Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 11 - Siapa kita?

Chapter 11 - Siapa kita?

Motor berhenti di gang masuk area kost Rere, buru-buru ia turun dan melepas helm, memberikannya pada Barra tanpa ingin menatap, ia melengos begitu saja tanpa mengucap sepatah kata.

"Nggak bilang makasih, gitu?" Barra menatap punggung Rere, gadis itu berhenti dan memutar tubuh.

"Eh ya lupa, makasih udah diantar pulang." Ia kembali lanjutkan langkah.

"Kalau besok dijemput lagi gimana?"

Lagi, pertanyaan Barra membuat kening Rere seolah berdenyut kencang, pusing tujuh keliling, memangnya apa fungsi kehadiran Barra di hari esok? Bukankah sudah jelas kalau kehadirannya bisa menambah kekacauan setelah hari ini. Renita membungkuk seraya berkacak pinggang, saking gemasnya ia sampai meloloskan ikat rambut hingga mahkota tergerai bebas, menggaruknya di depan Barra yang kini mengernyit tak mengerti, agak ilfeel sedikit.

"Lo gila?" seloroh Barra.

Gadis itu berdiri satu meter di depannya, menatap Barra dengan wajah kesal. "Mending besok jangan muncul lagi di sana, biar hidup aku tenang, aku nggak mau tambahin dosa buat bohong ke semua orang."

"Eum, ada enggaknya gue di sana ya tergantung keputusan Mbak Arista." Begitu mudahnya Barra bicara, membuat beban Rere makin bertumpuk saja.

"Terserah!" Renita enggan menggubris lagi, ia terus melangkah seraya menggaruk rambutnya hingga tampak berantakan mirip orang gila. Barra tersenyum miring perhatikan Rere yang melangkah kian jauh dari posisinya, ia menatap helm bekas dipakai gadis itu tadi.

"Ini bakal jadi barang antik, nggak ada yang boleh pakai," gumam Barra sebelum selipkan pengait helm di lengan kiri dan lajukan motornya tinggalkan tempat itu.

Renita masuk ke kost, menguncinya dua kali sebelum masuk kamar dan lempar ransel kecilnya begitu saja. Namun, setelahnya terdengar pintu depan diketuk, gadis itu berdecak sebal. Ia melangkah malas hampiri pintu utama, membuka sedikit tirai agar bisa melihat seseorang di luar sana, tapi baru beberapa detik langsung Rere tutup dan sandarkan punggung di balik pintu, tangan kanan tampak menyentuh leher.

Kenapa dia datang lagi ke sini. Suara ketukan pintu masih berlangsung, bahkan tanpa jeda seperti seseorang yang asyik memukul drum. Menjengkelkan, tak bisakah laki-laki di balik pintu memahami kalau Rere juga miliki rasa lelah usai pulang kerja, baru saja ia bisa menghindari Barra yang sialan itu, kenapa iblis lain datang dan tak memberikannya rasa tenang sejenak saja.

"Re, buka pintunya. Gue tahu lo di dalam." Jordan masih sibuk mengetuk pintu, tapi Rere enggan menyahut pun membukanya. Ia masih kesal dengan sikap Jordan kemarin yang menciumnya paksa.

Rere memutar tubuh, menggenggam erat kenop seraya tempelkan wajah pada permukaan pintu. Gedoran itu masih berlangsung, sesuatu yang menegaskan kalau Jordan benar-benar ingin Rere keluar menemuinya sekarang, ia takut dan cemas tak melihat gadis itu tadi di BRT, seolah sesuatu yang asing.

"Renita, please buka pintunya, kalau udah lihat lo—gue bakal langsung pulang."

Gadis itu masih bergeming, jarak mereka yang dekat harus dibatasi pintu kost, tangan Rere terangkat mengusap permukaan pintu pun dengan Jordan di luar sana, masih berharap Rere lekas membukanya agar tiada penghalang lagi.

"Re, gue minta maaf. Please buka pintunya."

Rere meloloskan kenop, ia putuskan masuk kamar tanpa berniat membuka pintu meski Jordan telah memohon. Gadis itu meraih selimut, merebahkan tubuh dan menutupi kepalanya dengan bantal agar suara gedoran pintu yang masih berlangsung takkan lagi ia dengar.

"Re—" Jordan menelan ludah, ia pikir meminta maaf pada semua orang akan mudah, bahkan ia tak pernah meminta maaf jika melakukan kesalahan, meski sedikit menurunkan harga dirinya untuk gadis yang baru dikenal beberapa hari, ternyata tetap tak bisa mengurangi sedikit kesalahan semena-mena itu. Jordan menghela napas berat, ia menyugar rambut seraya tatap pintu kost di depannya.

