Chereads / Sweet Dating / Chapter 28 - I Dare You

Chapter 28 - I Dare You

***

Sore ini, suasana kantin fakultas kedokteran sudah tidak terlalu ramai. Menurut informasi, pada jam segini banyak mahasiswa yang pergi ke rumah sakit untuk melakukan praktikum.

Julia, Desi dan Gian sudah menyantap makanannya. Bahkan sudah hampir habis. Namun, hingga saat ini gadis yang dinantikan kehadirannya oleh Julia tak kunjung terlihat mata.

"Julia, kamu yakin Ana akan ke sini?Informasi dari group fansclub Ana valid lho. Rata-rata yang jadi anggota di sana anak kedokteran semua," celoteh Gian setelah meneguk minuam es teh miliknya.

"Aku sangat yakin. Ana tidak pernah ingkar janji padaku."

"Eh, itu temannya Ana kan?" Desi menunjuk seorang wanita berkacamata dengan rambut pendek melenggak memasuki kantin.

Julia dan Gian mengalihkan pandangannya pada wanita itu. Benar. Dia adalah temannya Ana.

"Si-siapa namanya? Kalian ingat tidak?"

Julia menghela nafasnya. "Cecil," jawabnya dingin.

"Iya, benar! Cecil! Tumben kamu bisa ingat nama orang?" Desi terlihat sangat bersemangat. Berbeda dengan Gian yang memilih diam.

Siapa yang tidak mengenal gadis itu di sini? Gadis pendiri fansclub Ana, gadis yang selalu mengikuti setiap langkah Ana, dan satu-satunya gadis yang dipeluk Ana. Ya, dia gadis yang dipeluk Ana waktu itu! Dia sangat dekat dengan Ana. Dia pasti tahu dimana Ana sekarang.

"Hei, tunggu!"

Cecil menghentikan langkah kakinya. Melihat ke arah sumber suara yang memanggil namanya. Ia berdiri tegak dengan kepala yang cenderung terangkat, menampilkan sikap angkuhnya.

"Siapa ya?" Cecil memicingkan mata dengan pandangan lurus ke arah Julia yang berdiri tepat di depannya.

"Kamu tidak tahu aku siapa?" Julia menyibakkan rambutnya ke belakang sambil tersenyum lebar.

Cecil membulatkan matanya dan seketika sebuah senyum mekar di wajahnya. "Julia Devinada?!" Cecil mendekatkam jaraknya dengan Julia.

"Wah, ada angin apa nih? Sampai membuat jalang kampus berani menginjakkan kaki ke Fakultas Kedokteran... Apa cibiran yang kemarin masih kurang?"

"Ana di mana?"

Cecil mendorong bahu Julia. "Hei! Rasa malu kamu itu udah tenggelam di laut ya? Udah jelas-jelas Ana membencimu. Kenapa kamu masih mencarinya?"

Julia melihat tangan Cecil di bahunya, dan segera menyingkirkan itu. Ia menatap mata Cecil penuh kebencian. "Aku tidak ada urusan denganmu. Katakan saja Ana di mana sekarang?"

"He, jalang! Dengar ya, kamu itu nggak pantas berteman dengan Ana. Apalagi sampai berada di sampingnya! Ngaca dong! Ana itu bidadari, sedangkan kamu itu iblis. Iblis wanita! So, mending kamu pergi aja deh dari fakultas kedokteran. Nyampah tahu nggak!"

Cecil melangkahkan kakinya lebih maju lagi, tangannya kembali mendorong bahu Julia. "Minggir!" bentaknya.

"Dasar Jalang murahan!"

"Yak!!"

Secepat kilat, tangan mungil Julia berhasil meraih rambut pendek milik Cecil. Ia menariknya dengan sangat erat, membuat yang punya rambut itu berteriak histeris.

"Yak!! Lepaskan!!!"

Seolah tidak mendengar teriakan gadis itu, Julia semakin mengeratkan tarikannya. Ia bahkan tidak peduli meliha respon orang-orang yang memandang ke arah mereka.

"Jalang, lepaskan rambutku! Kamu akan membuatnya rontok!"

Julia menyeringai. "Panggil dulu namaku dengan benar, setelah itu akan kulepaskan tanganku!"

"Ah....Ah.... Tolong aku!!!"

Tangan Julia yang lain menunjuk segerombolan wanita yang hendak menyelamatkan Cecil.

"Jika kalian mendekat, artinya kalian membiarkan ketidakadilan dan pembulian menjajah kampus ini!" bentak Julia tegas.

Mendengar kalimat Julia, tak seorangpun berani melangkahkan kakinya lebih dekat. Apa yang dikatakan Julia memang benar adanya. Sikap Cecil saat ini sudah keterlaluan. Tidak seharusnya ia berkata kasar seperti itu, apalagi di area kampus.

"ah... Ah.... Tidak!! Tolong aku..."

"Memohonlah dengan benar nona Cecil yang terhormat!"

Air mata Cecil mulai menetes. Ia merasa rambutnya akan lepas semua setelah tangan kecil itu menghilang dari kepalanya. Tidak. Jika ia tetap bertahan, ia akan menjadi gundul.

"Baiklah... Baiklah... To...long...ma-af-kan...aku," ucapnya terbata dengan suara tertahan.

"Katakan lebih keras lagi!"

"To...long...ma...af...kan...aku...Ju....Li...yaaa..." Cecil sungguh tidak lagi bisa menahan sakit kepalanya. Air matanya menetes dengan deras.

