Hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana Alex libur bekerja. Kemarin saat ia pulang kerja, Marissa Hilman yang tak lain adalah ibu kandung Alex meminta agar putranya makan siang bersama di rumah.
Marissa tahu kalau setiap kali hari libur Alex tak pernah ada di rumah. Ia pergi seharian, bahkan tak kembali lagi karena menginap di tempat lain.
Alex menatap berbagai macam makanan yang ada di atas meja. Rasa kagum dan bercampur heran. Makanan hari ini sebagian besar adalah makanan kesukaannya.
"Ma, ini makanan semua Mama yang masak?"
"Iya, khusus buat kamu. Kita kan jarang-jarang bisa makan siang bersama."
"Mama tahu kan kalau Alex sibuk."
"Mama tahu kamu sibuk. Kamu sibuk sama semua pekerjaan di kantor, kamu juga sibuk sama urusan wanita."
Alex berdeham dan segera meminum air. Sepertinya makan siang kali ini akan berlangsung serius. Alex yakin kalau Mamanya akan menanyakan banyak hal padanya, terutama tentang hal pribadinya.
"Lain kali kamu harus ajak Fey ke rumah."
"Hm." Kata Alex singkat.
Ia mulai mengambil makanan yang hendak di makannya. Terlalu menggoda iman jika tidak segera di cicipi. Lagipula Alex perlu energi yang banyak untuk menjawab segala pertanyaan dari Mamanya.
Alex sangat menyukai masakan Mamanya. Baginya untuk masakan rumahan, Marissa adalah koki nomer satu pilihan Alex.
"Enak Mam." Kata Alex sambil tersenyum.
"Mama buatin spesial buat kamu. Jarang-jarang kan kamu bisa makan masakan Mami."
Alex hanya menghela nafas sambil tersenyum tipis. "Next time ya Ma."
"Jawaban yang sama. Yang selalu Mama dengar sejak kamu sibuk di kantor."
"Alex kan kerja bukan cuma buat diri Alex sendiri. Tapi juga buat Mama dan keluarga ini."
"Iya.. Mama bersyukur punya anak seperti kamu yang bisa meneruskan perusahaan keluarga hingga berkembang menjadi sebesar ini."
Pujian rasa syukur yang Marissa katakan tadi adalah pujian yang paling Alex sukai. Baginya pujian itu seperti ada doa di dalamnya.
"Oh ya Al, hubungan kamu sama Fey sudah sejauh mana?"
Deg!!
Alex terdiam sejenak, ia meneguk air putih. Marissa masih menunggu jawaban putranya.
"Ehm.. masih.. lancar-lancar aja Ma." Jawab Alex tanpa menatap Mamanya.
Marissa mulai curiga, ia seakan tak puas dengan jawaban yang Alex berikan tadi.
"Ya maksud Mama, sudah ada niat buat ke arah yang lebih serius lagi gak."
"Maksud Mama?"
"Menikah."
Kedua mata Alex melebar. Pernikahan..??? Bukan hanya dirinya, Alex yakin kalau Fey juga belum berfikir ke arah sana.
Hubungan pertunangan yang sekarang ia jalani saja masih belum bisa seperti yang di harapkan. Walaupun…. Alex mulai merasa, Fey mulai dekat dengannya setelah ia mengantar Fey pulang ke apartemennya.
"Belum kefikiran ke arah sana Ma."
Marissa mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa seperti itu Al?. Apa kamu gak kasihan sama Mama, sama keluarga ini. Kamu tahu kan, kamu putra satu-satunya di keluarga Hilman."
Alex menghela nafas. "Iya Ma, Al tahu."
"Kalau begitu segera pastikan kelanjutan hubungan kamu dan Fey. Kalau kamu gak bisa, biar Mama yang bergerak. Mama akan bertemu dengan kedua orang tua Fey."
Alex terkejut. "Orang tua Fey lagi gak di sini Ma. Sejak seminggu yang lalu mereka berangkat ke Jerman, untuk merawat kakeknya Fey yang lagi sakit."
"Mama bisa hubungi mereka. Dan kita akan tunggu kapan mereka bisa kembali lagi."
Alex meneguk ludahnya. Pembicaraan ini akan memasuki tahap yang serius. Semuanya akan serius jika sudah berbicara tentang pernikahan. Hal itu terjadi ketika awal Mamanya menjodohkan Alex dengan Surie.
"Kamu… gak ada hubungan lagi kan sama mantan istri kamu?" Tanya Marissa tiba-tiba.
