Baru saja Rere mengunci pintu depan dan memasuki kamar, suara ketukan pintu dari arah luar terdengar. Gadis itu mengernyit saat tangannya sibuk mencepol rambut panjangnya, ia taruh ransel lebih dulu di ranjang sebelum keluar kamar hampiri pintu utama. Tangannya kembali memutar kunci, senyum seseorang di balik pintu membuat Rere hendak menutupnya lagi, tapi buru-buru ditahan hingga Jordan berhasil masuk—membantu Rere menutup pintu.
"Kamu ngapain maghrib-maghrib gini ke rumah aku?" tanya Rere dengan ekspresi jengah, kemarin siang mereka sudah bertemu, lalu hari ini Jordan kembali muncul—bahkan langsung datang ke rumahnya.
"Gue dikejar bodyguard ayah lagi, kan kalau sembunyi di sini aman," tutur Jordan, padahal semua itu hanyalah kebohongan, faktanya bodyguard suruhan Januar sudah babak belur oleh teman-teman Jordan kemarin pagi, tak ada lagi yang bisa halangi laki-laki itu keluar rumah sesuka hati.
"Emang kamu punya hutang apa, sampai dikejar-kejar terus kayak gitu." Tatapan Rere terlihat menjengkelkan, tapi enggan membuat Jordan alihkan pandang.
"Nggak ada, boleh kan di sini sebentar?" Wajah itu pasang ekspresi polos, jika Rere bisa memukulnya dengan sepatu converse miliknya pasti ekspresi asli Jordan bisa muncul.
"Duduk!" Tegas dan lugas, hanya itu kata yang keluar dari bibir Rere sebelum ia melangkah masuk kamar lagi, dan Jordan mengikuti perintahnya tanpa protes.
Sekitar setengah jam Jordan begitu anteng seraya memainkan game dari ponsel tanpa mengusik penghuni kost yang sudah kenakan piyama tidur usai mandi beberapa menit lalu, suara kran air pun sekadar membuat Jordan melirik ke arah kamar yang pintunya hanya ditutupi sebuah tirai biru muda, jika Jordan pura-pura gila dan langsung masuk kamar pastilah pemandangan porno yang akan ia lihat.
Rere keluar kamar, ia dapati Jordan terbaring di atas permadani seraya menaikan kaki kiri di atas lutut kanan, berpose santai seolah rumah milik sendiri. Jordan hanya melirik saat Rere masuk dapur lalu kembali dan berkacak pinggang di dekat pintu kamar.
"Emang bodyguard itu belum pada pergi? Kok kamu masih di situ."
Jordan tersenyum miring tatap layar ponselnya, ia putuskan beranjak duduk seraya menengadah tatap Rere yang masih berdiri, ia usapi perut agar lebih dramatis. "Kayaknya gue laper deh, dari siang belum makan."
"Pergi aja ke warteg, dari sini dekat kok, warung nasi padang juga ada."
"Nggak biasa makan masakan orang asing." Wajah innocent itu membuat Rere ingin sekali memukulnya dengan penggorengan di dapur, begitu mudah berbicara tanpa merasa berdosa.
"Lah, terus? Ya udah pulang sekarang, biar bisa makan di rumah."
"Emang elo nggak makan? Lo nggak lapar?"
Rere bersidekap pasang raut datar. "Jangan nyesel ya kalau masakan aku nggak seenak yang di luaran sana." Ia terlalu peka untuk mengerti bahwa Jordan ingin makan di rumahnya, kehadiran laki-laki bertindik itu sungguh membuat repot. Rere kembali ke dapur tanpa memedulikan Jordan yang semakin di atas angin.
Gadis itu membuka penanak nasi, masih ada sisa sepiring nasi. Ia menarik colokan sebelum pindahkan nasi pada piring plastik merah muda yang kini ia letakan di atas galon dispenser. Berikutnya ia membuka kulkas, meraih sebuah telur seraya tersenyum miring saat matanya menangkap satu papan petai di sana.