Jordan merogoh ponsel dari saku celana, mengetik chat pada nomor Guntur.

Jemput gue sekarang.

Tak lupa ia kirimkan maps tempatnya berada, selama ini Jordan tak pernah pergi tanpa kendaraannya, mobil yang ia dapatkan usai menang fighter dengan seseorang sekitar setahun silam. Namun, untuk alasan yang tak masuk akal dia rela membiarkan mobil kesayangannya berdiam di garasi rumah, tertutup sebuah kain tanpa pernah menyentuhnya lagi, duduk di busway seolah menjadi sesuatu yang baru.

Jika Jordan tak kabur dari rumah hari itu, berlari pontang-panting dikejar bodyguard ayahnya dan mengelabui mereka saat ia putuskan masuk ke sebuah BRT, untung saja BRT yang ia datangi menyediakan kartu e-money, jadi Jordan bisa menunggu busway yang akan membawanya pergi.

First time Jordan datang ke BRT, pertama kalinya juga ia temukan seseorang yang sempat menolong Jordan dari ajang pembunuhan malam itu, untung saja ia masih mengingat wajah yang hanya disinari cahaya ponselnya, membawa Jordan pada ingin yang ia sendiri belum sadari.

Kini bola matanya beralih pada jendela kamar Rere yang berada tak jauh dari pintu utama. Jordan mendekat, tangannya terangkat, tapi ia luruhkan lagi ketika rasa sesalnya datang menghampiri, mengajak kompromi agar ia mundur saja—terlebih Rere sudah menyumpal telinganya dengan earphone dan nyalakan musik dengan volume paling keras, jadi ketukan di jendela kamar belum tentu membuat gadis itu mengalah untuk buka pintu.

Jordan putuskan pergi meski berat hati, sesekali ia menoleh tatap jendela kamar Renita, keputusannya tiba-tiba mengambang, antara lanjut pergi atau tidak. Namun, dering ponsel Jordan menjadi sebuah jawaban.

"Woi! Lo di mana emang? Ini gue di pinggir jalan, dekat area kost." Suara serak-serak basah Guntur terdengar, Jordan langsung akhiri panggilan tanpa memberi jawaban. Kini ia mantapkan hati, melangkah jauhi tempat itu seraya berharap kalau Rere lekas memaafkannya.

***

Malam ini hujan turun cukup deras, petir menggelepar membelah langit yang pekat, tinggal di dalam rumah adalah pilihan yang tepat, atau merebus mie instan serta irisan sawi bersama telur adalah menu andalan bagi sejuta umat, termasuk Rere sendiri. Gadis itu baru saja pindahkan mie instan dari panci kecil ke mangkuk, tak lupa ia beri saus pedas yang diambilnya dari kulkas.

Sekarang pukul delapan malam, sedangkan hujan sudah turun selepas adzan maghrib, untung saja area kost Rere bukan daerah rawan banjir pun tak ada atap bocor yang sering menjadi keluhan banyak penghuni kost. Gadis itu membawa keluar mie instannya, meletakan mangkuk di permadani sebelum bersila seraya kumpulkan rambut dan berakhir dengan sebuah cepol tinggi.

Kuah mie menjadi bagian pertama yang meluruh lewati kerongkongan Rere, sedikit pedas. Baru saja akan ia pindahkan juntaian mie ke mulutnya, tiba-tiba pintu diketuk.

"Hujan-hujan gini siapa yang datang, sih." Rere mengeluh, ia letakan lagi garpu sendok di mangkuk sebelum beranjak hampiri pintu. Tangannya bergerak cepat memutar kunci tanpa niat mengintip dari jendela lebih dulu.

"Re—" Pemandangan basah kuyup seketika membuat Rere yang sempat ingin langsung menutup pintu mendadak diam, dari ujung kaki hingga kepala semuanya benar-benar basah seolah Jordan baru saja berenang tanpa melepas pakaiannya, tapi tak ada kolam renang di sana, yang ada hanyalah rintik air langit dengan intensitas besar.

Gemuruh petir kembali membelah langit, Renita menelan ludah memperhatikan Jordan yang ikut bergeming menatapnya.

"Masuk," pinta Rere sebelum menyingkir dari sana, semarah-marahnya ia tetap saja hati nurani masih bertahta, ia biarkan Jordan melepas boots yang basah sebelum masuk, tak lupa melepas jaket, pokoknya semua yang melekat di tubuh Jordan basah kuyup.

Gadis itu masuk kamar mandi, keluar membawa sebuah handuk yang kini diulurkannya pada Jordan. "Rambutnya keringin dulu." Ada raut sendu serta rasa kasihan yang bisa terbaca di sudut mata Rere, ia sedikit melupakan kekesalannya, meredam ego.

