"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu," ucap Ana membuka pembicaraan.
Saat ini Ana dan Cecil baru saja menyelesaikan acara makan malam mereka di salah satu warung nasi Padang dekat kampus. Sesuai perkataannya, Cecil menghabiskan makan malamnya ketika ada orang lain menemaninya malam ini.
"Tidak perlu bicara seperti itu." Cecil tersenyum. "Saat Ana hadir dan memberiku semangat, juga memanggilkan supir untukku, itu semua sudah sangat membantuku."
Ana menganggukkan kepalanya. Ia mengamb gelas es teh di depannya, serta meneguk itu perlahan.
"Oh ya, Ana tidak kaget saat tahu aku gabung dengan UKM Taekwondo? Ana tidak ingin bertanya apapun padaku?"
"Kak Joe sudah mengatakan semuanya. Melihatmu latihan hari ini aku tahu kamu bisa menjadi anggota di UKM itu."
Cecil tersenyum begitu lebar. Matanya juga berbinar. Begitu cerah. Namun sayang, itu semua terabaikan di manik mata Ana. Matanya justru terfokus pada objek lain di balik Pintu. Objek Julia yang sedang makan malam dengan Kak Ardian.
Ana berdecak kesal. Ia meneguk es tehnya lagi. Kali ini ia juga memakan es batunya. Mungkin untuk mematikan bara api yang tengah membakar mata dan otaknya.
"Ana, kenapa kamu terlihat kesal? Apa aku membuat kesalahan?" tanya Cecil bingung.
Cecil yang duduk di depan Ana tentu saja tidak memperhatikan objek pandangan gadis berambut panjang itu. Namun dari sikap Ana, ia dapat mengetahui jika ada hal yang lain yang seketika menurunkan mood gadis itu. Ia membalikkan tubuhnya,. Senyuman sinis langsung hadir di wajah bulat dengan kacamata lebar itu.
Cecil memandang Ana dengan senyuman penuh arti. "Jadi Ana masih menyukai Kak Ardian ya? Padahal aku sempat khawatir saat mendengar berita tentang Ana selama aku izin."
"Berita? Berita apa?"
"Jalang itu terus mengejar Ana. Bahkan rela mendaftar UKM Taekwondo dengan menjadikan Ana sebagai alasannya. Untung saja kamu tidak menerimanya. Kalau tidak, dia mungkin akan menusukku dari belakang."
Ana mengerlingkan matanya. "Apa maksudmu? Bicaralah yang jelas."
"Kita semua tahu bahwa dia sengaja mendekati seorang wanita untuk membuat skandal di kampus. Tapi sayang, wanita itu adalah Ana. Wanita yang tidak ia duga bahwa akan sulit untuk didekati seperti itu. Terlebih Ana juga menyukai Kak Ardian kan?"
Ana menatap lurus kedua manik Cecil. "Siapa yang mengatakan jika aku menyukai Kak Ardian?" Kali ini sorot mata Ana tidak bisa ditebak oleh Cecil, namun berhasil membuat hati wanita itu berdegup kencang.
"Bu-bukankah se-semuanya sudah-...jelas?" tiba-tiba Cecil tergagap dalam bicaranya. Terlihat jelas bahwa mata Ana mengatakan saat ini ia sedang marah padanya. "Ana tidak berempati sedikitpun padanya. Dan tatapan mata Ana selalu menahan setiap melihat jalang itu bersama Kak Ardian."
Ana memejamkan matanya sesaat. Lalu memberikan sorotan lurus dari manik matanya, mengikat manik mata Cecil yang terlihat gelisah.
"Cecil, berhentilah menebak tentangku. Kamu tidak tahu apapun."
Cecil mengerjapkan matanya, bahkan dahinya membentuk garisan keriput karena otaknya terlalu bekerja keras.
"Ana, aku selalu berada di sisimu selama beberapa bulan ini. Aku selalu mengawasimu. Apa yang tidak aku tahu tentangmu?"
Ana memalingkan wajahnya. "Aku sudah katakan, aku mengizinkanmu menjadi temanku dengan syarat tidak ikut campur dalam kehidupanku."
Cecil menundukkan kepalanya dengan wajah bergetar. Ia menyadari kesalahannya saat ini. Tidak seharusnya ia mengatakan jika ia terlalu ikut campur pada kehidupan gadis introvert seperti ini.
"Aku minta maaf. Aku salah. Tapi, Ana... Ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku." Cecil menegakkan kepalanya lagi. Ia menatap lekat manik mata Ana yang melebar.
"Jika Ana menyukai seorang wanita, maka Wanita itu bukan Julia kan?"
"Kenapa kamu menanyakan hal seperti itu?"
"Karena pembelaan Ana pada Julia, Karena Ana yang selalu kesal saat melihat mereka bersama, dan Karena tatapan mata Ana yang begitu lekat pada Kak Ardian, aku sebenarnya yakin jika pemikiranku ini terlalu salah dan bodoh. Tapi, semua kejadian itu, seolah mengatakan jika bukan Kak Ardian yang Ana suka, maka Ana menyukai seorang wanita. Dan wanita itu adalah Julia."
"...."
"Tapi aku yakin jika Ana menyukai seorang wanita, maka wanita itu bukanlah Julia. Ana sangat membencinya, bahkan selalu berkata kasar padanya."
