Terima kasih buat tumpangannya,
Nanti, besok, lusa, minggu depan gue bakal sering-sering ke sini lagi.
Jordan.
Hari ini, Rere terus memikirkan tulisan laki-laki bernama Jordan yang memang menginap di kost-nya semalam, Rere sendiri makin tak mengerti kenapa ia bisa membiarkan Jordan terlelap satu atap dengannya—padahal tidak kenal pun kesan mengerikan tentang malam itu masih melekat jelas di ingatan Rere.
Pagi tadi sebelum lamunan panjangnya di busway berlangsung, Rere temukan secarik kertas tergeletak di dekat pintu kost, ia meraihnya sebelum memekik kesal usai membaca isinya. Satu lagi, Rere makin meradang saat ia menyadari bahwa kertas serta bolpoin yang digunakan Jordan ternyata didapatkan dari kamar Rere, artinya Jordan masuk diam-diam ke kamar gadis itu saat Rere tentunya sedang terlelap.
Semoga Jordan tak melihat pose tidur Rere yang mirip cicak di dinding, suka melekat pada tembok, atau bahkan mendengkur jika tubuh gadis itu benar-benar lelah usai aktivitas seharian. Terakhir, semoga Jordan tak berbuat macam-macam saat Rere tengah terlelap.
Sepanjang busway melaju, pikiran Rere hanya terpatri pada satu hal; kenapa ia menolong Jordan untuk kedua kalinya?
Jika itu orang lain, mungkinkah Rere masih bersedia?
Ia sampai gemas sendiri memikirkan sesuatu yang baginya sangat mustahil—membiarkan orang asing tidur di tempatnya, jika hal buruk terjadi bukankah salah Rere sendiri?
Busway telah berhenti di BRT dekat tempat kerja Rere, saat itu juga lamunan Rere berakhir, ia beranjak bersama beberapa orang yang antre keluar busway. Sudah saatnya melakukan kewajiban dan tepikan angan yang belum tergapai.
***
Tak ada serial televisi yang ia sukai, tak ada juga adegan humor yang membuatnya sampai tersenyum berkali-kali. Namun, satu hal yang bisa membuat pagi Jordan bisa aneh seperti itu hanya karena sebuah foto seorang gadis tengah terlelap di ranjangnya seraya memeluk guling bergambar Hello Kitty. Bahkan jika harus dibandingkan dengan motif pada guling, mungkin wajah dengan kelopak mata tertutup itu jauh lebih memikat.
Lucu, entah apa yang merasuki Jordan hingga ia memfoto Rere saat terlelap sekitar pukul lima pagi—tepat ketika Jordan merobek secarik kertas dari buku yang tergeletak di permukaan laci kecil sebelah ranjang busa tempat terbaringnya manusia yang masih sibuk bermain di alam mimpi.
Laki-laki itu tengah terbaring di sofa hitam panjang sebelah jendela kamarnya seraya menatap ponsel yang masih tampilkan wajah Rere. Iseng yang berujung hal tanpa penjelasan, mungkin begitu.
Derit pintu kamar terdengar, pemilik pantofel hitam masuk kamar Jordan tanpa ketuk pintu lebih dulu dan Jordan bisa menebaknya tanpa perlu melihat ke arah pria berjas hitam yang kini mendekat padanya, hanya Januar yang bisa masuk kamar Jordan tanpa perlu minta izin.
"Ayah sengaja pulang, sengaja cek keadaan kamu di rumah. Ayah harap kamu nggak kabur lagi," tutur Januar yang kini berdiri di dekat kepala Jordan.
"Oh, terus?" sahut Jordan tanpa alihkan tatapannya dari layar ponsel.
"Ayah nggak mau kamu kabur lagi, apa omongan dokter masih kurang bikin kamu paham sama kondisi sendiri? Ayah nggak mau kamu celaka lagi, Jordan."
"Peduli atau kenapa?" Meski sarkas, tapi santai sekali saat mengatakannya.