Rere mulai eksekusi nasi gorengnya, menghaluskan bawang merah, bawang putih, garam serta sekitar sepuluh cabai setan pada cobek yang pernah dibelinya saat datang ke pasar kaget beberapa bulan lalu. Bisa dibilang kalau Rere terbiasa hidup mandiri, ia tahu cara menggunakan uangnya dengan baik tanpa perlu merepotkan orang lain, apalagi tinggal di Jakarta yang keras ini seorang diri.
Aroma tumis bumbu yang dihaluskan menguar nikmat hingga indra penciuman Jordan bisa membauinya, ia yang sedari tadi kembali sibuk dengan urusan game kini masukan ponsel ke saku celana, beranjak perlahan hampiri gadis yang berdiri di balik penggorengan, tangan Rere tampak cekatan mengaduk nasi serta bumbu yang telah ditumis, tak lupa dengan telur, kecap serta petai favoritnya.
Jordan si penguntit mendelik saat bola matanya menangkap butiran warna hijau di penggorengan, ia bahkan enggan menyentuh makanan itu jik di rumah, atau bisa marah-marah pada pembantu kalau melihat petai di rumah. Namun, kali ini Jordan menyaksikannya sendiri ada pada nasi goreng yang dibuatkan Rere untuknya.
Sungguh indah dunia.
Jordan buru-buru mundur saat kompor dimatikan, artinya sudah matang. Ia kembali duduk di permadani seraya menahan gejolak lain dalam perutnya, melihat petai tadi membuat Jordan ingin muntah saja.
"Aing bere sia lobaan lada jeng petei, modar sia," gumam Rere seraya tatap hasil masakannya di piring, persetan dengan Jordan yang mungkin tak suka, ia tahu sedikit perangai orang kaya.
Kini Rere dengan bangga membawa keluar nasi gorengnya seraya tersenyum semringah. "Nih, kamu yang tadi minta, kan? Aku nggak punya apa-apa, cuma nasi goreng. Kalau nggak mau—beli aja di luar." Ia duduk letakan piring nasi gorengnya di permadani.
Jordan menelan ludah dapati petai begitu banyak di piring nasi gorengnya, sungguh ironi kehidupan yang begitu pahit.
Rere bisa menangkap keraguan di mata Jordan. "Jadi, mau enggak?"
Laki-laki itu mengangguk pelan, Rere pun berikan sepasang sendok garpu padanya. "Kalau mau, tapi enggak dihabiskan akunya bakal sedih banget." Gadis itu sampai pasang puppy eyes, membuat Jordan terpaku sejenak dan lupakan soal petai.
"Suapin." Bibir jahanam Jordan akhirnya bicara, tapi kata pertama yang terlontar membuat Rere langsung jengkel.
"Oke." Gadis itu rebut lagi garpu sendok tadi, ia menyendok nasi dengan satu petai di atasnya seolah topping yang lezat, Rere mengarahkan sendok pada bibir Jordan sebelum terbuka hingga makanan itu berhasil bertamu di sana.
Sesuatu yang mulai Rere nikmati adalah ketika Jordan mengunyah makanan itu perlahan, sepuluh cabai untuk sepiring nasi bukankah sudah membuat siapa pun yang memakannya pasti kepedasan?
Sial, ini cewek kayaknya ngerjain gue. Jordan menatap kesal gadis itu seraya mengunyah makanannya, ia terpaksa telan semuanya meski harus menggigit petai yang bisa membuatnya mengamuk pada orang serumah.
Penuh semangat Rere kembali menyendok makanan itu, mengarahkannya ke bibir Jordan dan dapati hal yang sama. Jordan masih menikmatinya dengan terpaksa, gadis itu pun menyuapinya dengan suka rela.
"Lo di sini sendirian? Apa pisah dari keluarga?" tanya Jordan tiba-tiba, ia merasa kerongkongannya mulai terbakar rasa pedas tadi, perutnya juga terasa panas, keringat sebiji jagung muncul satu per satu di dahi hingga mengalir lewati pelipisnya.
