Sepertinya Rere bisa menebak jalan pikiran semesta hari ini, setiap yang ia pikirkan benar-benar menjadi nyata, seperti saat orang-orang menatapnya sinis usai kekonyolan yang dibuat Barra pagi tadi. Ada juga yang sekadar bertanya perihal kebenaran itu, mencecar Renita seolah ia tersangka korupsi yang baru saja ditahan polisi.
Ah, enyahlah. Gadis itu terlalu memikirkan orang lain meski yang mereka pikirkan selalu bad word tentangnya, kadang manusia selucu itu, berlakon di atas panggung sandiwara dengan segala peran yang sudah tertata. Jika Rere bisa memilih, ia ingin menjadi antagonis yang tak miliki dosa, ada tidak?
Rere tak pernah suka menjadi pusat perhatian, ia ingin berdiri di antara kerumunan banyak orang dengan tenang, bukan di atas panggung dan jadi titik pusat semua orang. Jadi, setiap pertanyaan yang diberikan teman-temannya hanya dijawab seulas senyum tipis atau anggukan kecil saja, persetan jika mereka benar-benar menganggapnya kekasih Barra. Toh, lebih baik begitu ketimbang Barra membuat semua temannya celaka seperti ancaman tadi pagi. Rere lebih suka mendapat pahala meski korbankan diri sendiri ketimbang menjalani peran antagonis yang tak miliki dosa, tidak ada, bukan?
Vita, hari ini seperti anak ayam yang terus mengekori Rere ke mana pun gadis itu melangkah, seolah bayangan Rere meski tinggi mereka hanya beda berapa centi saja. Katanya, hari ini Vita disuruh Nana agar jadi mata-mata bagi Rere, tapi mana ada mata-mata yang menguntit sejelas itu.
Rere sendiri enggan memusingkan, ia terus mengerjakan tugasnya. Kini berdiri di depan rak promo, minyak goreng masih bertahta seperti sebelumnya, waktu seminggu akan tetap berada di sana—membuat senang para ibu-ibu militan yang asyik mengejar diskon, hari ini bisa membeli dua, besoknya lagi membeli dua, setelah seminggu full datang hanya untuk dua pouch minyak goreng akhirnya mereka buka toko sembako sendiri di rumah.
"Re, kalau lo emang pacarnya Barra-Barra itu. Pasti punya nomor dia, kan?"
Rere alihkan pandang dari note kecil di tangan, ia jadi teringat sesuatu sampai mendengkus sebal. Kenapa Rere harus punya bukti dari pertanyaan Vita tadi, ia ingat kalau pertemuan pertamanya dengan Barra langsung dapatkan nomor laki-laki itu meski bukan inginnya, hanya kondisi yang cukup mendesak malam itu. Jika bukan karena takut dimutilasi, Rere juga takkan pernah memberikan nomornya cuma-cuma pada anggota geng motor seram seperti cerita neneknya di Bandung.
Rere tarik napas panjang, ia keluarkan ponsel dari saku seragam, membuka lockscreen sebelum memberikannya pada Vita.
"Cek aja sendiri," ucap Rere, makin mereka semua tahu, maka lebih cepat bungkam.
Penuh semangat Vita mengoreksi isian ponsel Rere seperti seorang guru yang baru saja menyita ponsel muridnya, ia terbelalak tak percaya saat melihat nomor Barra benar-benar ada di kontak ponsel temannya.
"Ini serius nomornya si Barra? Jangan-jangan lo bohong, ya." Vita skeptis.
"Telepon aja kalau nggak percaya, tapi kalau pulsa habis langsung ganti ya."
Vita manggut-manggut. "Gue percaya, ah. Lo kan nggak pernah bohong." Ia ulurkan lagi ponsel temannya. "Gue mau balik ke kerjaan sendiri, ketahuan Mbak Arista bisa gawat, apalagi Pak Tomi."
"Nah lo."
"Bye, Renita." Vita memberikan kecup jauh sebelum melenggang pergi, sedangkan Rere masukan lagi ponsel ke saku seragam, berkacak pinggang seraya menarik napas panjang, ia merasa hari-harinya semakin rumit saja oleh banyak drama yang tiba-tiba hadir tanpa permisi.
***
Sore yang ditunggu banyak orang akhirnya tiba, di mana waktu istirahat full di rumah akan segera dilangsungkan jika saja mereka tak melewati kemacetan cukup panjang nantinya. Andai ada ojek terbang, mungkin kemacetan memenuhi angkasa.
Nana yang berdiri di depan lokernya terlihat sibuk mengamati Rere yang berada di sisi kiri, ia amati dari ujung kaki hingga kepala. Hal apa yang membuat Barra sampai menyukai Rere? Setelah itu Nana akan sibuk membandingkan dengan diri sendiri, terkadang manusia suka menganggap lebih diri sendiri, enggan merendah dan tak mau mengalah. Lumrah, apalagi saat seseorang merasa iri, seperti Nana saat ini.
Meski Nana sudah dapatkan banyak informasi yang pasti real dari Vita, tapi ia masih belum percaya kalau Barra benar-benar kekasih Renita. Pasalnya selama ini tak pernah sekalipun melihat Rere datang atau dijemput oleh laki-laki, lalu saat tiba-tiba Barra datang langsung mengaku pada publik kalau Rere adalah kekasihnya. Ah, seperti FTV itu.
"Re, kamu suka pakai skincare merek apa?" tanya Nana tiba-tiba, wajah gadis di sebelahnya memang tampak halus tanpa satu pun jerawat.
Rere menoleh seraya menggendong ransel, tak lupa ia kunci lokernya. "Skincare? Aku mana ada duit buat beli yang mahal-mahal gitu, Mbak. Apalagi ngekost di sini."