"Ayah ini orangtua kamu, nggak ada orangtua yang mau ngelihat anaknya—"
"Menderita?" potong Jordan, ia beranjak duduk seraya masukan ponsel ke saku celana. "Ayah belum ngerasa gitu kalau udah buat anaknya benar-benar menderita? Terus sekarang ceramah lagi soal masalah kepedulian? Jordan nggak butuh, serius." Ia berdiri menatap Januar. "Jordan bisa kabur sesuka hati, nggak usah ngekang. Terus, jangan sampai Jordan lihat Sarah masuk kamar ini atau paksa Jordan lakuin sesuatu yang nggak bakal Jordan lakukan. Oke?"
"Kamu!" Januar menunjuk Jordan.
"Aku, Maevell Jordan nggak akan pernah bahagia atas pernikahan kedua Ayah, lebih baik lihat Ayah jadi duda selamanya daripada nikah sama perempuan yang usianya sebaya sama Jordan, titik!" Ia melangkah keluar kamar sebelum suara bantingan pintu terdengar, tak peduli dengan perasaan sang ayah yang mungkin tercabik-cabik saat anak semata wayangnya tak pernah merestui niat pernikahannya dengan Sarah.
Jordan menuruni anak tangga seraya keluarkan ponsel dari saku celana, ia ketik sebuah chat untuk nomor Guntur.
Setengah jam dari sekarang, lo bawa anak-anak ke rumah gue, babat aja itu monyet-monyet di depan pintu. Gue muak dikurung terus.
"Emang gue pikirin," gumam Jordan sebelum smirk menghiasi wajahnya.
***
Sudah pukul satu siang, jam istirahat telah berakhir, Rere kembali disibukan dengan pekerjaannya. Ia terlihat mendorong troli yang penuh oleh berbagai macam barang, tugasnya sekadar mengisi lagi beberapa barang yang mulai habis pada rak-rak produk tertentu. Kali ini Rere berada di depan island rak, atau sebut saja rak gondola yang sengaja bertempat di tengah, island rack biasanya miliki rak double atau rack end cap.
Rere sendiri tengah berhenti di depan rak khusus produk teh dan susu, ia meraih beberapa jenis kotak teh celup dari troli sebelum meletakannya pada varian produk sejenis yang hanya sisakan sedikit barang. Tak lupa setelahnya ia memberi centang pada sebuah note kecil yang selalu ia letakan di saku seragam.
Setelah varian produk teh celup tadi terisi penuh, Rere mendorong troli ke arah rak lain, masih ada jenis makanan ringan serta varian mie instan yang harus segera diisinya pada rak lain.
Langkah gadis itu kembali terhenti di depan rak snack, sebut saja rak gondola dengan papan shelving berbentuk memanjang. Ia kembali isi beberapa varian snack yang kosong dengan produk dalam troli, tak lupa tanda centang berikutnya pada note. Meski banyak orang berbelanja atau mengambil snack di dekat Rere, hal itu sama sekali tak mengganggu tugasnya sebagai crew store.
"Tinggal varian mie instan sama produk facial wash yang lagi promo," gumam Rere saat tatap note di tangan kanan, tapi sebuah gesekan di dekat sepatu converse merah miliknya membuat gadis itu alihkan fokus. Ia mengernyit tatap sepasang boots cokelat berada di sebelah kiri—sebelum kepala gadis itu menengadah tatap pemilik boots yang kini membuatnya tak bisa berkedip. Bukan perihal terpesona, tapi kaget luar biasa. "Kunaon sia didinya—eh ngapain kamu di sini?" Kalimat itu yang pertama muncul, padahal swalayan adalah tempat berkumpulnya sejuta umat untuk berbelanja, jadi pertanyaan Rere terdengar konyol.
"Ya mau beli, nggak boleh emang?" Jordan lantas meraih beberapa snack yang tadi diletakan oleh Rere, seolah sengaja membuatnya kesal.
"Kenapa harus di sini?"
"Oh gitu, ya udah nanti gue bilang ke kepala manajemen elo—kalau gue nggak boleh belanja di sini sama salah satu karyawan yang namanya ...." Jordan tatap nametag di seragam Rere. "Namanya Renita Hakim, oke?"