"Sendirian, keluargaku semuanya di Bandung. Ngapain tanya-tanya soal itu, nggak ada niat buat urusin, kan?" Rere berceletuk asal, ia kembali menyuapi Jordan, wajah laki-laki itu terlihat merah padam saat panas merambat ke sekujur tubuh, ia loloskan jaket dan meletakannya di permadani.
"Emang nggak ada air dingin, apa?"
"Oh, ada dong." Rere beranjak seraya tersenyum miring, ia hampiri dapur sebelum keluar membawa sebotol air dingin lengkap dengan gelas kosongnya. Belum sempat Rere meletakannya di permadani, tangan Jordan lebih dulu merebut. "Nggak usah buru-buru, nanti batuk."
"Lo kasih cabai berapa emang? Bisa pedesnya kayak gini." Laki-laki itu mulai berkomentar usai air dingin sedikit mengurangi kadar pedas di kerongkongan, bahkan sampai dua gelas.
"Berapa, ya. Tadi aku ambil sisanya aja di kulkas, nggak ngehitung jumlahnya. Masa iya sepedas itu."
"Cobain aja kalau enggak percaya."
"Tadi yang minta makan siapa, ya. Nggak sopan kalau aku makan sesuatu yang udah disediain buat tamu, benar, nggak?"
Ternyata ada yang bisa mendebat argumen Jordan. "Terserah lo aja, gue nggak mau habisin itu makanan. Nanti bisa kebakar badan gue."
"Kena azab, ya?" Rere terkekeh sendiri, tak-tiknya berhasil membuat Jordan kesal.
"Sengaja, ya?"
"Nggak."
"Sengaja pasti, kan?"
"Enggak."
"Nggak usah bohong."
"Enggak."
Jordan merangkak mendekat, senyum miringnya tampak menjengkelkan. "Lo serius? Gue tahu lo sengaja kerjain gue, kan? Kalau orang rumah yang taruh itu petai jelas bakal gue semprot."
"Apa, sih." Kepala Rere refleks mundur saat wajah itu semakin dekat, bahkan mengungkung posisinya di sudut tembok. "Emang apa salahnya makan petai, nggak bikin kamu langsung mati, kok."
"Gue nggak suka petai, denger nggak!" Aroma petai yang khas keluar dari bibir Jordan refleks membuat Rere menutup hidungnya.
"Bau, jauh-jauh sana." Rere mengibas tangan, membuat Jordan makin kesal.
"Bau lo bilang? Yang bikin gue jadi bau gini siapa tadi, huh!" Jordan berdiri dengan lutut, ia ingat memiliki beberapa permen mint di saku celana, Jordan merogohnya satu sebelum benda itu masuk ke bibir—menghilangkan aroma petai. Masih di posisi yang sama, Rere hanya diam memperhatikan gerak-gerik Jordan. "Lo kayaknya harus dihukum, ya. Biar nggak asal memperlakukan tamu."
"Lho, kenapa jadi kamu yang marah? Kan ini tempat kost aku, suka-suka aku dong mau gimana."
"Oh gitu, dan elo nggak nyadar lagi ngomong sama siapa?"
"Siapa, nama kamu Jordan, kan?" Rere sama sekali tak takut pada nada mengancam laki-laki itu, ia bahkan memelototkan mata seraya angkat dagu agar sisi pongahnya muncul.
Jordan hanya diam menatap bola mata itu, tiba-tiba ia kehilangan keberanian dan putuskan mundur seraya raih jaketnya di permadani. Kening Rere mengerut saat Jordan tiba-tiba mundur, padahal tadi sudah begitu angkuh mengancamnya.
Mereka sama-sama diam ketika Jordan kenakan lagi jaketnya, ia beranjak hampiri pintu sebelum berhenti di sana, menoleh seraya berkata, "Lain kali hati-hati sama gue, lo nggak tahu apa aja yang bisa terjadi ke depannya. Besok, lusa, minggu depan sama seterusnya gue masih bakal ke sini, sampai gue bosan."
Saat itulah tubuh Rere menegang hebat, ia merasa kalau dunianya sudah berubah lebih kelabu dari sebelumnya.
***