anterin gue kerja. Awas kalau enggak!" Sebelum memutar tubuh Arista menarik telinga kanan Barra lebih dulu, dan pekikan Barra menjadi lelucon yang bagus saat Arista berlari keluar kamar seraya tertawa lebar.

***

Benar saja, semua yang tak pernah Barra inginkan terjadi juga. Tepat saat motornya berhenti di pelataran swalayan yang masih tutup itu, beberapa karyawati bergerak cepat hampiri Arista, sok ramah terhadapnya sampai mengajak bersalaman, padahal Arista jelas tahu kalau yang mereka incar adalah sang adik. Sikap ramah para karyawati itu hanya berlaku jika Arista datang bersama Barra, bukankah sejelas itu wajah-wajah asli yang bersembunyi di balik topeng kepalsuan? Baik jika ada inginnya saja, dan Arista tak sudi menanggapi mereka semua, biar saja menjadi urusan Barra yang kini memasang senyum palsu ketika orang-orang berkerumun mengelilingi motor.

"Mbak!" teriak Barra saat sang kakak melangkah semakin jauh seraya menoleh dan angkat ibu jari kanan, tapi setelahnya posisi berubah menukik ke bawah seolah berkata; lo, cemen!

Barra benar-benar kesal dikelilingi orang-orang itu termasuk Nana yang kini sodorkan bekal di depannya. Belum lagi perempuan lain yang sok basa-basi menanyakan hal tak penting.

Kenapa seseorang yang miliki tampang berlebih bisa benar-benar membuat sikap orang lain sangat berlebihan?

"Ini, Bar. Bekal aku buat kamu aja," ujar Nana bersama senyum manisnya.

"Nggak usah, makasih." Barra mati-matian menolak halus, ia masih bertengger di motor tanpa bisa keluar dari kerumunan itu, ternyata nyalinya sebagai suhu geng motor bisa langsung ciut saat menghadapi cukup banyak perempuan.

Gadis itu baru datang, ia kenakan jaket denim serta rambut diikat tinggi tanpa poni, kedua tangannya masuk ke saku jaket. Bibirnya bersenandung lirih saat sepasang headset menyumpal telinganya, bahkan sepasang bola mata yang masih melekat erat di posisinya sama sekali tak tertarik pada euforia kerumunan para perempuan di pelataran swalayan, langkahnya terus bergerak. Hampiri lima buah anak tangga sebelum tiba di beranda swalayan.

"Itu, kan." Barra mengenalinya meski hanya sekali bertemu, senyumnya terbit membuat para makhluk hawa di sekitarnya senang bukan main. "Renita! Renita!" Dalam beberapa detik saja ekspresi orang-orang di sekitar Barra berubah usai mendengar teriakan tadi, mereka melongo tak percaya saat Barra menyerukan nama seorang pramuniaga yang kini melangkah masuk tanpa mendengar suara Barra.

Rere sendiri baru loloskan headset dan menyudahi lagu kesukannya saat sepasang kaki sudah masuki swalayan yang masih terlihat sepi, ia harus segera melangsungkan piket pagi ini, tapi langkahnya refleks terhenti ketika sebuah tangan menarik lengan kiri gadis itu dari belakang, membuat Rere buru-buru menoleh.

"Kamu?" Ia mendelik tak percaya begitu tahu siapa laki-laki yang menahan tangannya sekarang.

"Iya, bisa minta tolong nggak?" Bahkan ekspresinya tak seseram saat berada di dekat rumah makan padang malam itu, tak sampai membuat tubuh Rere bergetar hebat, kali ini wajah Barra tampak polos tanpa dosa.

"Tolong?" Rere makin tak mengerti.

"Iya tolong, gue mau pulang, tapi karyawati yang lain nggak mau lepasin gue di depan. Bantuin, ya?"

"Bantu apa?"

Barra menariknya keluar lagi, sebuah ide tiba-tiba terbesit usai melihat Renita tadi, dan Barra pastikan kalau ia akan lolos dari orang-orang menyebalkan yang masih berdiri di dekat motornya, menunggu Barra yang katanya akan membawa seorang kekasih.

"Rere! Jadi, kamu pacarnya Barra?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Nana berhasil membuat Rere mendelik tak percaya.

"Hah, ap—" Barra membungkam bibirnya seraya menyejajarkan tinggi di belakang Rere dan berbisik di dekat telinga kanan. "Bilang aja iya, ini cuma buat pura-pura kok. Kalau nggak mau nanti gue bisa bawa orang buat ganggu mereka satu per satu pas pulang kerja, gimana?"

Kini, rasa takut kembali mendominasi tubuh Rere, tubuhnya langsung kaku setelah mendengar ancaman Barra, mengingat malam itu saja sudah membuatnya ngeri luar biasa, dan sekarang Barra benar-benar mengancam tanpa pandang bulu kalau ia adalah perempuan.

Barra meluruhkan tangan, berganti rangkul tubuh Rere di depan banyak orang yang mulai menatap sinis gadis itu, Rere merasa bencana lebih dahsyat akan datang setelahnya.

"Ini Renita, pacar gue." Barra menatap orang-orang di sekitarnya saat ia merasa menang, ia melirik Rere. "Nanti pulangnya gue jemput, on time." Tanpa aba-aba ia kecup puncak kepala Rere sebelum hampiri motornya, meraih helm dan memakainya, mengedipkan kelopak kiri sebelum melaju pergi.

Suara motor yang kini menjauh juga jadi akhir bagi Renita, akhir segalanya, tapi awal mula ia memulai kisah pelik yang entah kapan berkesudahan.

***