Rere mendengkus sebal, ia kembali langsungkan pekerjannya dengan cara yang sedikit kasar ketika meletakan snack pada tempatnya seolah tak suka menanggapi kehadiran Jordan yang tiba-tiba, entah itu kebetulan atau tidak.
Rere mendorong trolinya ke arah rak end cap untuk meletakan varian mie instan yang menjadi sisa produk dalam troli. Lucunya, Jordan ikut mendorong troli miliknya yang baru diisi beberapa snack tadi—mengikuti tempat berhentinya Rere sekarang.
"Kamu ngapain lagi ke sini?" Ia makin kesal melihat Jordan kembali berdiri di sebelahnya. "Sengaja, ya?"
"Mana ada, gue mau ambil mie instan juga, kan makanan sejuta umat. Benar, nggak?" Senyuman itu cukup menjengkelkan di mata Rere, tanpa peduli lagi dengan alasan Jordan pun Rere tetap lanjutkan pekerjaannya.
Seperti seorang siswa yang diam memperhatikan ketika diterangkan, Jordan melakukan hal yang sama ketika Rere sibuk melakukan pekerjaannya seolah mie instan hanya omong kosong sebuah alasan.
"Kunaon sia delengkeun aing kos kitu," ucap Rere dengan logat sunda, tatapan kesalnya terus menghunjam Jordan. Ia tarik note dari saku dan lakukan tugas seperti sebelumnya.
"Ngomong apa, sih? Gue asli betawi, jadi nggak terlalu ngerti bahasa sunda," tutur Jordan.
"Aku nggak tanya, urusan kamu."
"Iya, sih. Tapi bisa kepo nanti, gue kalau mati gentayangan bakal cari-cari elo, gimana?"
Rere mulai gerah hadapi laki-laki banyak bicara itu. Saat ia hendak mendorong troli kosongnya menjauh dari sana, tangan Jordan lebih cepat menggapainya.
"Mau ke mana?" tanya Jordan.
"Ish!" Rere menepis kasar, ia makin tak nyaman saat beberapa orang yang sibuk berbelanja jadi memperhatikan mereka. "Kamu nggak lihat kalau aku lagi kerja? Kalau mau belanja ya ambil aja, di sini sistemnya ambil sendiri kok, nggak kayak di warung." Setelahnya ia kembali dorong troli tinggalkan tempat itu tanpa dikekang Jordan lagi, sedangkan laki-laki yang hanya kenakan kaus abu-abu serta ripped jeans itu tersenyum tatap punggung Rere yang semakin kecil sebelum menghilang di balik sebuah pintu ruang penyimpanan barang.
***
"Cowok yang tadi ngajak elo ngobrol itu siapa, Re?" tanya Vita ketika Rere sibuk memilih barang yang harus ia isi pada troli kosong di dekatnya, mereka berada di gudang penyimpanan, kebetulan Vita baru masuk dan langsung bertanya.
"Siapa?" Rere balik bertanya tanpa menoleh, ia keluarkan beberapa produk facial wash dari sebuah kardus kecil sebelum memindahkannya pada troli.
"Itu, yang tadi ngajak elo ngobrol, malah kayaknya tarik tangan elo, ya."
Rere kerutkan kening, kenapa juga Vita harus melihat adegan tadi, apalagi Vita tipikal manusia penganut kepo berat.
"Aku nggak tahu, sok ngajak ngobrol aja," kilah Rere.
"Oh gitu, kalau elo punya nomor dia, atau misal dia yang minta nomor elo—tolong kasih ya, Re. Gue pengin punya nomor dia, habis mukanya baby face banget, ganteng terus keren gitu. Kok bisa ya dia belanja sendirian?" Vita menerawang.
Rere sendiri enggan menanggapi pujian Vita tadi, ia lebih suka menyibukan diri dengan setumpuk barang yang harus segera memenuhi troli sebelum ia lakukan tugas berikutnya, ingin Rere hanya satu saat ia keluar dari gudang nanti; tak ada makhluk bernama Maevell Jordan yang mengusiknya.
***