Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 2 - 1. Jumpa pertama.

Chapter 2 - 1. Jumpa pertama.

"Mending intropeksi diri sendiri dulu sebelum ceramah nggak berguna setiap hari, kaca di rumah banyak. Ayah ngaca, sikapnya selama ini udah benar apa belum. Buah nggak jatuh dari pohonnya, jadi bajingannya aku pasti kloningan, Ayah," ucap Jordan panjang lebar seraya melangkah keluar rumah malam itu, sekitar pukul sebelas. Bukan hal aneh jika ia harus berdebat dengan sang ayah, tapi pastikan selalu siap dengan argumen yang lebih baik jika mengajak debat Jordan, pasalnya ia laki-laki yang mudah menyahut dengan segala kosa kata sarkastik tanpa peduli siapa lawan bicaranya sekalipun Januar—ayahnya.

"Harusnya kamu bisa bersikap lebih baik, Jordan. Kamu bukan anak kecil lagi, gimana masa depan kamu nanti kalau nggak pernah kerja, setiap hari keluyuran malam pulang pagi." Januar masih enggan mengalah, dia terus mengekor hingga Jordan tiba di depan jeep miliknya, membuka pintu dan duduk di balik kemudi seraya benarkan jaket hitam yang ia kenakan.

"Kalo berangkat malam pulang pagi, artinya shift dua. Itu namanya kerja," seloroh Jordan sebelum memutar kunci, tarik persneling dan injak gas mundur membawa mobilnya tinggalkan halaman rumah.

"Kamu gila, Jordan!" Suara Januar masih menghampiri telinga Jordan meski mobil mulai melaju di jalanan komplek.

Jordan tersenyum miring, ia hidupkan musik rock agar telinganya tak terasa sakit usai mendengar ocehan sang ayah yang selalunya setiap hari mengudara, tanpa batas waktu, asal bertemu di mana pun tempatnya pasti adu mulut berlangsung.

"Lebih gila siapa, ayah yang selingkuh sama pacar anaknya sendiri, gitu?" Ia meraba permukaan dashboard, meraih sebungkus rokok yang sudah berkurang isinya. Jordan sematkan salah satunya di bibir sebelum pemantik api mengudarakan asap lewati jendela mobil yang sengaja dibuka. Intensitas keramaian di jalan raya benar-benar berkurang, waktu yang paling Jordan sukai saat mobilnya tak perlu dihalangi jika ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, ia masih ingat acara favoritnya saat masih kecil yang sekaligus merangkai sebuah mimpi dalam benaknya; menjadi pembalap mobil profesional. Jadi, anggap saja kali ini Jordan tengah menunaikan angan besarnya. Lagipula, jika malam hari tak perlu ia dengar umpatan sumpah serapah dari orang-orang yang kesal akibat kebut-kebutan di jalan, yang Jordan lakukan kali ini cukup sopan sekaligus tak menambah dosa.

Ia terus memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi hingga jarum speedometer hampir menyentuh angka terakhir, anggap saja pemilik jalan adalah nenek moyang Jordan, jadi ia punya alasan untuk bebas tanpa batas.

Namun, lampu sen menyorot sekitar tiga motor yang sengaja berjejer di tengah jalan seolah memang menunggu dirinya. Umpatan bersama pukulan pada kemudi baru saja Jordan lakukan, sepertinya ia terjebak dalam situasi mengerikan itu sekarang. Kaki Jordan langsung menginjak rem sebelum bagian depan mobilnya menyentuh salah satu ban motor dengan masing-masing pemilik bertengger tanpa rasa takut.

Jordan membuka pintu dan keluar tanpa rasa takut meski ia hanya seorang diri, batang rokok yang masih panjang itu terpaksa dibuangnya ke aspal sebelum berucap, "Ngapain lo pada! Nggak tahu kalau ini jalan nenek moyang gue!" Ia benar-benar menantang ketiga manusia bertopeng yang kini turun dari kendaraan mereka. "Ngapain, woy! Ngajak berantem? Satu-satu dong!" Jordan langsung pasang kuda-kuda saat salah satunya mendekat, tapi ia membatu sesaat begitu sebuah katana ditarik dari punggung laki-laki yang kini berdiri di depannya.

"Jadi, lo yang namanya Jordan, mau mati sekarang apa besok?" tawar pria pemegang katana itu, seolah nyawa miliki harga yang murah.

Jordan tak lagi pasang kuda-kuda, ia bergeming saat bola matanya memperhatikan sekitar—termasuk memperhitungkan bahaya yang kini harus dihadapi. Jordan sendiri, mereka bertiga. Jordan dengan tangan kosong, mereka bahkan membawa katana.

