Ana berjalan di koridor dengan wajahnya yang terlihat sangat segar, seolah ia baru menyelesaikan ritual tidurnya. Tak seorangpun tahu jika ia telah menyelesaikan ritual menghajar seseorang di gedung UKM. Dan tak seorang pun tahu jika lawannya itu kini terdampar tak berdaya di sana.
Ia berjalan dengan penuh kepercayaan diri. Sapaan dari beberapa orang tentu saja ia abaikan. Meskipun begitu, mereka tetap memuja dewi fakultas kedokteran ini. Sikap angkuhnya pada orang lain itu sedikitpun tidak mengurangi rasa kagum orang lain padanya. Mereka justru bangga dan menjadikan Ana sebagai panutan, entah dalam bidang fashion ataupun akademik.
Seseorang menabrak tubuhnya dari depan ketika matanya masih fokus berjalan. Ana terlihat kaget dengan sosok di depannya yang nangis terisak. Bahkan kini memeluk tubuhnya sangat erat.
"Cecil, ada apa?" tanya Ana penuh kekhawatiran.
"Ana... Tolong aku..."
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?"
Cecil hanya diam dengan isaka tangis yang tak berhenti juga. Ana dapat merasakan pakaiannya kini mulai basah. Ia hanya memejamkan mata guna meredam emosinya. Ia memang membenci hal ini, tapi nalurinya sebagai wanita, melarangnya untuk berbuat kasar pada wanita lain. Terlebih wanita yang mungkin saat ini sedang terluka.
Perlahan, Ana mendorong tubuh Cecil. Ia menatap lurus gadis yang menangis sambil menundukkan kepalanya. Tangannya bergerak maju meraih dagu gadis itu dan mengangkatnya perlahan. Kini, ia dapat melihat jelas Wajah Cecil yang sudah dipenuhi oleh air mata.
"Katakan padaku apa yang terjadi. Jangan menangis... Kumohon."
Meskipun Ana bukanlah orang peduli pada orang lain, tapi jika seseorang yang ia kenal menangis di depannya seperti ini, tentu saja ia tidak akan tega untuk mengabaikannya. Ana memandang wajah Cecil lurus. Menantikan jawaban dari gadis itu penuh kesabaran.
"Mamaku kecelakaan. Saat ini dia dirawat di rumah sakit pinggir kota. Kondisinya kritis." Cecil tidak bisa menahan kesedihan hatinya. Ia meluapkannya semakin keras dalam bentuk tangisan. Bahkan ia sampai berjongkok di depan Ana dan menyembunyikan wajahnya.
Ana menurunkan badannya, agar seimbang dengan Cecil. Perlahan, tangannya memegang tubuh Cecil. Menepuk pundak gadis itu perlahan "Sabarkan hatimu. Semua pasti baik-baik saja."
Cecil hanya diam dan terisak dalam tangisnya. Pada kondisi ini, Ana bingung bagaima cara menghibur orang. Ia tak pernah menghibur orang. Sekalipun tak pernah. Bahkan untuk menghibur dirinya sendiri, ia tidak tahu. Semua kehidupannya terasa mati sejak ayahnya menjadi pengangguran.
"Kamu akan pergi ke rumah sakit kan?"
Cecil mengangguk singkat. Tubuhnya sudah sangat lemas. Hanya butiran bening dari matanya yang dapat menjawab setiap kata yang terucap dari lawan bicaranya.
"Aku akan pesankan supir pengganti untukmu."
Ana mengambil ponselnya di tas. Ia menghubungi nomor jasa supir pengganti dan meminta seseorang untuk ke sini. Ia sudah biasa melakukan hal ini untuk Dokter Ratna. Jadi bukan hal baru lagi untuk Ana.
Setelah berbicara di telpon, Ana mengangkat tubuh Cecil, membantunya berdiri. Ana juga menghapus jejak air mata di pipi Cecil. Ia membiarkan Cecil memeluk bagian perutnya dengan erat. Bahkan ia juga menaruh tangannya di bagian tengah tubuh Cecil serta membantunya berjalan.
"Kita ke parkiran sekarang."
***
Julia memandang barisan buku-buku di depannya dengan tatapan kosong. Pikirannya entah melayang ke mana. Wajahnya terlihat sangat datar. Dia bagaikan patung penunggu perpustakaan.
"Julia! Kamu sudah dapat buku yang kamu cari?" sapa Gian dari balik rak buku.
"..."