Ana terdiam. Seketika ia merasakan nyeri pada jantungnya? Apakah benar ia sekasar itu pada wanita? Terlebih wanita yang berhasil melemahkan hatinya?
"Jika Ana menyukai wanita, tolong beritahu aku."
"Kenapa?"
"Karena aku wanita pertama yang akan menyatakan perasaanku pada Ana."
"...."
Cecil menatap mata Ana dengan binar cahaya yang sangat menonjol. Bahkan senyumnya begitu lebar.
"Aku menyukai Ana Maria."
***
"Yak!" seru Ana saat menendang sebuah gantungan yang tergantung di pohon mangga depan asramanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam dan ia tahu bahwa tempat ini tidak akan seramai seperti saat sore hari.
"Yak!"
Ana menendang gantung itu lebih kuat lagi. Ia terus mengulang pergerakan yang sama, entah sudah berapa kali sejak setengah jam yang lalu. Meski peluh terus mengalir deras dari dahinya yang lebar, namun tak sedikitpun menurunkan staminanya untuk terus menendang.
Kakinya terangkat dengan sempurna, menyentuh ujung gantungan lonceng yang terletak sama dengan dahinya. Kaki Ana memang sepanjang itu untuk bisa menyentuh lonceng dan menghasilkan suara rincingan yang indah.
Satu jam berlalu lebih cepat. Ana sudah kehilangan banyak tenaganya. Kini ia menjatuhkan tubuhnya di lantai sambil melihat langit-langit yang gelap. Di Kota memang sulit untuk menemukan bintang, apalagi Kota yang padat polusi seperti ini.
Ana melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam 9 malam. Ia melihat pintu gerbang asrama yang belum terkunci. Segera ia ambil kunci motornya di saku dan bergegas pergi menggunakan motor.
Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman malam ini. Mungkin mendengar perkataan Cecil yang tiba-tiba seperti itu. Meskipun pada akhirnya gadis itu hanya mengataka sebagai bahan candaan, tapi tetap saja itu mengganggu pikirannya.
Ia tahu Cecil adalah gadis yang tidak bisa diprediksi tindakannya dan dia pemaksa yang cukup baik. Dia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan Ana takut itu akan merepotkan hidupnya nanti. Haruskah ia menjaga jarak dari Cecil? Atau berwaspada terhadap gadis itu?
Ana memarkir motornya di depan mini market. Ia masuk ke sana dan mengambil beberapa botol minuman juga mie instan. Setelah dari sana, ia duduk di kursi depan mini market, sembari melihat ke arah kampusnya yang sangat gelap.
Samar-samar ia melihat seorang gadis yang diikuti beberapa orang di belakangnya. Ana mempertajam pandangannya.
"Sial! Itu Julia!"
Ana Segera bangkit, meninggalkan mie instan yang tersisa setengah cup. Juga meneguk air sekenanya. Lalu dengan cepat ia melangkah keluar minimarket.
Benar, itu Julia yang sedang berurusan dengan preman. Mereka terus menggoda Julia. Dan terlihat jelas bahwa gadis itu ketakutan, meskipun memasang wajah sok garang.
Ana memperhatikan apa yang akan dilakukan Julia dengan wajah anehnya itu. Ternyata tidak banyak, satu gerakan yang dilakukan Julia justru membuatnya terkepung diantara tiga preman itu.
"Gadis manis, jangan bertindak ceroboh. Sudah kubilang sebaiknya kamu tidak melawan. Mari kita bersenang-senang malam ini."
Ucapan kotor para bedebah itu disambut tangis dari Julia. Ana yang sudah tidak tahan melihat tubuh Julia disentuh oleh mereka, segera menghampiri mereka.
Tak perlu waktu lama, Ana sudah melayangkan tendangan tornado pada ketiga orang itu, membuat mereka seketika terjatuh di tanah. Kemudian ia menarik Julia untuk segera pergi dari tempat itu dengan menggunakan motornya. Ia mengantar Julia untuk pulang ke apartemnnya.
Tak ada kata yang terucap diantara mereka. Semua terasa canggung. Julia mengumpati dirinya sendiri yang selalu bertemu Ana saat dia terlibat dalam masalah.
Saat Ana menstater motornya lagi, tangan Julia tiba-tiba memegang lengannya.
"Ana, tunggu," ucap Julia dengan kepala menunduk. "Terima kasih sudah mengantarku pulang malam ini."
Ana mematikan mesin motornya. Ia melihat ke arah Julia. "Dasar bodoh! Kamu itu gadis lemah. Kenapa berkeliaran malam-malam seorang diri? Mana mantan yang pergi bersamamu tadi sore?"
Julia mengangkat kepalanya. Ia cukup heran bagaimana bisa tahu jika ia pergi dengan Kak Ardian.
"Aku meninggalkannya di kampus. Dia lembur dengan teman-temannya. Jadi aku memutuskan untuk pulang sendiri."
"Bodoh!"
"Kalau Ana mau melatihku untuk taekwondo, hal seperti ini tidak akan terjadi. Aku bisa mengatasi preman itu tanpa bantuan Ana."
"...."
"Ana, ijinkan aku jadi muridmu ya?? Aku tidak akan menyusahkanmu lagi setelah kamu melatihku taekwondo..."
***