Nana manggut-manggut. "Serius? Kok kulit kamu kayak halus banget gitu."
"Ya mandi dua kali sehari aja, yang bersih. Lotion biasa asal cocok di kulit juga bagus kok." Rere tatap beberapa temannya yang baru keluar dari ruangan itu. "Aku langsung pulang, ya, Mbak."
"Eh, bentar," cegah Nana, "kamu dijemput Barra, ya?" Raut jengkel langsung dipasang.
Rere tampak berpikir, ia harap takkan pernah terjadi, gelengan kepala menjadi jawaban. "Nggak tahu."
"Kok nggak tahu, katanya dia pacar kamu." Nana bersidekap.
"Ya, iya. Tapikan punya kesibukan masing-masing, udah dulu, ya, Mbak." Kali ini Rere bergegas cepat, ia tak ingin membohongi orang-orang dengan jawaban asal yang keluar dari bibirnya. Sungguh hari yang amat sial.
Gadis itu terus melangkah lewati pintu belakang, sebab cukup banyak pengunjung di area depan. Tangannya mulai sibuk merogoh ponsel dari saku seragam, tak lupa ia cepol rambut yang sempat diikatnya. Terus melangkah hingga tiba di area depan yang penuh oleh parkiran mobil serta motor.
"Renita!"
Gadis itu terhenti di antara banyaknya motor, ia menoleh ke segala arah berharap menemukam empunya suara, tapi nihil.
"Renita!"
Sekali lagi, Rere mulai sibuk mencari sumber suara sampai bola matanya menangkap sosok yang bertengger pada motor trail putih—tengah melambai tangan padanya. Posisi motor berada di seberang jalan.
Gadis itu menganga, tak percaya kalau Barra benar-benar datang menjemput tepat waktu seperti ucapannya, Rere pikir semua itu hanya sandiwara agar mereka terlihat mesra.
Saat kesadaran Rere kembali, ia menoleh ke segala arah, sebelum teman-temannya datang dan memergoki mereka, buru-buru Rere berlari hampiri Barra.
"Kok kamu ada di sini?" Ekspresi panik Renita membuat Barra mengernyit.
"Kenapa emangnya? Nih." Terlalu santai, ia ulurkan helm khusus yang dibawanya. "Kan biar sandiwaranya sempurna, siapa tahu habis ini jadi aktor Box Office kayak Joe Taslim. Benar, nggak?"
Bukan saat yang tepat untuk melucu, sebab Renita juga enggan tertawa. "Pokoknya kamu jangan pernah ganggu teman-teman aku, ya!"
Ibu jari Barra terangkat. "Santai, Mbak. Gue selalu pegang janji kok. Buruan pakai helmnya, mau pulang, kan?"
Tanpa katakan apa-apa lagi, Rere raih helm itu dan memakainya sendiri. Ia juga terpaksa duduk di belakang Barra seraya menepuk bahunya beberapa kali. "Cepat, nanti temanku pada lihat."
"Lo telat, lihat aja sebelah kanan."
Rere mengikuti perkataan Barra, ia menoleh ke kanan dan temukan Nana serta beberapa karyawati lain berdiri di area parkir seraya menatapnya tanpa kedip.
"Astaga!" Rasanya Rere ingin ditelan bumi saja. "Kenapa kamu nggak bilang?"
"Yang jalan cepat kaki mereka, bukan kaki gue." Tiba-tiba Barra menarik dua tangan Rere yang kosong, mengarahkannya agar memeluk perut Barra. "Jangan protes, ini biar mereka tambah percaya kalau kita pacaran."
Rere semakin mendelik, terpaksa ia melakukannya sebelum motor melaju tinggalkan tempat itu. Segera Rere tarik tangan ke belakang, memukul punggung Barra dengan satu kepalan tangan. "Kamu itu gila!" Hanya kekehan geli dari Barra yang menjadi jawaban kekesalan Rere tadi.
Seseorang bergeming di antara banyaknya orang yang menunggu busway di BRT, Jordan benar-benar menunggu kehadiran Rere di sana, sesekali ia melirik arloji seraya tatap keadaan sekitar. Kenapa gadis itu tak kunjung datang?
Jordan rela tak menaiki mobilnya dan pilih jalur busway agar bisa menemui seorang gadis tempo hari, tapi sore ini banyak hal yang membuatnya tiba-tiba cemas. Sejak kejadian mencium Rere paksa kemarin sore, rasa bersalah yang biasanya tak pernah hinggap pada diri Jordan tiba-tiba datang, apalagi usai Rere memaki dan memaksanya keluar, mengunci pintu tanpa sudi membukanya lagi meski gedoran berulang kali terdengar, semua itu menjadi beban di sudut pikiran Jordan.
Apakah mencium seseorang adalah sebuah kesalahan? Jordan sendiri bisa mencium siapa pun, di mana pun gadis yang ia sukai, bahkan dari mereka rela memulainya lebih dulu. Hanya saja, Jordan belum mengenal baik siapa itu Renita Hakim.
Jordan yang semula duduk kini beranjak, kedua tangannya masuk ke saku jaket seraya menepi—memperhatikan lagi keadaan sekitar untuk kesekian kali, ia harap gadis yang ditunggunya lekas datang, pasalnya sudah terlambat dua puluh menit dari waktu biasa Rere datang.
Ia berdecak seraya mengusap rambut bagian belakang sampai spontan menendang sesuatu di dekatnya, membuat fokus orang-orang mengarah pada Jordan.
"Sorry," ucap laki-laki itu merasa tak enak hati, ia putuskan naik busway yang baru datang meski Rere tak ada bersamanya. "Apa dia sakit, gue bisa ke kostnya sekarang."
***