Bagaimana bisa tangan sekecil itu menarik rambutnya kuat?

Julia melepaskan tangannya dari rambut Cecil. Cecil menyeimbangkan berdirinya. Kepalanya benar-benar berputar. Ia juga merasakan beberapa rambutnya telah patah.

Julia sialan! Lihat saja pembalasanku nanti!

Kurang lebih seperti itulah tatapan singkat dari Cecil, sebelum ia melenggang pergi meninggalkan kantin.

"Julia!"

Suara laki-laki yang memanggil namanya berhasil membuat kantin tersebut dipenuhi oleh bisikan-bisikan yang membisingkan.

"Kak Ardian...."

Kak Ardian mendekatkan langkahnya. Ia kini berdiri tepat di depan Julia. Tangannya bergerak menyusuri setiap bagian tubu wanita itu. Membaliknya ke kanan dan ke kiri.

"Julia, kamu baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka kan?" Nada suara laki-laki ini sungguh penuh kekhawatiran.

Tangan Julia dengan sigap menarik turun tangan Kak Ardian yang ada di pundaknya.

"Aku tidak apa, kak."

"Kak Ardian sedang apa di sini?" tanya Desi tanpa canggung. Ia menatap tajam laki-laki itu.

"Aku mendengar Julia bertengkar dengan mahasiswi fakultas kedokteran."

"Tidak perlu jadi pahlawan kesiangan untuk Julia, Kak!" sarkas Gian.

Wanita berambut panjang yang terkenal tomboy itu sudah muak dengan sikap sok perhatian Kak Ardian. Ya, diam-diam selama ini dia tahu jika Julia sering diperlakukan kasar oleh Kak Ardian.

"Julia, ayo pergi dari sini."

Tangan Gian meraih pergelangan tangan Julia. Menariknya dengan kasar agar segera pergi dari neraka ini. Ia sudah tidak tahan dengan segala bisikan dari orang-orang di sekitar.

Desi mengikuti langkah Julia dan juga Gian dari belakang.

"Tunggu!"

Teriakan seorang wanita berhasil membuat Gian menghentikan langkahnya. Julia hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi sekarang. Tubuhnya sudah sangat lelah. Terlebih setelah mendengar umpatan, makian, bahkan gunjingan dari orang sekitar, membuatnya tak memiliki tenaga lagi.

Julia menolehkan kepalanya ke sumber suara. Matanya melebar dengan sempurna, juga segaris senyum mengembang dengan indah di bibirnya setelah tahu siapa yang memanggil namanya.

"Ana...," gumamnya lirih.

Ana bergerak mendekat ke arah mereka. Di belakangnya sudah ada Cecil yang tersenyum sinis.

Senyuman sinis milik Cecil inilah yang berhasil merenggut senyuman Julia barusan.

"Aku dengar ada yang mau jadi preman ya di kampus ini?" sindir Ana dengan nada suara dingin.

Julia dan yang lain terdiam seribu bahasa. Begitupula Ardian yang hanya menatap datar Dewi fakultas kedokteran itu.

"Cecil! Katakan kejadiannya!" seru Ana dengan wajahnya yang masih dingin.

Aura Ana kali ini benar-benar berbeda. Meskipun dia seorang wanita, tapi ketika wanita itu marah, maka aura membunuh pun dapat ia keluarkan.

"Di-dia...men-jam-bak...rambutku..."

"Siapa?! Katakan dengan jelas!"

"Ju-julia..."

Mata Ana langsung menatap tajam ke arah Julia. Bagaikan keset yang tajam, hati Julia teriris oleh tatapan itu.

"I-itu...ti-tidak...ben-"

"Aku mengajarimu taekwondo bukan untuk menjadi preman dan menghajar orang seenaknya, Julia Devinada!"

Suara Ana yang bergetar saat berteriak membuat seisi gedung itu merinding ketakutan. Tak terkecuali Julia. Bahkan gadis itu sampai meneteskan air mata. Tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin juga mulai memenuhi dahi dan wajah pucatnya.

"Ana, perhatikan intonasi suaramu!" Kak Ardian memberikan intrupsi. Ia tidak tahan melihat pertengkaran. Apalagi pertengkaran sesama wanita.

Namun ia juga tidak mungkin meninggalkan tempat ini. Mana mungkin ia membiarkan Julia menjadi santapan sore mahasiswa kedokteran?

Ana menatap tajam laki-laki di samping Julia itu. "Kamu! Jangan ikut campur senior yang terhormat!"

"Ana, dia benar. Kamu tidak perlu berteriak untuk membelaku." Kini ganti gadis licik itu yang berbicara. Ia mengusap pelan lengan Ana, seolah berusaha meredakan emosi Ana.

Ana menatap Cecil tajam. "Tapi dia sudah bermain fisik denganmu."

"Ana, bukankah permainan fisik yang sesungguhnya itu di ring?"

Ana mengernyitkan dahinya.

"Minggu depan ada pertandingan taekwondo. Jika Julia menang dalam pertandingan itu, aku akan mengabaikan masalah ini sekalipun dia enggan minta maaf. Tapi jika aku yang menang, aku mau dia membuat surat permohonan maaf secara resmi dan membacanya di depan fakultas kedokteran. Bagaimana?"

Cecil menatap ke arah Julia yang terlihat kaget. Smirk itu keluar dari wajahnya, meskipun sangat tipis.

Smirk yang berhasil membuat Julia semakin geram.

***