"Lo harus hati-hati sama Bara, dia lagi ngincer elo, Jo." Terlintas perkataan Tama—teman sesama petarung—beberapa waktu lalu, Jordan bahkan tak ingin ambil pusing tentang kekhawatiran teman-temannya hari itu, tapi apa yang mereka semua cemaskan memang tengah Jordan hadapi, tanpa perlu tiga pria itu membuka topeng pun Jordan tahu siapa dalang di belakangnya, terutama dari jaket berlogo kepala garuda di lengan kiri.

Jordan meludah. "Lo pada disuruh sama Bara? Cemen banget dia, suruh satu lawan satu sama gue. Jangan bisanya pipis sembarangan aja."

"Sikat langsung itu bocah, bacotannya nggak guna," perintah salah satu pria yang berdiri di sisi temannya pada pria di depan Jordan.

"Bangsat! Monyet! Babi! Anjing lo, Bara!" pekik Jordan sebelum melarikan diri, jika hanya fight menghadapi tiga lawan sekaligus akan ia lakoni, tapi mereka membawa senjata, bahkan katana yang bisa memisahkan kepala dari lehernya. Jordan belum ingin mati sekarang, selain bercita-cita menjadi pembalap profesional, ia juga ingin jadi petarung nomor satu.

Persetan dengan cita-cita, Jordan harus menyelamatkan nyawanya tanpa bantuan siapa-siapa. Mungkin, malam ini adalah sebuah kesialan.

Jordan tunggang-langgang menusuri jalanan sepi yang entah kapan menemui ujungnya, ia harap tak berujung. Untung saja Bang Deni—pelatih fighter—selalu memintanya melakukan pemanasan dengan berlari beberapa KM setiap hari sebelum ia melangsungkan pertarungan dalam ring, jadi tiga pria tadi tertinggal cukup jauh hingga Jordan masih bisa berhenti sejenak sekadar memasok oksigen sebanyak-banyaknya. Namun sial, tepat ketika ia menoleh—ujung katana yang panjang itu telah menyentuh bagian lengan kanan, turun ke bagian punggung sisakan sayatan cukup panjang sebelum tubuh Jordan benar-benar ambruk tanpa perlawanan.

Tiga pria tadi tertawa lebar tanggapi kebodohan Jordan yang terlalu sepelekan kemampuan ketiganya. Pria pemegang katana mendekat saat Jordan meringkuk seraya sentuh bagian punggungnya tanpa lupa erangan rasa sakit luar biasa.

"Mending lo mati aja," ucap si pria seraya angkat katana, bersiap memisahkan kepala Jordan dari tubuhnya.

"BERHENTI KALIAN! AKU UDAH REKAM SEMUANYA, AKU UDAH LAPOR POLISI, MEREKA LAGI DATANG KE SINI!" pekik seorang gadis yang berdiri di ujung jalan, tubuhnya gemetar hebat usai menyaksikan kejadian bengis beberapa detik lalu di depan matanya sendiri. Ia ingin ikut ambruk seperti Jordan, tapi keadilan yang wajib ditegakkan sudah membantu tubuhnya agar kuat berdiri dan meneriakan kalimat yang sebenarnya hanya bualan, ia tak benar-benar melakukannya.

"Bangsat!" umpat pria pemegang katana, ia menoleh tatap dua temannya sebelum mengajak mereka lari tinggalkan tempat itu, ternyata sebuah bualan yang bisa dilakukan anak kecil pun sanggup mengusir orang-orang jahat tadi. Lucunya dunia.

Gadis itu refleks luruhkan ponsel saat tubuhnya semakin gemetar hebat, ia tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya hingga terduduk di aspal kasar nan dingin malam itu.

"Rere, kamu ngapain teriak-teriak kayak tadi, harusnya kamu kabur aja, jangan ikut campur urusan orang lain, kan jadi gini, mati sendiri," gumam gadis yang kini tatap nanar tubuh laki-laki di tepi jalan berjarak tiga meter di depannya, masih meringkuk seraya mengerang rasakan sakit yang semakin menjalar ke sekujur tubuh. "Mending aku pulang, mending aku pulang!" Buru-buru ia raih ponselnya, beranjak seraya melangkah pergi, tapi suara erang kesakitan laki-laki asing tadi membuat kaki Rere refleks terhenti, sisi kemanusiannya masih ada, tapi ia takut menghadapi semua.

"Argh!" Terlalu menyayat hati, sudikah Rere tinggalkan orang asing yang membuatnya mungkin takkan nafsu makan selama seminggu nanti?