Gian mengambil salah satu buku yang ada di rak penghubung antara mereka. Ia mengintip keadaan Julia. Dan pada akhirnya ia hanya menggelengkan kepala ketika menyadari temannya berekspresi seperti orang patah hati. Ia mengembalikan buku yang ia ambil pada tempatnya, kemudian menghilang.
Tidak, ia tidak menghilang. Ia berjalan ke sisi tempat Julia berdiri. Menepuk bahu gadis itu pelan, namun berhasil membuat Julia gelagapan.
"Kamu sudah mendapatkan bukumu?" Gian mengulangi pertanyaannya.
Julia melebarkan mata. Tangannya langsung mengambil salah satu buku di sana secara acak.
"Oh. Sudah! Ini!" Ia mengangkat buku yang tadi diambilnya. "Aku ingin membaca tentang penyakit demam tifoid untuk menemukan kandungan bahan kimia yang pas untuk menyembuhkannya."
Gian mengernyitkan dahi. Namum seketika tawanya menghancurkan keheningan perpustakaan, yang membuat ia ditegur oleh beberapa orang. Julia memandangnya dengan salah satu alis yang terangkat.
"Kamu yakin ingin belajar penyakit demam tifoid?" tanya Gian dengan mulut yang menahan senyum.
Julia mengangguk. Wajahnya terlihat sangat polos, membuat Gian tidak tahan untuk tidak tertawa. Namun, kali ini dengan suara yang lebih pelan.
"Tapi buku yang kamu ambil itu buku tentang demam berdarah."
Kedua mata sipit Julia seketika melebar. Ia langsung menatap lekat buku di tangannya. Seketika ia memejamkan mata sambil mendesiskan umpatan, meratapi kebodohannya.
Di sisi Gian, setelah bersusah payah menahan tawa, akhirnya ia hanya memandang sahabatnya itu dengan senyuman yang tak hilang dari bibirnya. "Kamu terlihat sangat tidak nyaman? Ada apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Tidak!" jawab Julia cepat. Ia memandang Gian dengan tampang seolah berusaha meyakinkan, namun justru terlihat lucu di depan gadis itu.
"Apa itu tentang Ana dan Cecil tadi?"
"Sudah kubilang tidak! Aku bahkan tidak peduli pada hubunga mereka."
"Tapi kamu sedang mendekatinya."
"Karena aku masih mendekatinya, aku tidak boleh peduli padanya," sewot Julia. Ia melenggang pergi meninggalkan Gian.
"Sepertinya dia sedang tidak mood," gumam Gian. Ia pun memanggil gadis itu seraya mengejarnya.
***
Julia menekan alarm pada kunci mobil dengan kaki yang melengenga menjauh. Langkahnya terlihat berat ketika berjalan di basemen apartemennya. Wajahnya juga nampak tidak bersahabat. Bahkan ia membawa tasnya dengan malas.
Ia berhenti di depan pintu lift. Menekan tombol anak panah ke atas, dan menunggu pintu besi itu terbuka. Selanjutnya ia masuk ke lift itu dan menundukkan kepalanya. Tak banyak yang ingin ia lihat. Bahkan ia tak ingin melihat apapun dalam perjalanannya menuju ke lantai 4 apartemen itu. Pikirannya masih kalud. Bahkan kini di tambah dengan tangan memarnya yang sepertinya bengkak lagi.
Ia memikirkan apa yang ia ucapkan pada Gian tadi. Kenapa ia harus sesewot itu? Kenapa ia harus kesal? Kenapa ia tidak ingin menerima kejadian tadi sore? Kenapa?
Julia menggelengkan kepalanya, berusaha memfokuskan lagi pikirannya.
Triing...
Pintu lift terbuka. Tanpa melihat nomor lantai pada layar, Julia langsung keluar. Namun ia justru menabrak seseorang. Membuatnya menghentikan langkah sebentar.
"Maaf," ucapnya tanpa melihat orang yang ditabraknya.
Tidak ada jawaban apapun dari orang itu. Terpaksa, dengan sangat terpaksa, Julia harus menaikkan pandangannya. Ia menatap wajah orang itu. Seketika matanya membulat, bahkan langkahnya sampai terhuyung ke belakang.
"Kamu?"
Julia melebarkan matanya. Ia tidak menyangka akan bertemu gadis ini di sini. Gadis yang tadi sore dilihatnya bersama gadis lain. Gadis yang berhasil membuatnya berdegup kencang untuk sesaat.
***