"Makasih." Jordan meraihnya untuk mengusap rambut, ia lirik semangkuk mie instan yang masih utuh di permadani.

Rere mengikuti arah pandang Jordan. "Kam-kamu mau? Makan aja? Cuma aku cicip kuahnya aja kok tadi plus nggak ada petainya."

Jordan tersenyum simpul menanggapi sikap lucu gadis itu, ia putuskan bersila di permadani, meraih mie rebus yang harusnya dimakan Renita.

"Eum, aku buatin teh anget, ya? Sebentar." Mungkinkah gadis itu sebenarnya jelmaan malaikat? Jordan hanya bisa membatu dengan setiap sikapnya, ia menunduk ketika Rere memasuki dapur, gelenyar aneh merambat dalam tubuh hingga desiran darah terasa panas meski hawa dingin benar-benar mengulitinya.

Saat Rere kembali dengan segelas cangkir besar berisikan teh panas, Jordan masih mematung bersama tangan yang mengaduk mie di dekatnya, bola mata itu entah tertuju ke mana sampai tak menyadari kehadiran Rere yang kini bersila di seberang Jordan seraya melambai tangan kanan di depan wajah laki-laki itu.

"Hei, kamu ngelamun apa?"

"Nggak ada." Kewarasan Jordan kembali, handuk masih menutupi kepalanya yang basah.

"Atau karena nggak biasa makan mie rebus, ya? Nggak suka?" Rere sedikit kecewa saat ia dapati mie miliknya masih utuh.

"Ih, enggak juga kok. Ini gue makan." Buru-buru Jordan melahapnya meski setelah itu rasa pedas menggaruk kerongkongan, tapi tetap ia habiskan mie rebus itu tanpa memberi jeda, Renita memperhatikan tanpa kedip.  "Tuh kan habis, gue nggak bohong."

"Iya, bagus. Nggak baik nolak pemberian tuan rumah. Tehnya jangan lupa diminum, biar dinginnya berkurang."

Jordan meraih gelas itu, meniup uap yang masih mengepul seraya lirik Rere memperhatikannya dalam diam, membuat Jordan berhenti meniup lagi, tatapan mereka sama-sama terkunci. Dentum petir masih saja bersahutan dan langit belum lelah menyudahi air matanya, satu orbit lurus itu terputus saat dentum petir yang cukup keras membuat Rere refleks berkedip kaget.

Jordan juga tiup uap tehnya lagi sebelum sesapan berlangsung, rasa pedas memang lebih mudah disingkirkan dengan air hangat.

"Lo serius sendirian di sini?" Jordan perhatikan sekitar.

"Iya, kan aku pernah bilang."

"Di sini sama sekali nggak ada saudara?" Gelengan Renita menjadi jawaban. "Kok bisa betah ya di sini."

"Kalau orang yang merasa bisa dewasa pasti mau belajar hidup sendirian."

"Dan lo nggak takut cuma tinggal sendirian di tempat kost kayak gini?" Satu alis Jordan terangkat.

"Nggak, kan ini rumah, bukan penjara. Kalau ada orang yang mau jahat sama aku, nanti bakal aku doakan hidup dia bahagia selamanya."

"Bisa gitu ya." Jordan terkekeh, ia sesap lagi teh hangatnya.

"Kenapa hujan-hujan nekat ke sini." Pertanyaan yang sejak tadi ingin Rere lontarkan akhirnya mengudara.

"Kan mau minta maaf, tadi sore nggak dibukain pintu sama elo. Sengaja, kan?"

"Aku rasa itu hak aku mau buka pintu atau enggak."

"Terus, kenapa sekarang gue dibiarin masuk? Malah suruh makan mie rebus punya elo, dibuatin teh panas, dikasih handuk, ini namanyan perhatian full."

"Tenang aja, aku masih punya sisi kemanusiaan kok sekalipun marah sama kamu. Nggak lucu kalau aku usir kamu, nanti kalau kena bacok orang di jalan, aku juga yang salah." Rere alihkan pandang, mulai tak nyaman dengan keadaan mereka.

"Gue tadi sore nungguin elo, terus naik busway sendirian. Gue kira lo sakit, kalau emang kerja—pulang lewat mana? Naik apa?"

"Diantar pulang sama teman, naik motor."

"Cewek atau cowok?"

"Cowok."

"Kok cowok? Namanya siapa?"

"Kayaknya kamu nggak perlu tahu setiap urusan aku." Renita mengernyit, mulai naik darah.

"Ya kalau lo emang mau pulang naik motor, bilang aja. Biar besok gue yang jemput."

"EMANG KITA SIAPA?"

***