Rere memejam sejenak, ia cengkram ponselnya sebelum memutar tubuh. Otaknya menekan agar kaki Rere melangkah dekati laki-laki korban kekerasan tadi, dan Rere melakukannya meski rasa takut sama sekali tak bisa dihindari.

"Argh!" Tak ada lampu temaram di sekitar mereka, suasana jalanan benar-benar gelap, kanan kiri diisi oleh beberapa pohon palem yang menjulang tinggi. Jadi, sosok yang berbalut jaket hitam itu sama sekali tak terlihat wajahnya, hanya erangan memilukan menyayat indra pendengaran Rere.

Gadis itu mematung di depan sosok yang masih cengkram bagian luka sayatan di punggung kanan, Rere menelan saliva berkali-kali, ia gigit bibirnya sebelum berlutut di sana.

"Kam-kamu nggak apa-apa?" Bibirnya bahkan gemetar sekadar berucap.

"Lo goblok! Gue lagi sekarat sekarang!"

"Aku bacain doa aja kalau gitu, ya? Biar kamu nggak gentayangan karena mati penasaran, yang jelas bukan aku pelakunya." Oke, Rere semakin konyol.

"Anjing! Gue nggak mau mati sekarang! Tolongin gue! Argh!"

"Tolongin giman—"

"Ambil hp gue di saku celana! Cepet! Hubungin Guntur suruh ke sini!"

"Tapi, kalau kamu udah mati duluan sebelum dia ke sini, gimana?"

"Bacot lo, ya! Cepet ambil hp gue!" Laki-laki yang tak terlihat batang hidungnya itu semakin meradang, kenapa kepolosan Rere datang di saat yang tidak tepat.

"Iya, sabar." Perlahan Rere gerakan tangannya mendekat pada tubuh laki-laki bermulut pedas itu, tiba-tiba saja tubuh laki-laki tadi berubah posisi menjadi telentang, tapi wajahnya tetap tak terlihat.

"Cepat!"

"MAAF! AKU NGGAK ADA NIAT PEGANG-PEGANG KAMU! MAAF!" Rere pejamkan mata saat tangannya berhasil temukan saku celana Jordan, menarik paksa ponselnya keluar. Ia sedikit bernapas lega. "Ini kodenya apa? Aku nggak tahu."

"098765, argh!" Jordan tarik paksa tangan yang sempat menutupi luka sayatan tadi, kini pekat darah memenuhi telapak tangannya. Untung gelap, jadi Rere tak bisa melihat merah mengerikan itu.

Namun, saat layar ponsel Jordan menyala, gerakan tangan Rere justru menyorot telapak tangan Jordan yang dipenuhi merah kental itu. Rere mendelik beranjak tunggang-langgang menjauhi Jordan seraya menahan amukan perut yang tak bisa menerima pemandangan tadi.

"Cewek sialan! Cepet hubungin Guntur, gue mau mati sekarang!"

Rere enggan mengidahkan, ia berjongkok tak jauh dari Jordan seraya mengeluarkan cairan dalam perutnya, melihat kucing lahiran saja membuat Rere enggan makan seminggu, lalu sekarang ia melihat darah manusia sekental tadi, ambyar sudah isi perutnya.

"Argh!"

Rere menutup mulut, masih ada nyawa yang perlu ia selamatkan ketimbang urusan mual-mual ala hamil muda. Ia kembali pada Jordan, tanpa aba-aba Rere melepas jaket denimnya untuk menutupi tangan Jordan tadi, ia bisa benar-benar gila jika melihat darah itu berkali-kali.

Layar ponsel yang sempat redup kembali terang, menyorot jelas wajah gadis yang kini Jordan perhatikan dalam diam bersama perih yang enggan menghilang.

Gadis itu menunduk saat jemarinya sibuk scroll kontak nomor hingga dapatkan nomor Guntur, panggilan langsung terhubung saat Rere menelponnya dalam jangka beberapa detik saja.

"Woi, lo di mana, Jo! Kita udah nunggu dari lama." Suara laki-laki akhirnya terdengar.

"Eum, hai kamu yang namanya Guntur. Ini teman kamu yang punya hp ada di pinggir jalan, dia barusan dilukai orang, katanya sebentar lagi mau mati." Saat Rere mengatakan hal itu, ia tak lagi mendengar rintihan Jordan pun dialog sarkasnya. Rere mendelik ketika menyadari sesuatu, suara Guntur ikut lenyap saat ponsel refleks jatuh.

"KAMU JANGAN MATI DULU!"

***