Alex terbatuk dan segera meneguk air putihnya. Marissa menatap curiga pada putranya. Jangan-jangan firasatnya terbukti benar. Walaupun Alex sudah bercerai dengan Surie, tak berarti mereka tak berhubungan lagi.
"Hubungan Al dan Surie baik-baik aja Ma. Dan Alex minta untuk Mama gak gangguin Surie." Ujar Alex.
"Kenapa Mama ngerasa kalau kamu lagi ngancam Mama, Al."
Alex menelan ludahnya ketika Marissa menatapnya begitu lekat. Tatapan penuh kecurigaan. Bagi Alex feeling seorang ibu sangat kuat. Dan secara tidak langsung bisa Alex akui kalau perkataanya tadi terkesan seperti ancaman.
*****
"Halo." Ucap Fey.
Alex langsung menelfon Fey ketika ia sudah berada lagi di kamarnya.
"Halo, Fey."
"Iya Al ada apa?" Tanya Fey.
"Kita harus bicara serius."
"Mau ketemu gak, aku lagi pengen ngopi nih."
"Lain kali aja ngopinya. Atau.. kamu bisa ajak orang lain."
"Orangnya ya kamu Al." Kata Fey manja.
"Fey." Alex menaikkan nada suaranya. Ia tak ingin main-main kali ini.
Fey menghela nafas. "Aku buat kopi di apart aja. Kamu mau bicara apa?"
"Mama mulai nanya hubungan kita."
"Kita udah tunangan kan? What's the matter?"
"Mama mau ngelanjutin hubungan kita ke tahap yang lebih serius."
"Pernikahan maksud kamu." Tebak Fey.
"Hm."
Fey tertawa. Ia tertawa lepas seakan semuanya terdengar seperti lelucon baginya.
Alex memejamkan kedua matanya. "Be Serious please." Alex menekankan.
Fey berusaha membuat tawanya berhenti. "Iya-iya. Maaf."
Alex hanya menggeleng dan menghela nafas. Di saat seperti ini bukan baginya untuk bercanda. Alex mengenal betul bagaimana dan siapa Marissa. Apa yang dia inginkan, akan ia wujudkan. Apa yang terbaik baginya untuk Alex, maka itulah yang terbaik.
"Mama kamu tahu kalau kamu masih sama Surie?"
"Hm.. I guess."
"Kamu yang kasih tahu?"
"Fey.. C'mon. You knew my mother right?"
Fey mengangguk. "Iya.. aku kan cuma masti'in aja. Dia itu tipikal Ibu yang terkadang bisa kolot, terkadang bisa modern. Apalagi menyangkut anak dan martabat keluarga Hilman."
Alex diam dan Fey melanjutkan perkataannya.
"Ini adalah masalah kamu, then solve it. Aku gak akan bantu sama sekali. Masalah kelanjutan hubungan kita, aku belum bisa lebih dari ini."
Deg!!!!
"Why?"
"Kamu udah tahu jawabannya Al. Mau kita nikah atau enggak, kita akan tetap seperti ini kan. Gak akan ada yang berubah."
"Jadi.. ini serakah yang kamu maksud."
"Kalau tentang itu, kamu lihat aja nanti. Yang jelas aku gak mau kalah dalam pertandingan ini." Fey menegaskan suaranya.
"Kalau gitu kenapa kita gak nikah aja. Kamu bisa dapatin status yang lebih kuat atas diri aku daripada Surie."
Fey kembali tertawa, namun tawanya kali ini terdengar seperti sebuah sindiran.
"Alex.. alex.. jangan coba untuk tipu aku. Walaupun kita menikah, kamu gak akan melepaskan Surie begitu aja, iya kan?"
Deg!!!
"Kamu hanya ingin melindungi Surie dari mama kamu, dan membuat seolah-olah aku bisa menang."
"Fey…"
"Al… just admit it. Kamu cinta kan sama Surie? Kamu lebih mencintai Surie daripada aku."
Alex terdiam dan kedua matanya melebar. Fey yang mengerti kemudian memutuskan pembicaraan mereka di telfon. Alex menggenggam erat ponselnya sambil duduk di sofa.
Kini perasaannya mulai bercampur aduk. Mendadak rasanya ia tak bisa berfikir jernih dan tak tahu harus berbuat apa. Satu hal yang terasa benar baginya, di saat ia masih mencintai Fey di saat yang sama ia juga mencintai Surie. Perasaan cinta yang tak pernah hadir ketika ia dan Surie masih terikat dalam bahtera pernikahan.
Bersambung…